Minggu, 13 Januari 2013

VISIT MAKASSAR

MAKALAH PBL PATOLOGI SITEMIK DAN NEKROPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah.Salah satu kendala tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi akan menjadi rendah dan kelambanan perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya pengelolaan ternak yang baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga menghasilkan efisiensi reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas ternak yang tinggi pula (Hayati dan Choliq, 2009). Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi dan produksi ternak. Peternakan ruminansia yang ada di Indonesia masih merupakan jenis peternakan rakyat, berskala kecil, dan masih merujuk pada sistem pemeliharaan konvensional. Masih banyak permasalahan yang timbul dalam peternakan seperti permasalahan pakan dan kesehatan, khususnya gangguan reproduksi. Gangguan reproduksi berdampak pada rendahnya fertilitas induk, sehingga angka kebuntingan dan kelahiran pedet menurun atau dengan kata lain efisiensi reproduksi menurun. Akibat dari semua itu adalah lambatnya pertambahan populasi ternak dan produksi susu nasional. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada ternak ruminansia di antaranya adalah retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan endometritis (Hayati dan Choliq, 2009). Sebagai contoh, kejadian retensio sekundinae dan endometritis adalah 32.95% dan 19.89% dari total kasus reproduksi di KPS Gunung Gede, Jawa Barat pada tahun 2003. Sedangkan abortus terjadi sekitar 2.96% (83 kasus) dari total kasus reproduksi di PT Taurus Dairy Farm, Jawa Barat selama tahun 1995-1999 (Fincher, et al., 1956) Retensio sekundinae merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan. Lingkungan uterus yang kotor, ditambah dengan penanganan postpartus yang buruk mengakibatkan proses involusi kurang berjalan dengan sempurna. Sehingga pada saat dikawinkan mengakibatkan angka efisiensi reproduksi yang rendah. Beberapa parameter untuk menilai efisiensi reproduksi antara lain adalah conception rate (CR), service per conception (S/C), dan calving interval (CI) (Hardjopranjoto 1995). CR merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama, dan nilai CR yang ideal adalah sekitar 50%. S/C merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya satu kebuntingan, dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1.0. CI merupakan jarak antara kelahiran ke kelahiran berikutnya, dan nilai CI yang ideal adalah 12 bulan (Hafez, 1980). Gangguan reproduksi dan hubungannya dengan penurunan tingkat efisiensi reproduksi yang terjadi perlu dicermati sepanjang musim berkaitan dengan perubahan musim di Indonesia. Hal ini karena musim hujan dengan sanitasi lingkungan yang buruk, penanganan penyakit, dan keadaan ternak yang kurang baik dapat meningkatkan keparahan penyakit. Sedangkan pada musim kemarau dengan kualitas pakan yang buruk. Sehingga ternak kekurangan pakan dalam hal komposisi dan nutrisi, bisa mengakibatkan gangguan reproduksi. Setiap peternakan sebaiknya mempunyai pengelolaan ternak yang disesuaikan dengan kondisi setempat, seperti pengelolaan pakan, pengelolaan kandang, dan pengelolaan kesehatan (Bearden and Fuquay, 1992). Oleh karena itu sebagai mahasiswa kedokteran hewan harus mengetahui dan mempelajari mengenai penanganan dan penanggulangan penyakit reporoduksi pada ternak. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan rumusan masalah adalah kelainan reproduksi yang tinggi akan mempengaruhi rendahnya penampilan reproduksi bagi suatu usaha peternakan, sehingga penting untuk dilihat dan diketahui. 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelainan/gangguan reproduksi pada ternak sapi perah betina yang terdapat di Kabupaten Sinjai. 1.4 Manfaat Manfaat penelitian adalah untuk memperbaiki gangguan kelainan reproduksi dan memperbaiki penampilan reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai.

DOWNER COW SYNDROM

Downer Syndrom atau paraplegia post partum merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada induk hewan yang sedang bunting tua atau beberapa hari sesudah partus yang memyebabkan sapi tidak dapat berdiri, tetapi selalu dalam keadaan berbaring pada salah satu sisi tubuhnya karena adanya kelemahan pada bagian belakang tubuh. Berberapa faktor yang dapat menjadi penyebab adalah : 1. Adanya kelemahan badan akibat menerima beban terlalu berat, mis : bunting dengan anak yang terlalu besar, anak kembar, induk yang menderita hidrop allantois 2. Patah (frakture) tulang femur, sakrum, atau lumbal dan melesatnya (luxatio) pada persendian panggul 3. Adanya benturan (contusio) pada otot di bagian tubuh sebelah belakang waktu berbaring atau menjatuhkan diri, sehingga ada kerusakan urat daging atau tulang pelvisnya 4. Adanya osteomalasia karena defisiensi vitamin D (5) pembendungan pembuluh darah pada kaki belakang sehingga menimbulkan gangguan peredaran darah. Gejala : 1. Secara tiba-tiba induk hewan yang baru saja melahirkan terlihat jatuh dan tidak dapat berdiri karena adanya kelemahan di bagian belakang badannya, gejala ini bisa terlihat 2-3 hari sebelum partus. 2. Keadaan umum dari tubuhnya tidak terganggu, sensitivitas urat daging paha masih baik, induk berbaring saja tanpa terlihat gejala-gejala kesakitan. 3. Induk sering berusaha berdiri, kalau berdiri mencoba berjalan sempoyongan, kaki depan dan leher tetap kuat hanya bagian tubuh sebelah belakang yang lemah. Diagnosa : 1. Eksplorasi rektal dengan meraba seluruh bagian rongga pelvis dan tulang pelvis. 2. Sensibilitas urat daging paha baik ditandai dengan bila ditusuk dengan benda tajam memberikan reaksi. 3. Beberapa hari kemudian induk sapi akan dapat berdiri dengan sendirinya. Komplikasi yang mungkin terjadi : 1. Dekubitus : luka pada kulit dan otot, khususnya pada bagian tulang yang menonjol 2. Prolapsus vagina : karena tekanan pada waktu berbaring oleh rumen terhadap uterus yang masih kontraksi. 3. Gangguan pencernaan dan timpani : berkumpulnya udara dalam perut disebabkan berbaring diatas lantai kandang yang dingin dalam waktu yang lama. Pengobatan : 1. Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi 2. Saraf di kaki belakang dirangsang dengan memberikan vitamin B1 dan B6. 3. Sebagai treatmen sapi harus sering di balik, minimal tiap 8 jam agar tidak terjadi ganguan sirkulasi darah pada sisi tertentu sehinggga menyebabkan sapi tidak akan mampu berdiri lagi.

PASTEURELLA MULTOCIDA

PENGENDALIAN PREVENSI 1. Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut a) Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu. b) Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit. c) Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika. 2. Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai berikut : a) Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan tersangka sakit disertai pengobatan. b) Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut: - Disekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi. - Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan. 3. Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah sebagai berikut: a) Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan disekatnya disediankan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah. b) Dipintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan menular. c) Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang masuk. d) Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter. e) Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi. Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar. f) Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan. g) Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir. 4. Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai berikut: a) Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi. b) Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan. c) Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan tersangka harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan. d) Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau dikubur. Vaksin inaktif Vaksin terhadap SE dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: vaksin mati dan vaksin hidup. Umumnya vaksin mati mengandung Pasteurella multocida tipe B:2 dari isolat lokal masing-masing negara. Oil adjuvant bacterin atau vaksin adjuvant minyak telah terbukti cukup efektif (BAIN et al., 1982. Vaksin ini cukup kental dan agak sulit di dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruangan, mempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal (BAIN et al. 1982). Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin bisanya berakibat pada pengurangan kekebalan bila dibandingkan dengan yang diberikan oleh oil adjuvant vaccine yang konvensional (YADEV dan AHOOJA, 1983). Vaksin aktif par enteral Blue variant Beberapa galur P. multocida pernah dicoba sebagai vaksin aktif (hidup). HUDSON (1954) menggunakan blue variant yang diperoleh dari kultur broth yang lama. Variant ini bersifat kurang patogen untuk mencit. Pada kerbau strain ini memberikan kekebalan untuk beberapa bulan. Vaksin ini telah tidak digunakan saat ini. Streptomycin-dependent mutant WEI dan CARTER (1978) menggunakan streptomycin-dependent mutant strain Pasteurella multocida tipe B Mesir untuk mengimunisasi mencit. Di Sri Lanka mutant serupa digunakan untuk mengimunisasi sapi dan kerbau. Vaksin ini dapat melindungi 75% sapi dan 100% kerbau dengan dosis tunggal (ALWIS et al 1980). Vaksin hidup aerosol dengan aplikasi intranasal Isolat P. multocida B;3,4 dari rusa di Inggris merupakan galur yang dipakai sebagai bibit vaksin aerosol (JONES and HUSSAINI, 1982). Isolat ini dapat menimbulkan haemorrhagic septicaemia pada ruminansia liar seperti elk dan rusa tetapi tidak pada sapi dan kerbau. P. multocida B:3,4 juga pernah diisolasi dari luka pada sapi perah di Australia (BAIN and KNOX, 1961) dan dari daerah nasopharynx sapi-sapi sehat di Sri Lanka (MYINT, 1994). Walaupun jarang terisolasi, pengamatan di laboratorium maupun di lapangan menunjukkan bahwa galur P. multocida B:3,4 ini mempunyai hubungan imunologis yang dekat dengan isolat P. multocida lainnya sehingga dapat memberikan proteksi silang (MYINT, 1994; RIMLER, 1996; PRIADI and NATALIA 2001). Penelitian dengan cara semprotan partikel kasar vaksin secara intranasal dengan dosis yang sama tidak memberikan perlindungan yang memadai. Tetapi, semprotan partikel halus dengan alat semprot hair-sprayer yang dihubungkan dengan botol universal 28 ml memberikan proteksi terhadap SE lebih dari satu tahun (CARTER et al 1991; MYINT et al 1994). Inokulasi secara aerosol ini menimbulkan kekebalan lokal mukosa dan sistemik sehingga dapat memberikan perlindungan yang lama, dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Vaksin ini dikemas dalam bentuk kering beku untuk digunakan secara aerosol-intranasal pada ternak sapi dan kerbau (Gambar )Uji potensi dan keamanan vaksin telah diuji oleh FAO melalui FAO/TCP/MYA/4452 (A) pada tahun 1996. Secara resmi vaksin ini direkomendasikan oleh FAO/WHO pada tahun 1996 untuk dapat digunakan pada sapi dan kerbau. Uji serupa telah dilakukan Balai Penelitian Veteriner tahun 1999 dan dinyatakan berpotensi tinggi dan aman (PRIADI dan NATALIA, 2001 Secara umum vaksin hidup aerosol yang diintroduksi ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan vaksin yang beradjuvant yang selama ini digunakan di Indonesia; dalam hal: 1. Efektif melindungi sapi/kerbau terhadap penyakit SE minimal selama 1 tahun 2. Tidak menimbulkan efek samping pasca vaksinasi 3. Mudah diaplikasi (secara aerosol intranasal) 4. Mudah diproduksi 5. Lebih murah dibandingkan dengan vaksin beradjuvant (Dosis kuman = 1/200 vaksin beradjuvant)

SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorraghic Septecaemia (HS) atau disebut juga penyakit ngorok adalah penyakit yang menyerang hewan sapi atau kerbau, bersifat akut dengan mempunyai tingkat kematian yang tinggi Kerugian akibat penyakit ini cukup besar. Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorraghic Septecaemia (HS) atau disebut juga penyakit ngorok adalah penyakit yang menyerang hewan sapi atau kerbau, bersifat akut dengan mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Kerugian akibat penyakit ini cukup besar. Di daerah endemik, diagnosis terhadap penyakit SE sering dilakukan dengan pengamatan gejala klinis. Sesuai dengan namanya, pada hewan yang terinfeksi menunjukan gejala ngorok (mendengkur). Diagnosis ini kemudian dipertegas dengan isolasi dan identifikasi bakteri. Pemeriksaan post mortem juga dapat menunjang diagnosis serta proses infeksi. Dalam rangka mengendalikan penyebaran atau penularan penyakit ini maka perlu untuk diagnosis terhadap penyakit SE. Diagnosis yang tepat melalui pemahaman dari karakteristik penyakit serta perubahan patologinya dapat menunjang penanganan yang tepat pula. Selain itu dengan mengetahui karakteristik penyakit dapat menentukan strategi dari penegndalian dan prevensi penyakit SE 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah etiologi dari septicaemia epizootica? 2. Bagaimana patogenesa dari septicaemia epizootica? 3. Apa saja perubahan patologi dari sapi yang terserang septicaemia epizootica? 4. Bagaimana pengendalian atau prevensi dari penyakit septicaemia epizootica? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui etiologi dari septicaemia epizootica. 2. Untuk mengetahui patogenesa dari septicaemia epizootica. 3. Untuk mengetahui perubahan patologi dari septicaemia epizootica. 4. Untuk mengetahui cara pengendalian atau prevensi dari septicaemia epizootica. BAB II PEMBAHASAN Penyakit SE (Septicemia epizootica), disebut juga Septicemia hemorrhagica, hemorrhagic septicemia, Barbone dan penyakit ngorok. Penyakit SE disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus dengan ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler. Penyakit SE merupakan penyakit menular terutama menyerang pada kerbau, sapi, babi serta kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda. 2.1 ETIOLOGI Septicaemia Epizootica (SE) disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif Pasteurella multocida dengan serotipe tertentu. Umumnya serotipe disetiap tempat memiliki perbedaan. Didaerah Asia umumnya ditemukan Pasteurella multocida serotipe B:2 sedangkan untuk daerah Afrika biasanya ditemukan serotipe E:2. Penelitian terbaru juga menyatakan bahwa terdapat serotipe tipe baru yang muncul yaitu serotipe B:6 dan E:6. Serotipe lainya dari Pasteurella multocida yang dihubungkan dengan Septicaemia Epizootica ialah serotipe A: 1 dan A: 3, serotipe ini dihubungkan dengan kematian dari sapi dan kerbau di india (OIE 2009). Bakteri Pasteurella pertama kali ditemukan oleh pasteur pada tahun 1880 pada ayam yang menderita kolera. Kemudian pada tahun 1939 Rosenbusch dan Merchant membedakan secara tegas bakteri Pasteurella yang dapat menyebabkan hemolise dan yang tidak. Pembagianya berupa Pasteurella hemoliytica yang dapat menyebabkan hemolise dan Pasteurella multocida yang tidak menyebabkan hemolisa. Bakteri Pasteurella multocida berbentuk coccobacillus, mempunyai ukuran yang sangat halus, dan bersifat bipolar. Sifat bipolar ini lebih jelas terlihat pada bakteri yang baru di isolasi dari penderita dan diwarnai misalnya dengan cara Giemsa wright atau dengan karbol fuchsin. Bakteri yang bersifat negatif ini tidak membentuk spora, bersifat non motil dan berselubung (Direktorat Kesehatan Hewan 1977). Bakteri Pasteurella rentan terhadap suhu panas rendah (550C). Selain itu bakteri ini juga sangat rentan terhadap disinfektan (OIE 2009) . 2.2 PATOGENESIS Seperti yang telah dijelaskan bahwa bakteri pasteurella multocida sebagai penyebab SE akan masuk kedalam tubuh inang melalui beberapa cara. Cairan seperti leleran hidung atau cairan mulut dari hewan yang terinfeksi akan jatuh ketanah atau terkena media lain. Bakteri yang ada dalam cairan tersebut akan menginfeksi daerah atau media yang terkena oleh cairan dari hewan terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah dalam keadaan basah maka akan menyebabkan perkembangan dan daya tahan bakteri pasteurella multocida semakin baik. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan (Natalia & Priadi 2006). Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Penyakit SE bentuk busung menunjukkan adanya bentuk busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelembir dan kadang-kadang pada kaki muka. Selain itu kadang terjadi juga bentuk busung pada bagian dubur dan alat kelamin. Tingkat mortalitas penyakit pada bentuk ini cukup tinggi mencapai 90% dan berlangsung cepat sekitar tiga hari sampai satu minggu. Sebelum mati akan tampak gangguan pernafasan dan suara ngorok merintih serta suara gigi gemeretak. Pada bentuk pectoral, tanda-tanda bronkhopneumonia akan lebih menonjol. Bentuk ini umumnya dimulai dengan adanya batuk kering dan nyeri yang di ikuti oleh keluarnya eksudat dari hidung. Biasanya bentuk ini berlangsung antara satu sampai tiga minggu. Pada beberapa kasus kadang penyakit ini dapat mencapai bentuk intestina. Keadaan ini dicapai ketika penyakit sudah berjalan kronis. Hewan akan menjadi kurus, dengan gejala batuk yang terus menerus, selain itu nafsu makan terganggu serta terus menerus mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret yang bercampur darah (Direktorat Kesehatan Hewan 1977). Umunya kasus SE bersifat aku dan dapat menyebabkan kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedemasubmandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya eksudat dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Biasanya kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan sapi. Lama atau jalanya penyakit sampai pada kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 – 5 hari. Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 – 5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (Natalia & Priadi 2006). Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, ditemukan kenaikan suhu hingga 430C dapat teramati 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi kenaikan hingga 400C baru teramati 12 Leleran hidung dan mata yang memerah sudah terlihat pada kerbau 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi 12 jam sesudah infeksi. Bakteri dapat diisolasi dari cairan hidung kerbau 12 sesudah infeksi dan 16 sesudah infeksi pada sapi. Dalam darah bakteriemia sudah terjadi 12 jam sesudah infeksi pada kerbau dan sapi. Pemantauan jumlah kuman dalam darah terlihat terus meningkat hingga saat kematian (Natalia & Priadi 2006). 2.3 PEMERIKSAAN POST MORTEM Pada pemeriksaan pasca mati, kelainan yang tampil menyolok adalah oedema subcutaneous dengan cairan serogelatinous terutama di daerah submandibula, leher dan dada (Natalia, L dan Adin P., 2006). Dalam seksi terlihat adanya oedema pada glotis dan jaringan-jaringan paringeal maupun peritracheal (Subroto, 1985). Umumnya kebengkakan lebih sering ditemui pada kerbau daripada sapi (Losos, 1986). Graydonet al. (1993), melaporkan bahwa pada infeksi buatan, kebengkakan lebih nyata terlihat pada sapi dari kerbau. Pada jaringan subkutan dapat ditemui adanya perdarahan titik-titik. Kelainan kelenjar limfe dapat berupa pembengkakan, kongesti dan hiperemia (Siew et al., 1970) atau nekrosis yang nyata (Graydon et al., 1993). Kelenjar limfe yang terdapat di dalam rongga dada dan perut nampak mengalami bendungan. Bendungan yang bervariasi terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari abomasum sampai usus besar. Kadang terjadi lesi berdarah pada usus (Subroto, 1985) Dalam rongga dada terjadi perubahan pada paru-paru yang berkisar dari pembendungan umum sampai konsolidasi yang ekstensif dengan penebalan septa interlobular. Pleurisy dan pericarditis yang jelas tampak dengan penebalan perikardium dan adanya cairan serosanguinous dalam ruang pleura dan pericardial. Perdarahan dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat pada jantung (Natalia, L dan Adin P., 2006). Perdarahan petechiae, ditemukan pada atrium di bawah epicard (Subroto, 1985) Gambar 1. Cranial-ventral lobal pneumonia dan fibrinous pleuritis. Contoh dari pneumonic pasteurellosis. Gambar 2. Pasteurella pleuritis dan necrotizing pneumonia pada sapi. Gambar 3 dan 4. Pada gambar 3 tampak bronkus yang terdapat pus. Pada gambar 4 menunjukkan Pasteurella pneumonia pada sapi. Lobus paru-paru dari sapi yang terinfeksi pateurella (P) tampak merah kehitaman dan keras ketika di palpasi. 1. Patologi Anatomi a. Bentuk busung Telihat busung gelatin dan disertai pendarahan di bawah kulit kepala, leher, dada dan sekali-kali meluas sampai bagian belakang perut. Cairan busung bersifat bening, putih kekuningan atau kadang-kadang kemerahan. Sering kali infiltrasi cairan serum terlihat sampai lapisan dalam otot. Busung gelatin juga ditemukan disekitar pharynx, epiglotis dan pita suara.Lidah sering sekali membengkak dan berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang-kadang menjulur keluar.Selaput lendir saluran pernafasan umumnya membengkak dan kadang-kadang diseratai selaput fibrin.Kelenjar limfa retropharyngeal dan cervical membengkak. Rongga perut sering berisi cairan berwarna kekuningan sampai kemerahan. Tanda-tanda peradangan akut hemoragik bias ditemukan di abomasum, usus halus dan colon. Isi rumen biasanya kering sedangkan isi abomasum seperti bubur.Isi usus cair berwarna kelabu kekuningan atau kemerahan tercampur darah. Seringkali terdapat gastroenteritis yang bersifat hemoragik. Limpa jarang mengalami perubahan dan proses degenerasi biasanya terjadi pada organ parenkim (jantung, hati dan ginjal). b. Bentuk pectoral Terlihat pembendungan kapiler dan pendarahan dibawah kulit dan di bawah selaput lendir. Pada bagian pleura terlihat peradangan dengan pandarahan titik dan selaput fibrin tampak pada bagian permukaan alat-alat visceral dan rongga dada.Terlihat gejala busung berbentuk hidrothoraks, hidroperikard. Paru-paru berbentuk bronchopnemoni berfibrin atau fibronekrotik. Bagian paru-paru mengalami hepatisasi dan kosistensi agak rapuh. Hepatisasi umumnya terdapat secara seragam atau satu stadium, berupa hepatisasi merah dalam keadaan akut, hepatisasi kelabu atau kuning dalam stadium yang lebih lanjut. Bidang sayatan paru beraneka warna karena adanya pneumonia berfibrin pada bagian-bagian nekrotik, sekat interlobular berbusung dan bagian-bagian yang normal. Bagian paru-paru yang tidak beradang tampak hiperemik dan berbusung.Kelenjar limfa peribronchial membengkak. Kadang-kadang ada tanda enteritis akut sedangkan limfa umumnya normal. c. Bentuk Intestinal Bentuk campuran dari kedua bentuk diatas dan ditandai gastroenteritis kataralis hingga hemoragik. 2. Histopatologi Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis berupa hemoragi pada adventisia dan submukosa peritrachea, general pnemoni intertisial dengan hiperemi, oedema dan infiltrasi limfosit dan makrofag.Ditemukannya mikro koloni bakteri Pasteurella pada pembuluh limfe.Di hati terdapat cloudy swelling dan degenerasi lemak.Pada ginjal ditemukannya pignosis inti dari sel epitel tubular ginjal dan pada jantung terdapat hiperemia subepicardium dan hemoragi subendocardium. 2.4 PENGOBATAN Pasteurella multocida merupakan bakteri gram negatif sehingga pengobatan dapat diberikan antibiotika golongan penicillin dan preparat sulfa (antibakteri), tetapi bakteri ini mudah menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut.Pemberian antibakterial yang efektif harus sedini mungkin dan dilanjutkan 1-2 hari setelah hewan terlihat normal. Apabila tidak ada perubahan dalam 24 jam setelah pemberian antibakterial spesifik, diberi obat yang baru atau ubah dosis (peningkatan dosis diatas petunjuk label) harus dari dokter hewan. Perubahan harus dilakukan secara kontinu sampai didapatkan efek bakterial yang efektif. Perlindungan dan nutrisi yang cukup sangat dibutuhkan. Disarankan terapi tambahan dengan vitamin B yang diberikan dengan cara dicekok bersama pakan cair dan probiotik. Metode pengendalian penyakit yang efektif yang telah banyak digunakan saat ini adalah vaksinasi.Berbagai tipe vaksin telah digunakan dan menghasilkan derajat dan lama kekebalan yang bervariasi.Meskipun demikian, pengendalian penyakit yang efektif tidak hanya tergantung pada vaksin yang baik tetapi juga pada program vaksinasi yang strategis. 2.5 PENGENDALIAN PREVENSI 1. Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut: a) Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu. b) Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit. c) Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika. 2. Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai berikut : a) Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan tersangka sakit disertai pengobatan. b) Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut: - Di sekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi. - Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan. 3. Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah sebagai berikut: a) Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan disekatnya disediankan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah. b) Dipintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan menular. c) Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang masuk. d) Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter. e) Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi. Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar. f) Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan. g) Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir. 4. Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai berikut: a) Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi. b) Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan. c) Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan tersangka harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan. d) Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau dikubur. Vaksin inaktif Vaksin terhadap SE dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: vaksin mati dan vaksin hidup. Umumnya vaksin mati mengandung Pasteurella multocida tipe B:2 dari isolat lokal masing-masing negara. Oil adjuvant bacterin atau vaksin adjuvant minyak telah terbukti cukup efektif (BAIN et al., 1982. Vaksin ini cukup kental dan agak sulit di dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruangan, mempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal (BAIN et al. 1982). Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin bisanya berakibat pada pengurangan kekebalan bila dibandingkan dengan yang diberikan oleh oil adjuvant vaccine yang konvensional (YADEV dan AHOOJA, 1983). Vaksin aktif par enteral Blue variant Beberapa galur P. multocida pernah dicoba sebagai vaksin aktif (hidup). HUDSON (1954) menggunakan blue variant yang diperoleh dari kultur broth yang lama. Variant ini bersifat kurang patogen untuk mencit. Pada kerbau strain ini memberikan kekebalan untuk beberapa bulan. Vaksin ini telah tidak digunakan saat ini. Streptomycin-dependent mutant WEI dan CARTER (1978) menggunakan streptomycin-dependent mutant strain Pasteurella multocida tipe B Mesir untuk mengimunisasi mencit. Di Sri Lanka mutant serupa digunakan untuk mengimunisasi sapi dan kerbau. Vaksin ini dapat melindungi 75% sapi dan 100% kerbau dengan dosis tunggal (ALWIS et al 1980). Vaksin hidup aerosol dengan aplikasi intranasal Isolat P. multocida B;3,4 dari rusa di Inggris merupakan galur yang dipakai sebagai bibit vaksin aerosol (JONES and HUSSAINI, 1982). Isolat ini dapat menimbulkan haemorrhagic septicaemia pada ruminansia liar seperti elk dan rusa tetapi tidak pada sapi dan kerbau. P. multocida B:3,4 juga pernah diisolasi dari luka pada sapi perah di Australia (BAIN and KNOX, 1961) dan dari daerah nasopharynx sapi-sapi sehat di Sri Lanka (MYINT, 1994). Walaupun jarang terisolasi, pengamatan di laboratorium maupun di lapangan menunjukkan bahwa galur P. multocida B:3,4 ini mempunyai hubungan imunologis yang dekat dengan isolat P. multocida lainnya sehingga dapat memberikan proteksi silang (MYINT, 1994; RIMLER, 1996; PRIADI and NATALIA 2001). Penelitian dengan cara semprotan partikel kasar vaksin secara intranasal dengan dosis yang sama tidak memberikan perlindungan yang memadai. Tetapi, semprotan partikel halus dengan alat semprot hair-sprayer yang dihubungkan dengan botol universal 28 ml memberikan proteksi terhadap SE lebih dari satu tahun (CARTER et al 1991; MYINT et al 1994). Inokulasi secara aerosol ini menimbulkan kekebalan lokal mukosa dan sistemik sehingga dapat memberikan perlindungan yang lama, dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Vaksin ini dikemas dalam bentuk kering beku untuk digunakan secara aerosol-intranasal pada ternak sapi dan kerbau (Gambar )Uji potensi dan keamanan vaksin telah diuji oleh FAO melalui FAO/TCP/MYA/4452 (A) pada tahun 1996. Secara resmi vaksin ini direkomendasikan oleh FAO/WHO pada tahun 1996 untuk dapat digunakan pada sapi dan kerbau. Uji serupa telah dilakukan Balai Penelitian Veteriner tahun 1999 dan dinyatakan berpotensi tinggi dan aman (PRIADI dan NATALIA, 2001 Secara umum vaksin hidup aerosol yang diintroduksi ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan vaksin yang beradjuvant yang selama ini digunakan di Indonesia; dalam hal: 1. Efektif melindungi sapi/kerbau terhadap penyakit SE minimal selama 1 tahun 2. Tidak menimbulkan efek samping pasca vaksinasi 3. Mudah diaplikasi (secara aerosol intranasal) 4. Mudah diproduksi 5. Lebih murah dibandingkan dengan vaksin beradjuvant (Dosis kuman = 1/200 vaksin beradjuvant) BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Septicaemia Epizootica (SE) disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif Pasteurella multocida dengan serotipe tertentu. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan. Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya ingus dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Pada pemeriksaan pasca mati, kelainan yang tampil menyolok adalah oedema subcutaneous dengan cairan serogelatinous terutama di daerah submandibula, leher dan dada. Pada jaringan subkutan dapat ditemui adanya perdarahan titik-titik dan kelenjar limfe membengkak yang dapat berupa pembengkakan, kongesti dan hiperemia atau nekrosis yang nyata. Dalam rongga dada terjadi perubahan pada paru-paru yang berkisar dari pembendungan umum sampai konsolidasi yang ekstensif dengan penebalan septa interlobular.Pencegahan SE yang bisa dilakukan adalah dengan pemberian vaksin. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Kesehatan Hewan. 1977. Septicaemia Epizootica (SE). Dalam Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Lokakarya Penyusunan Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Cisarua, Bogor. Tahun 1976. Hal 37-48. Graydon, R.J., B.E. Patten and H. Hamid 1993. The Pathology of Experimental Haemorrhagic Septicaemia in Cattle and Buffalo. Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR Proc. No. 43 Losos, G.L. 1986. Infectious tropical diseases of domestic animals. Longman, Harlow, Essex. pp. 718 – 738. Natalia L, Priadi A. 2006. Penyakit Septicaemia Epizootica: Penelitian dan Usaha Pengendalianya pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Dalam: Puslitbang Peternakan . Prosiding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 12 juli 2006. Hal 53-67. OIE (The World Organisation for Animal Health). 2009. Haemorragic Septicaemia. http://www.oie.int/animal-health-in-the-world/technical-disease-cards/. Di akses [15 Mei 2012]. Subroto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press

PARTUS NORMAL PADA SAPI DAN DOMBA

• GAMBAR 5 Diagnose : partus normal pada sapi Lama kebuntingan pada sapi FH adalah 283 hari sampai dengan 290 hari adalah normal pada beberapa sapi ras potong Continental. Posisi kelahiran normal pada sapi. Posisi anterior (kedepan) yaitu posisi kepala diletakkan pada kaki depan. Posisi posterior (ke belakang) yaitu kedua kaki belakang masuk dalam saluran peranakan dan bagian punggungnya mengarah ke punggung induk Perubahan Persiapan Perubahan eksternal yang paling penting terlihat pada ligamentum ambing, vulva dan pelvis. Mendekati akhir kebuntingan ambing membesar dan tegang. Kolostrum muncul pada puting susu dan menjadi lebih tebal serta warnanya kuning pada saat menjelang kelahiran. Pada waktu mendekati kelahiran, vulva biasanya memanjang dan mungkin juga sedikit membesar dan oedematus. Lendir vagina yang jernih yang diduga mencairkan sumbat servik dan menyerupai saat estrus akan terlihat 24 – 48 jam sebelum melahirkan. Relaksasi ligamentum fetus terlihat pada akhir kebuntingan dan semakin jelas sewaktu mendekati kelahiran. Relaksasi ini merupakan tanda yang paling nyata dari proses kelahiran yang segera akan terjadi pada ternak sapi. Tahap Pertama Kelahiran Lamanya tahap pertama kelahiran ini berkisar 4 – 24 jam. Tanda – tanda eksternal pada tahapan ini adalah kegelisahan, nafsu makan berkurang, mencakar – cakar tanah, memutar dan berbaring dan kemudian dengan cepat berdiri lagi. Ekornya dinaikkan disebabkan tremor otot belakang dan terkadang adanya perejanan. Apabila servik telah membuka sempurna, maka khorioallantois atau “kantong air pertama” akan segera pecah meskipun juga keadaan ini bisa pecah di dalam karena adanya hambatan kontraksi. Tahap Kedua Kelahiran Lamanya tahap ini berkisar ½ - 3 jam. Sapi normalnya melahirkan dalam kondisi berbaring, terkadang juga bisa melahirkan dalam kondisi berdiri jika ada gangguan dalam proses kelahiran. Pada tahapan ini pedet akan keluar bersama dengan kantong amnionnya dalam bentuk kantong avaskular berwarna keabu – abuan. Apabila amnion telah pecah maka intensitas pengejanan akan meningkat sehingga kontraksi uterus akan bertambah. Dengan keadaan tersebut, induk akan berusaha mengeluarkan kepala fetus melalui vulva dengan bergulung dari rebah sternal ke rebah lateral. Begitu kepala telah keluar maka sisa bagian tubuh yang lain akan dengan mudah mengikuti meskipun biasanya ada hambatan untuk mengeluarkan bagian dada dan pinggul pedet. Tahap Ketiga Kelahiran Tahapan ini merupakan tahapan pengeluaran membran fetus, biasanya akan segera dikeluarkan dalam waktu kurang dari 12 jam setelah kelahiran. Retensi lebih dari 12 jam akan sering diikuti oleh periode retensi yang berlangsung dari 3 sampai 10 hari. • GAMBAR 11 Diagnose : partus normal pada domba Tahapan Kelahiran Kambing Posisi kelahiran normal pada kambing. Posisi anterior (kedepan) yaitu posisi kepala diletakkan pada kaki depan. Posisi posterior (ke belakang) yaitu kedua kaki belakang masuk dalam saluran peranakan dan bagian punggungnya mengarah ke punggung induk. Pada posisi ini biasanya memerlukan waktu lebih lama. Pada keadaan normal kambing akan melahirkan setelah umur kebuntingan kurang lebih 150 hari. Ada 3 tahapan kelahiran pada kambing diantaranya. 1. Menjelang kelahiran (Pre Partus) Menjelang kelahiran terjadi proses pengenduran pinggul, kontraksi rahin dan pelebaran leher rahim untuk memperlebar saluran peranakan dan memudahlan kelahiran. Pada tahapan ini ambing terlihat membesar dan putting susu terisi susu. Tanda-tanda lain terlihat vulva (bibir vagina) berwarna kemerah-merahan, membengkak, lembab; nafsu makan menurun; Nampak gelisah; menggaruk-menggaruk ke tanah dan mengembik-embik. Tahapan ini bisa terjadi dalam waktu satu hari. Berakhirnya tahap ini ditandai pecahnya cairan ketuban 2. Kelahiran (Partus) Kelahiran akan segera terjadi beberapa saat. Proses kelahiran diawali dengan keluarnya kantong ketuban, lalu kantong ketuban tersebut pecah Kelahiran akan segera terjadi beberapa saat. Proses kelahiran diawali dengan keluarnya kantong ketuban, lalu kantong ketuban tersebut pecah Tahapan ini dimulai dengan masuknya janin ke dalam saluran peranakan. Ditandai dengan kambing merejan dan mendorong-dorong urat daging perutnya. Tahapan ini tidak boleh berjalan lebih dari satu jam. Pada kondisi normal janin akan keluar kurang lebih 15 menit. Apabila janin tidak keluar dalam waktu 45 menit dipastikan terjadi permasalahan kelahiran dan harus mendapat pertolongan. 3. Setelah melahirkan (Post Partus) Pada tahap ini terjadi - Pengeluaran sisa-sisa setelah kelahiran (umumnya membutuhkan waktu paling lambat 12 jam) - Pengecilan rahim ke ukuran normal membutuhkan waktu sampai 2 minggu - Pengosongan cairan yang berlebihan di rahim, sebagian cairan ini keluar pada masa setelah kelahiran atau lepasnya plasenta (jawa:ari-ari). Biasanya terlihat keluar lender dalam jumlah sedikit bercampur darah sampai 24 jam. Beberapa masalah yang timbul pada tahapan ini: a. Tertahannya sisa setelah kelahiran lebih dari 24 jam b. Timbulnya lendir berwarna keruh menyerupai nanah dalam 2-3 jam setelah kelahiran c. Adalahnya ledir yang semakin banyak, berbau busuk dan bernanah. Apabila tanda-tanda tersebut maka harus segera diobati tau menghubungi tenaga medis peternakan.

LAPORAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN KURBAN ANTEMORTEM DAN POSTMORTEM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemeriksaan hewan kurban meliputi pemeriksaan kesehatan dan umur hewan. Hewan kurban harus benar-benar dalam keadaan sehat dan layak untuk disembelih, di antaranya harus cukup umur, sudah ganti gigi, tidak cacat dan dalam kondisi sehat. Selain itu, pemeriksaan hewan juga untuk mencegah penyebaran penyakit hewan seperti anthrax. Pemeriksaan hewan kurban dibagi dalam dua tahap yakni pemeriksaan antemortem yaitu pemeriksaan fisik luar hewan sebelum dilakukan pemotongan, dan posmortem yaitu pemeriksaan bagian dalam hewan sesudah pemotongan. Hewan yang sehat secara klinis, yakni tidak cacat, hidung normal, mata normal, jantung dan paru-paru juga normal.. Sementara itu, untuk pemeriksaan postmortem dilakukan dengan sasaran pemeriksaan meliputi kondisi hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan organ bagian dalam hewan. Apabila ditemukan kelainan-kelainan dan ada cacing hati maka organ tersebut harus disingkirkan, karena tidak layak untuk dikonsumsi. Dalam rangka melakukan pemeriksaan kesehatan hewan kurban yang aman bagi masyarakat. Pemeriksaan antemortem dan postmortem sangat penting untuk dilaksanakan agar daging kurban yang dibagikan dimasyarakat terjamin keamanan dan kesehatannta dari penyakit zoonosis. 1.1 Tujuan 1.1.1 Untuk mengetahui cara pemeriksaan antemortem dan postmortem pada pemeriksaan hewan kurban 1.1.2 Untuk mengetahui penyakit-penyakit apa saja yang ada pada sapi dan kambing pasca pemeriksaan ante mortem dan post mortem 1.1.3 Untuk memeriksa kelayakan hewan kurban tersebut untuk konsumsi 1.1.4 Untuk mengetahui tata cara pengambilan sampel dan pengiriman sampel 1.2 Manfaat 1.2.1 Mendapatkan ilmu dan wawasan tentang pemeriksaan dan jenis jenis penyakit pasca pemeriksaan antemortem dan postmortem 1.2.2 Mencegah adanya penyakit zoonosis dari hewan kurban ke masyarakat 1.2.3 Mengerti dan melakukan pengambilan sampel dan pengiriman sampel BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kesehatan Hewan Kurban Pemeriksaan kesehatan ini dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga terlatih dibawah pengawasan dokter hewan . Tahapan ini dimaksudkan untuk menyingkirkan (mengeliminasi) kemungkinan-kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari hewan ke manusia. Proses ini juga bermanfaat untuk menjamin tersedianya daging dan produk ikutannya dengan mutuyang baik dan sehat. Dua tahap proses pemeriksaan kesehatan hewan yaitu pemeriksaan ante mortem dan pemeriksaan pos mortem. Pemeriksaan ante mortem dilakukan sebelum hewan dipotong atausaat hewan masih hidup. Sebaiknya pemeriksaan ante mortem dilakukan sore atau malamhari menjelang pemotongan keesokan harinya. Pemeriksaan pos mortem dilakukan setelah hewan dipotong (Hayati dan Choliq, 2009). 2.1 Pemeriksaan Ante Mortem Pemeriksaan antemortem meliputi pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan perilaku dilakukan pengamatan dan mencari informasi dari orang yang merawat hewan kurban tersebut. Hewan yang sehat nafsu makannya baik, hewan yang sakit nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan sehat nafasnya teratur, bergantian antara keempat kakinya. Pincang, loyo dan tidak bias berjalan menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya lancer tanpa menunjukkan gejala kesakitan. Konsistensi kotoran (feses) padat (Hayati dan Choliq, 2009). Pemeriksaan Fisik dilakukan pemeriksaan terhadap suhu tubuh (temperatur), menggunakan termometer badan ( digital atau air raksa ), suhu tubuh normal sapi berkisar antara 38,5°C - 39,2°C. Bola mata bersih, bening, dan cerah. Kelopak mata bagian dalam (conjunctiva) berwarna kemerahan (pink) dan tidak ada luka. Kelainan yang biasa dijumpai pada mata yaitu adanya kotoran berlebih sehingga mata tertutup, kelopak mata bengkak, warna merah, kekuningan ( icterus) atau cenderung putih (pucat). Mulut dan bibir, bagian luar bersih, mulus, dan agak lembab. Bibir dapat menutup dengan baik. Selaput lender rongga mulut warnanya merata kemerahan (pink), tidak ada luka. Air liur cukup membasahi rongga mulut. Lidah warna kemerahan merata, tidak ada luka dan dapat bergerak bebas. Adanya keropengdi bagian bibir, air liur berlebih atau perubahan warna selaput lendir (merah, kekuningan atau pucat) menunjukkan hewan sakit. Hidung, Tampak luar agak lembab cenderung basah. Tidak ada luka, kotoran, leleran atau sumbatan. Pencet bagian hidung, apabila keluar cairan berarti terjadi peradangan pada hidung. Cairan hidung bisa bening, keputihan, kehijauan, kemerahan, kehitaman atau kekuningan. Kulit dan bulu, bulu teratur, bersih, rapi, dan mengkilat. Kulit mulus, tidak ada luka dan keropeng. Bulu kusam tampak kering dan acak-acakan menunjukkan hewan kurang sehat. Kelenjar getah bening, kelenjar getah bening yang mudah diamati adalah yang berada di daerah bawah telinga, daerah ketiak dan selangkangan kiri dan kanan. Apabila ada peradangan kemudian membengkak tanpa diraba akan terlihat jelas pembesaran di daerah dimana kelenjar getah bening berada. Daerah anus, bersih tanpa ada kotoran, darah dan luka. Apabila hewan diare, kotoran akan menempel pada daerah sekitar anus (Hayati dan Choliq, 2009). 2.2 Pemeriksaan Post Mortem Setelah hewan dipotong (disembelih) dilakukan pemeriksaan postmortem dengan teliti pada bagian-bagian sebagai berikut: Karkas, Karkas sehat tampak kompak dengan warna merah merata dan lembab. Bentuk-bentuk kelainan yang sering dijumpai bercak-bercak pendarahan, lebam-lebam dan berair. Paru-paru, paru-paru sehat berwarna pink, jika diremas terasa empuk dan teraba gelembung udara, tidak lengket dengan bagian tubuh lain, tidak bengkak dengan kondisi tepi-tepi yang tajam. Ditemukan benjolan-benjolan kecil padaparu-paru atau terlihat adanya benjolan-benjolan keputihan (tuberkel) patut diwaspadai adanya kuman tbc. Jantung, ujung jantung terkesan agak lancip, bagian luarnya mulus tanpa ada bercak-bercak perdarahan. Jantung dibelah untuk mengetahui kondisi bagian dalamnya. Hati, warna merah agak gelap secara merata dengan kantong empedu yang relative kecil. Konsistensi kenyal dengan tepi-tepi yang cenderung tajam. Kelainan yang sering ditemui adalah adanya cacing hati (Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica pada sapi). Limpa, ukuran limpa lebih kecil daripada ukuran hati, dengan warna merah keunguan. Pada penderita anthrax keadaan limpa membengkak hebat. Ginjal, kedua ginjal tampak luar keadaannya mulus dengan bentuk dan ukuran relatif semetris. Adanya benjolan, bercak-bercak pendarahan, pembengkakan atau perubahan warna merupakan kelainan pada ginjal. Lambung dan usus bagian luar dan bagian dalam tampak mulus. Lekukan-lekukan bagian dalamnya teratur rapi. Penggantung usus dan lambung bersih Tidak ditemukan benda-benda asing yang menempel atau bentukan-bentukan aneh pada kedua sisi lambung dan usus. Pada lambung kambing sering dijumpai adanya cacing yang menempel kuat berwarna kemerahan (Soedarto, 2003). 2.2 Gambar Pemeriksaan Post Mortem 2.2.1 Pneumonie A. Warna abnormal, jejas nekrose pada sebagian pulmo B. Terjadinya proses peradangan 2.2.2 Fasciolosis a. pada duktus terdapat manifestasi fasiola hepatica b. manifestasi kerusakan bagian hepar c. Nekrose dan jejas 2.3 Pneumonia Pneumonia atau pneumonitis adalah suatu peradangan pada paru-paru terutama pada bagian parenkhim paru. Kondisi ini mengakibatkan adanya gangguan fungsi sistem pernafasan (Fincher, et al., 1956). Radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim yang dapat berlangsung baik akut maupun kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal pada waktu auskultasi, dyspnoe dan kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh berbagai agen etiologi, radang yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan terjadinya toksemia. Secara patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang bronchus hingga terjadi bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan. 2.3.1 Etiologi Faktor-faktor pengelolaan peternakan dan lingkungan hewan sangat berpengaruh terhadap terjadinya radang paru-paru pada suatu peternakan. Cara-cara pemeliharaan seperti penempatan hewan yang selamanya hanya dikandang saja, tempat yang lembab atau berdebu, ventilasi udara yang jelek, penempatan hewan dari berbagai umur dalam satu tempat, jumlah hewan yang berlebihan dalam satu kandang, hewan yang berdesak-desakan (over crowding), pemasukan hewan-hewan yang tidak beraturan, merupakan faktor-faktor yang mendukung terjadinya pneumonia (Fincher, et al., 1956). Selain itu, adanya radang seperti radang pada bronkhus (bronkhitis) juga dapat bertindak sebagai penyebab pneumonia. Terlebih sebagian besar kejadian pneumonia pada hewan asalnya bersifat bronchogenik (adanya benda-benda asing yang masuk kedalam atau melalui bronkhus), tetapi beberapa dapat berasal dari rute hematogenik (via darah). Pada lingkungan yang jelek sering terjadi infeksi bakteri Pasteurela sp dan Streptococcus sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada hewan biasanya bersifat akut. Pada kultur paru-paru hewan yang sudah mati disebabkan pneumonia sering dijumpai adanya bakteri Corynobacterium pyogenes, Hemolytic staphylococci dan Pseudomonas aeruginosa. Etiologi kejadian pneumonia sangat beragam. Penyakit pneumonia pada sapi dapat diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya, parasit metazoa (metazoan parasites) dan agen-agen fisik/kimia lainnya. Adapun spesifitas agen penyebab tersebut adalah : • Virus : Infectious Bovine Rhinotracheitis, Malignant Catharhal Fever, Bovine Fever, Bovine Herpes V-4, Adenovirus, Parainfluenza-3, Bovine respiratory Virus, Bovine Virus Diarrhea-Mucosal Disease, Rhino-virus, Rota-virus. • Bakteri : Pasteurella multocida,Pasturella hemolitica, Streptococcus sp, Mycobacterium tuberculosa, Corynobacterium pyogenes, Hemophilus somnus • Jamur: Chlamydia psittaci • Mycoplasma: Mycoplasma mycoides, Mycoplasma dispar, Mycoplasma bovis • Parasit: Dictocaulus viviparus 2.3.2 Patogenesa Agen-agen infeksi memasuki jaringan paru-paru secara inhalasi, hematogen atau limfogen. Berat ringan proses radang tergantung pada jenis, virulensi, dan jumlah agen infeksi yang berhasil memasuki jaringan. Infeksi secara hematogen dan limfogen menyebabkan terbentuknya foci-foci radang yang letaknya tersebar pada berbagai lobus paru-paru. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh bakteri Pasteurela sp dan Mycoplasma sp sedangkan yang disebabkan jamur atau bakteri Mycobacterium sp kebanyakan bersifat kronis dengan pembentukan granuloma. Sedangkan agen infeksi yang disebabkan oleh viral berlangsung subklinis yang memerlukan faktor lain dalam patogenesisnya yaitu dengan kerja sama dengan bakteri patogen lain maupun pengelolaan peternakan dan lingkungan yang jelek. Radang paru-paru akan menyebabkan terjadinya hipoksia karena terjadi ganguan pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Kompensasi dari hal tersebut hewan akan meningkatkan frekuensi dan intensitas pernafasan. Karena adanya rasa sakit ketika bernafas disebabkan meningkatnya kepekaan jaringan yang mengalami radang pernapasan berlangsung cepat dan dangkal. Adanya hiperemi, paru-paru akan mengalami pemadatan, konsolidasi yang dalam keadaan lanjut terjadi pemadatan yang berkonsistensi seperti hati ( hepatisasi). Pada uji apung jaringan yang berkonolidasi akan melayang ataupun tenggelam. Adanya eksudat pada saluran pernafasan akan menyebabkan batuk bagi jaringan yang peka, karena eksudat ini bila dilakukan auskultasi akan terdengar suara ronchi basah dan hilangnya suara vesikuler. Selain itu pernafasan yang normalnya tipe kostoabdominal akan berubah menjadi tipe abdominal (Hayati dan Choliq, 2009). Hampir semua kejadian pneumonia berawal dari mekanisme pertahanan paru-paru. Dibawah kondisi yang normal, aliran udara utama dan parenkhim paru-paru mencegah masuknya agen yang berbahaya, menetralisir serta menyingkirkannya, sehingga paru-paru mengandung sedikit, jika ada, organisme yang sampai ke bagian ujung paru-paru. Beberapa infeksi alat respirasi berasal dari partikel debu yang membawa agen infeksi dimana keluar/masuk paru-paru. Untuk terjadinya suatu infeksi melalui rute aerosol, agen penyebab infeksi harus bersifat mudah dibawa oleh udara (aerosolized), tahan di udara, dapat ditempelkan pada dinding alat respirasi dari induk semang yang peka, dan kemudian memperbanyak diri. Jadi patogenesa dari infeksi penyakit respirasi terkait dengan deposisi partikel dan agen infeksi dalam alat respirasi. Di bawah kondisi normal suatu mekanisme pertahanan biokimiawi, fisiologis dan immunologis secara kompleks melindungi alat pernafasan dari partikel masuk, yang mungkin bersifat melukai atau infeksius. Mekanisme pertahanan utama alat respirasi meliputi filtrasi aerodynamika oleh rongga hidung, bersin, refleks laryngealis, refleks batuk, mekanisme transport mucociliary makrofag alveolar dan sistem antibodi sistemik maupun lokal. Selain itu, gambaran anatomis dan fisiologis dari sistem respirasi sapi memungkinkan adanya predisposisi terhadap berkembangnya penyakit paru-paru dibandingkan hewan lainnya. Sapi secara fisiologis mempunyai kapasitas pertukaran gas yang kecil dan aktifitas tekanan ventilasi basal lebih besar. Kapasitas pertukaran gas yang kecil menyebabkan sapi mendapatkan tingkat oksigen alveolar dan bronchial rendah selama berada pada dataran tinggi dan selama periode aktifitas fisik/metabolik. Pada saat itu, tekanan oksigen rendah atau hypoxia mungkin memperlambat aktifitas mucociliary dan makrofag alveolar dan menurunkan kecepatan proses pembersihan paru-paru (Subronto 2003). Paru-paru sapi juga mempunyai tingkat pembagian ruangan yang lebih besar dari pada hewan lain. Hal ini memungkinkan terjadinya hypoxia perifer pada jalannya udara sehingga jalannya udara menjadi terhambat. Hal ini mengakibatkan penurunan aktifitas fagositosis dan retensi multifikasi agen-agen infeksius. Disamping itu, karena makrofag alveolar jumlahnya rendah pada paru-paru sapi, maka mekanisme pembersihan paru-paru tidak seefektif hewan lain. Demikian pula tingkat atypical bioactivity dari lysozyme mukus respirasi pada sapi yang rendah, memungkinkan sapi lebih mudah menderita infeksi saluran pernafasan dibandingkan spesies hewan lainnya. 2.3.3 Gejala klinis Pada awalnya radang paru-paru ( pneumonia ) didahului gejala hiperemi pulmonum, diikuti dyspnoe, frekuensi nafas 40-80 kali permenit, tipe nafas bersifat abdominal, napasnya mula-mula dangkal kemudian dalam, batuk, setelah berlangsung beberapa hari muncul leleran pada hidung, pulsus 60-90 kali per menit, demam ( suhu 42ºC ) kenaikan suhu tubuh ini sejalan dengan reaksi tubuh dalm memobilisasi sel-sel darah putih dan berlangsungnya seperti antigen-antibodi. Pada inspeksi terkadang tercium bau abnprmal dari pernapasan penderita. Bau busuk ( halitosis, foxtor ex ero ) dapat berasal dari runtuhan sel atau dari produk bakteri penyebab pneumonia. Bau busuk selalu ditemukan pada radang paru-paru yang disertai ganggren. Pada auskultasi daerah paru-paru akan terdengar berbagai suara abnormal. Terdengar suara bronchial ( rhonci basah ) yang seharusnya suara vesicular disebabkan alveoli terisi cairan radang. Pada pemeriksaan perkusi pada daerah paru-paru tidak ditemukan adanya perubahan pada batas-batas daerah perkusi. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi mulai dari agak pekak pada daerah yang mengalami hiperemi sampai pekak total pada daerah yang mengalami hepatisasi. Pada sapi perah terjadi penurunan produksi susu bahkan sering sekali produksi susu terhenti sama sekali. Penderita tampak lesu, malas berbaring, gelisah, kehilangan nafsu makan dan minum, depresi, terkadang pernapasan dengan mulut, konstipasi dan oligouria. Gejala klinis terjadinya pneumonia pada sapi adalah respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan), tidak selalu ditandai dengan kenaikan suhu/demam karena kenaikan suhu tubuh berlangsung sejalan dengan reaksi tubuh dalam memobilisasi sel darah putih dan berlangsungnya reaksi antigen-antibodi. Pada pneumonia yang telah berjalan cukup lama (kronis) tidak disertai dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto 2003). Pada pemeriksaan auskultasi, daerah paru-paru akan terdengar suara abnormal. Karena alveol berisi cairan radang, pada saat inspirasi suara bronchial lebih kecil atau sama dengan suara vesikular. Pada pemeriksaan secara perkusi, tidak ditemukan batas-batas yang jelas pada gema perkusinya. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi. Selain itu, pada perkembangan lebih lanjut, pada sapi yang sedang produksi akan mengalami penurunan produksi atau produksi air susu akan terhenti sama sekali, hewan lesu, malas, berbaring dan kehilangan nafsu makan dan minum (Subronto 2003). 2.3.4 Diagnosa Didasarkan pada: a. Gejala Klinis Diagnosa pneumonia didasarkan atas gejala klinik yang terlihat dan dilengkapi dengan pemeriksaan secara auskultasi, perkusi dan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan foto rontgent. Untuk mengetahui etiologi atau agen penyebab pneumonia perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis berupa pemeriksaan sputum atau leleran hidung atau swab trakheal (Subronto 2003). b. Pemeriksaan hematologi Pemeriksaan ini untuk melihat gambaran sel darah putih dan jika memungkinkan dapat pula dilakukan pemeriksaan serologis, terutama untuk mengetahui keberadaan agen virus. Bahkan pemeriksaan feses natif untuk mengetahui telur cacing juga dapat dilakukan. Karena larva nematoda Dictyocaulus viviparus dalam perjalanannya di paru-paru dapat menyebabkan peradangan (Lungworm pneumonia). c. Pemeriksaan makroskopis Pemeriksaan makroskopis pada paru-paru tampak perubahan warna mulai yang dari kemerahan sampai menjadi abu-abu dan kuning bahkan terjadi hepatisasi merah, konsistensinya berubah menjadi seperti hati yang elastis bahkan mengalami kerapuhan. Pada pengirisan paru-paru ditemukan adanya eksudat mulai dari serous sampai mukopurulen, jaringan parenkim tampakmengalami kongesti dan hepatisasi. Pada uji apung akan melayang atau tenggelam, dan ditemukan inklusi bodi pada pneumonia yang disebabkan virus. 2.3.5 Diagnosa Banding Differensial diagnosa terhadap pneumonia adalah didasarkan pada adanya kemiripan diantara penyakit seperti gejala klinis respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan). Keadaan oedema pulmonum patut dipertimbangkan. Mengingat pada kondisi oedema pulmonum juga terlihat adanya gangguan suplai oksigen dan karbondioksida akibat adanya pengisian cairan pada alveola. Selain itu, gangguan pada pleura (pleuritis) perlu diperhatikan juga, karena pada pemeriksaan atau uji gumba, kondisi pleuritis juga menunjukkan reaksi sakit (positif). Terlebih radang ini jarang ditemukan yang berdiri sendiri. Kondisi pneumonia yang telah berlanjut pun dapat mengakibatkan peradangan pada pleura (Subronto 2003). Diagnosa banding lainnya antara lain: * gangguan jantung * hiperemi pulmonum, * oedema pulmonum, * emfisema pulmonum * laringo-tracheitis 2.3.6 Terapi Pengawasan pada hewan yang masih sehat sangatlah penting, penderita ditempatkan dikandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. Pemberian Ca boroglukonat dan vitamin C serta penangan dehidrasi sangat berguna untuk terapi pneumonia. Terapi sangat efektif dilakukan jika telah mengetahui agen penyebab pneumonia. Pengobatan dengan antibiotik berspektrum luas. 2.4 Fasciolisis 2.4.1 Sinonim Fasciolisis dikenal dibanyak Negara dengan berbagai istilah yang berbeda namun mempunyai arti yang sama. Nama lain dari fascioliasis adalah Distomatosishepatik, Fasciolosis, cattle liver fluke, Giant liver fluke (Akoso,1991). 2.4.2 Etiologi Fascioliasis adalah penyakit yang disebabkan cacing dari genus fasciola. Berdasarkan taxonominya cacing ini mempunyai klsifikasi sebagai berikut: Phylum : Platyhelminthes Kelas : Trematoda Ordo : Digenea Family : Fasciolidae Genus : Fasciola Species : Fasciola hepatica, Fasciola gigantika Nama Daerah : Tidak diketahui. Sedang secara anatomi fasciola berbentuk pipih dorsoventral. Ukuran dan bentuk fasciola bervariasi F. gigantika berukuran 25-75 X 5-12 mm, berwarna terang dan pundaknya tidak begitu nyata, telurnya berukuran 156-197 X 90-104 mikron. F. hepatika berukuran 25-30 X 8-15 mm, berwarna coklat keabuan dan pundaknya lebar, telurnya berukuran 130-160 X 63-90 mikron (Levin, 1994) 2.4.3 Distribusi Distribusi penyakit ini hampir ada diseluruh hewan produksi seperti sapi dan kambing diseluruh dunia. FascioliAsis biasanya terjadi pada daerah daerah yang mempunyai populasi hospes intermedietnya saja (Anonim, 2005). 2.4.4 Kejadian dan penyakit pada manusia Menurut data yang ditulis dalam jurnal wikipedia tahun 2005. Fasciolosis pada manusia banyak dilaporkan dari negara-negara Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Oceania. Prevalensi penyakit pada manusia berkorelasi dengan penyakit pada hewan. Eropa Dari tahun 1970-1982 di Prancis terdapat 5863 kasus yang dilaporkan di rumah sakit. Penyakit tersebut secara serologis 3.01% berada di Antalusia dan 6.1% di Isparta, Amerika Di Amerika serikat penyakit ini bersifat sporadik sedang di Mexico terdapat 53 kasus yang dilaporkan. Afrika Prevalensi yang tinggi telah di laporkan di Egypt, penyakit tersebar di lingkungan sekitar Nile delta. Kecuali di bagia utara tidak ada laporan. Asia Di Asia kasus yang dilaporkan di Iran dengan jumlah 10 000 kasus yang terdeteksi sedang di Asia tenggara kasus ini bersifat sporadik. 2.4.5 Kejadian dan penyakit pada hewan Pada hewan di dunia terdapat 89.5% kasus infeksi. Penyebaran Kejadian penyakit pada hewan terdapat di beberapa negara diantaranya: Europa : Ireland, Prancis, Portugal, Italia, Jerman. Asia : Thailand, Iraq, Iran, China, Vietnam, Jepang. Afrika : Kenya, Zimbabwe, Maroko. Amerika : Mexico, Peru, Brazil. Australia : Australia, New Zaeland. Hewan yang rentan adalah domba dan kambing, hewan yang kurang rentan adalah sapi, kerbau dan ruminan lain, dan dapat juga menyerang babi, anjing, kucing, kuda, kelinci dan manusia. (Anonim 2005) 2.4.6 Kejadian dan penyakit di Indonesia Fascioliasis mula-mula dilaporklan oleh Van Velzen di Tangerang pada tahun 1890 dan sekarang diketahui tersebar di seluruh Indonesia sesuai dengan penyebaran siput Lymnea yang menjadi induk semang antara. Fasciola gigantika merupakan parasit asli dari Indonesia sedangkan F. hepatica datang ke Indonesia mungkin bersama-sama dengan di bawanya sapi perah FH dari Belanda. Fasciolosis pada sapi dan kerbau bersifat kronis, sedangkan pada domba dan kambing bersifat akut. Fasciola gigantika dapat menimbulkan kematian pada hewan, terutama biri-biri dan sapi (Soedarto, 2003) 2.4.7 Sumber Infeksi dan Penularan Sumber infeksi yang utama berasal dari kontamianan air dan daging atau produk lain asal hewan yang terinfeksi stadium infektif dari cacing fasciola (Akoso,1996) Infeksi terjadi didaerah yang basah atau lembab, rawa atau daerah payau, dimana banyak terdapat siput., cacing akan keluar dan berenang dan berkeliling akhirnya menempel dan tinggal pada tumbuh-tumbuhan yang akan termakan oleh hewan yang kemudian menjadi induk semang. Penularan ini juga berhubungan erat dengan siklus hidup cacing ini: Induk semang dari fasciola adalah siput, umumnya genus Lymnea. Di Indonesia telah diketahui adalah Lymnea rubiginosa. Telur fasciola keluar bersama tinja induk semang dari telur yang menetas keluar mirasidium yang terus masuk ke dalam siput. Dalam tubuh siput mirasidium berubah menjadi sporokista. Sporokista menghasilkan redia, dan redia menghasilkan serkaria. Serkaria keluar dari siput yang merupakan fase infektif. Bila serkaria tidak termakan oleh induk semang maka akan menghasilkan kisata (metaserkaria), tenggelam ke dalam air atau menempel pada rumput (Levin, 1994). Infeksi terjadi bila induk semang memakan rumput atau meminum air yang tercemar. Dalam usus serkaria keluar dari metaserkaria dan terus menembus dinding usus masuk keruang peritoneum, selanjutnya menembus selaput hati dan meninggalkan jalur-jalur hemorhagik pada parenkim hati dalam perjalanannya menuju saluran empedu untuk menjadi dewasa. Masa prepaten 2-3 bulan (Soedarto, 2003). 2.4.8 Gejala klinis Gejala klinis fascioliasis dapat sangat ringan atau tanpa gejala, namun gangguan pada fungsi hati dapat juga terjadi. Bentuk akut pada sapi mempunyai ciri-ciri gangguan pencernaan, adanya gejala konstipasi yang jelas dan kadang-kadang mencret. Terjadi pengurusan yang cepat, lemah dan anemia. Bentuk kronik pada sapi berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang terhambat. Bentuk akut pada domba dan kambing, berupa mati mendadak disertai darah yang merembes atau keluar dari hidung dan anus. Bentuk kronik pada tahap pertama pada domba menunjukan gejala menjadi gemuk akibat banyaknya empedu yang disalurkan ke dalam usus, karena lemak kurang berfungsi atau tidak dipergunakan akibat adanya anemia. Meskipun gemuk terjadi kelemahan otot. Selanjutnya diikuti penurunan nafsu makan, selaput lendir pucat, serta bulu menjadi kering dan rontok, akhirnya terjadi kebotakan dan hewan menjadi lemah dan kurus (AAK, 1995) 2.4.9 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit penderita yang mengalami pembesaran hati yang melunak, dan disertai sindrom demam eosinofilik. Migrasi cacing muda dari usus ke hati dapat menimbulkan lesi ektopik di dinding usus, jantung, bola mata, paru dan jaringan dibawah kulit, sehingga menimbulkan keluhan setempat (Akoso, 1994). Untuk menegakkan diagnosis pasti, dilakukan pemeriksan tinja atau cairan duodenum atau cairan empedu hospes untuk menemukan telur cacing fasciola. Penghitungan jumlah telur tiap gram tinja, menemukan metaserkaria pada rumput. Untuk membantu menegakkan diagnosis terutama fasciolosis jaringan dan fascioliasis dalam periode prepaten, maka dapat dilakukan berbagai uji imunodiagnostik misalnya uji imunofluoresen tak langsung, uji hemaglutinasi pasif, uji presipitasi gel atau metode imunodiagnostik lainnya (Akoso, 1995) 2.4.10 Diagnosa banding Bentuk akut dapat keliru dengan penyakit antrax, karena adanya pengeluaran darah dari hidung dan anus. Bentuk kronik pada domba dapat keliru dengan haemonchosis karena adanya bottle jaw, anemia pada fascioliasis dapat keliru dengan anemia oleh penyebab yang lain (Akoso, 1991). 2.4.11 Perubahan pascamati Pada hewan dewasa perubahan-perubahan sering hanya terbatas pada hati. Mungkin hewan itu sedikit kurus atau pucat. Pada hewan muda perubahan-perubahan biasanya lebih menyolok, kekurusan, anemi, busung air dimana-mana merupakan perubahan-perubahan terpenting. Pada infeksi akut hati bengkak karena degenerasi parenkim atau infiltrasi lemak; di bawah selubung hati dan pada bidang sayatan nya terlihat perdarahan-perdarahan disebabkan oleh migrasi parasit-parasit muda. Dalam tingkat hal ini kita harus waspada terhadap infeksi sekunder dengan salmonella. Perubahan-perubahan pada hati dalam tingkat menahun ialah cholangitis, peri- cholangitis yang menjadikan hepatitis chronica indurativa (sirosis parasiter). Dinding saluran – saluran empedu sangat tebal karena pembentukan jaringan ikat dan endapan kalsium. Di dalam saluran – saluran itu tertimbun massa`detritus yang berlendir dan mengandung distoma dewasa. Sarang – sarang distomum sekali – sekali ditemukan di dalam paru – paru dan limpa (Ressang, 1984). 2.2.12 Tindakan Menurut soedarto(2003), Pemberantasan atau tindakan fascioliasis ini yang sangat merugikan peternak hendaknya mendapat perhatian lebih banyak. Pemberantasan ini berdasarkan profilaksis termasuk pemberantasan induk-induk semang antara yaitu siput. Untuk mencegah penyebaran fascioliasis pada manusia, selain dengan mengendalikan fascioliasis pada hewan, juga dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi makanan atau air yang tercemar stadium infektif. Makanan atau minuman hendaknya dimasak. Pendidikan kesehatan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan hidup. Tindakannya meliputi : 1. Administrasi • pemeriksaan hati ternak yang dipotong terhadap infeksi fasciola sesuai dengan peraturan yang berlaku. • Mencatat dan melaporkan hasil pemeriksaan secara teratur. 2. Pencegahan • pemotongan siklus hidup dengan mollusida • memberantas siput secara biologi, misalnya dengan pemeliharaan itik. • Rotasi lapangan rumput. • Memperbaiki sistem pengairan sehingga memungkinkan tindakan pengeringan. • Menyebarkan copper sulphat atau trusi di lapangan penggembalaan. • Melakukan pemberian obat cacing secara teratur. 3. Pengendalian Secara umum paling tidak pengobatan harus dilakukan 3 kali dalam setahun yaitu : • permulaan musim hujan, untuk menghilangkan cacing didapat selama musim kemarau dan menghadapi perluasan habitat siput. • Pertengahan musim hujan, untuk mengeluarkan cacing yang diperoleh selama musim hujan, dan untuk mengurangi peluang infeksi mirasidium pada siput yang habitatnya meluas. • Pada akhir musim hujan, untuk menghilangkan cacing yang didapat selama musim hujan serta mengurangi potensi untuk terkontaminasi dimusim kemarau. 2.4.13 Pengobatan - Hexachloroethane (Egitol 20-30 mg/kg BB, PO) - Hexachlorophene (Distodin 15-20 mg/kg BB, PO) - Nitroxynil (Dovenik 10 mg/kg BB, SC. Trodak 10-12,5 mg/kg BB, SC) - Derivat Benzimidazol (Albendazol, Triclabendazol, Prebendazol, Febantel) Dosis 10-15 mg/kg BB untuk sapi dan kerbau, 10 mg/kg BB untuk domba dan kambing. Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap fascioliasis pada manusia, namun pemberian Praziquantel dengan dosis 25 mg/kg BB 3 kali sehari sesudah makan, yang diberikan selama 1-2 hari ternyata memberikan hasil yang cukup memuaskan (Soedarto, 2003). 2.5 Tata Cara Pengambilan sampel dan Pengiriman Sampel A. Sampel untuk pemeriksaan histopatologi Dilakukan dengan buffer formalin netral 10%. Potongan organ atau jaringan harus diambil sesegera mingkin, dan tidak boleh lebih tebal dari 0,5 cm. sebaiknya potongan jaringan dipilih pada bagian yang mewakili jaringan normal dan abnormal dari suatu organ. Lakukan fiksasi sesegera mungkin dalam larutan formalin 10% B. Sampel untuk pemeriksaan mikrobiologis Pengambilan sampel untuk pemeriksan mikrobiologis harus aseptis dan dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya permukaan jaringan atau organ dipanaskna terlebih dahulu dengan menempelkan spatula panas, kemudian buat irisan dan ambil sampel yang diperlukan dari bagian dalam organ, abses atau masa koagulasi dalam jaringan. Dari tempat irisan ini bisa diambil sampel dengan swab steril, runtuhan jaringan atau cairan. Untuk organ berongga seperti saluran gastrointestinal cara terbaik adalah dengan diikat pada ujung-ujungnya dan diletakkan pada petridish steril. C. Sampel untuk pemeriksaan toksikologi Material untuk pemeriksan toksikologi harus bebas dari kontaminasi bahan kimia selama proses nekropsi. Beberapa sampel yang harus diambil antara lain whole blood, sera potongan jaringan, urine, isi lambung dan usus. D. Sampel untuk pemeriksaan parasitologi Sampel ectoparasit diambil sebelum cadaver dibuka untuk nekropsi. Caplak, kutu dan pinjal dharus diambil hati hati dari rambut atau bulu, dan difikasasi menggunakan formalin 10% atau ethyl alcohol 70%. Untuk infeksi kutu kurap (mange mites), pengambilan sampel dengan cara melakukan kerokan kulit hingga berdarah dan letakkan pada gelas objek dan teteskan mineral oil. Untuk sampel cacing gastrointestinal dapt juga difiksai menggunakan larutan formalin dan utuk menghindari melingkarnya cacing dapat dicegah dengan menthol atau air hangat pada specimen. E. Sampel untuk pemeriksaan sitologi Sampel ulas dari jaringan tumor biasanya dilakukan untuk pemeriksaan sitologis. Preparat ulas diambil dari irisan tumor, biarkan kering segera untuk mengawetkan struktur selnya, fiksasi bisa dilakukan dengan api Bunsen atau dengan merndamya dalam larutan methanol. F. Sampel cairan dan darah Sampel darah harus segera diambil pada hewan yang sudah maribound. Pada beberapa kasussampel darah masih bisa diambil pada hewan yang sudah mati 3-4 jam. Darah dapat diambil dari jantung pada saat nekropsi dengan seksi pada dinding jantung. Penambahan antikoagulan diperlukan jika ingin memperoleh plasma. Jika yang dibutuhkan serum sebaiknya sampel darah dikoleksi ke dalam tbung gelas yang akan mempercepat proses koagulasi. Pengambilan sampel cairan tubuh harus bebas kontaminasi. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Hewan kurban yang akan disembelih harus dilakukan pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga terlatih dibawah pengawasan dokter hewan. Tahapan ini dimaksudkan untuk menyingkirkan (mengeliminasi) kemungkinan-kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari hewan ke manusia. Proses ini juga bermanfaat untuk menjamin tersedianya daging dan produk ikutannya dengan mutu yang baik dan sehat. Dua tahap proses pemeriksaan kesehatan hewan kurban yaitu pemeriksaan antemortem dan postmortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum hewan dipotong atau saat hewan masih hidup. Sebaiknya pemeriksaan antemortem dilakukan sore hari atau malam hari menjelang pemotongan keesokan harinya. Pemeriksaan postmortem dilakukan setelah hewan dipotong. Untuk usia harus sudah memenuhi syarat untuk dijadikan hewan kurban yaitu sudah ganti gigi atau berusia satu tahun ke atas untuk kambing dan domba, sedangkan untuk sapi dan kerbau harus sudah berumur di atas dua tahun. Pengambilan dan pengiriman sampel perlu dilakukan untuk mengetahui diagnosa lanjut dari kelainan-kelaina yang ditemukan pada pemeriksaan post mortem kesehatan hewan kurban. DAFTAR PUSTAKA AAK, 1995, Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah, Kanisius, Yogyakarta. Akoso,T. B., 1991, Manual Untuk Paramedik Kesehatan Hewan, 2ed, Omaf-Cida Disease Investigasi center. Bearden HJ, and JW Fuquay. 1992. Applied Animal Reproduction Third Edition Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. Fincher, M.G., W.J. Gibbons, K. Mayer, S.E. Park. 1956. Diseases of Cattle. American Veterinary Publication, ING., Evanston, Illinois. Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Ressang, A. A., 1984, Pathologi Khusus Veteriner, Fad Project Khusus Investigasi Unit Bali. Soedarto. 2003. Zoonosisi Kedokteran. Airlangga press. Surabaya.

PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN di KLINIK PENDIDIKAN PKH UB

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diagnostik klinik merupakan ilmu yang mempelajari teknik diagnosis standard dari suatu penyakit berdasarkan pada pemahaman terhadap normal atau abnormalnya parameter patofisiologi yang dapat diidentifikasi dari tubuh dengan menggunakan teknik-teknik diagnosa standard. Teknik-teknik diagnosis standard haruslah dipahami secara benar agar mahasiswa dapat menetapkan diagnosis secara akurat dari suatu penyakit berdasarkan perubahan-perubahan parameter patofisiologis yang dapat diidentifikasi melalui teknik-teknik diagnosis standard secara holostik dan terintegrasi. Mata kuliah ini merupakan gerbang untuk menuju pada terjaminnya kompetensi dan profesionalisme mahasiswa Kedokteran Hewan sebagai seorang praktisi Dokter Hewan. Tanpa pemahaman yang benar terhadap materi-materi perkuliahan ini maka kompetensi dan profesionalisme seorang dokter hewan sebagai praktisi di Bidang Kedokteran Hewan akan sulit terwujud. Dengan adanya studi lapangan diharapkan mahasiswa dapat mendapat gambaran, pengetahuan, serta wawasan sehingga dapat menerapkan ilmu yang sudah didapat di bangku kuliah untuk dipraktikkan di lapangan. 1.2 Tujuan 1.2.1 Dapat melakukan teknik diagnosis standart terhadap kasus di lapangan. 1.2.2 Dapat mendiagnosa dengan teknik diagnosis standart (diagnosa klinik) terhadap kasus di lapangan. 1.2.3 Dapat mengerti, memahami dan menjelaskan kasus yang ditemui saat praktikum di lapangan. 1.3 Manfaat 1.3.1 Mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dengan keadaan di lapangan sehingga memberikan gambaran dan wawasan bagaimana bekerja di masyarakat BAB II PEMBAHASAN 2.1 Signalemen dan Diagnosis 2.1.2 Kasus 1 Hewan : Kucing Angora Nama : Noah Suhu Badan : 38,1° C Berat Badan : 4,5 kg Gejala : Saat Kencing terlihat kesakitan, Disuria Terapi : Vitamin C dalam bentuk tablet diminum sehari ¼ bagian Ne Phrolit sehari 2 kali No VIII. Diagnosa : Feline Urologic Syndrome (FUS) 2.1.2 Kasus 2 Hewan : Kucing Angora Nama : Bronies Grey Umur : 1 bulan Gejala : diare berdarah, muntah, ada jamur di badan Diagnosa : Feline Panleukopenia 2.2 Feline Urologic Syndrome (FUS) Feline Urologic Syndrome (FUS) atau Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD) adalah suatu kondisi dimana terdapatnya bentukan kristal yang menyumbat saluran urinasi bagian bawah seperti vesica urinaria, bladder sphincter, dan uretra, sehingga kucing mengalami kesulitan urinasi. Kondisi ini sering terjadi pada kucing muda, bisa jantan ataupun betina, namun lebih sering terjadi pada kucing jantan (Roger et al., 2004). 2.2.1 Gejala Klinis a. Disuria b. Depresi c. Lemah d. Muntah e. Nafsu makan menurun f. Biasanya disertai cystitis, infeksi saluran urinaria bagian bawah, adanya sumbatan (debris dan kristal membentuk sumbatan di urethra), uremia (akumulasi produk toksik seperti nitrogen dan kreatinin dalam aliran darah) g. Hematuria (adanya darah dalam urine) h. Polliuria (peningkatan frekuensi urinasi) i. Urinasi tidak pada tempatnya (tidak di litter box) j. Sering menjilati daerah genital. k. Kesakitan ketika urinasi (Nelson et.al., 2003). 2.2.2 Patogenesis Sel tubuh memproduksi berbagai zat seperti nitrogen dan kreatinin dari hasil metabolisme, yang dibuang ke aliran darah lalu dibawa ke ginjal kemudian difiltrasi seperti halnya garam dan mineral. Materi yang telah difilter kemudian dibawa ke vesica urinaria. Pakan kering, dengan air minum yang kurang, dapat menyebabkan pH urin lebih tinggi atau lebih rendah daripada biasanya. Pada kondisi tersebut, kristal dapat terbentuk, yang kemudian dapat menyumbat uretra, dan menghambat urinasi. Karena ginjal memompa zat tersebut ke vesica urinaria, maka vesica urinaria akan terisi. Normalnya, kucing urinasi beberapa hari sekali. Vesica urinaria yang bersifat elastik dapat menampung urin dengan volume yang lebih. Setelah 24-36 jam, vesica urinaria akan terisi dengan sempurna. Pada saat itulah, toksin mulai menggangu filtrasi ginjal. Pada saat ginjal berhenti memfilter darah, toksin akan memenuhi aliran darah (Anonim, 2007). 2.2.3 Diagnosis Diagnosis dapat dilakukan dengan (Gerber, 2009) : I. Anamnesa (perubahan lingkunagn, pakan, stress) II. Gejala klinis, pemeriksaan fisik (palpasi abdomen: FUS → jika dipalpasi terasa sakit) III. Analisis urin 1. Pemeriksaan visual a. Pemeriksaan turbiditas (cloudnes / kekeruhan) b. warna urin → normal : kuning , bersih ; abnormal : keruh, tercampur darah bila berbusa ada masalah di hati pink, biru karena pengaruh obat 2. Specific Gravity (SG) Untuk mengukur seberapa baik ginjal mampu mengkonsentrat urin dan jumlah zat yang terlarut dalam urin. Tes ini digunakan untuk mengukur berat urin disbanding dengan jumlah airnya. Bila SG urin naik, menunjukkan bahwa terdapat banyak materi padat yang terlarut dalam urin. 3. Dipstik analisis Tes kimia berupa strip yang digunakan untuk mengukur /melihat darah, glukosa, protein, bilirubin, dan keton dalam urin. 4. White Blood Cell (pyuria) Dalam keadaan normal tidak ditemukan WBC, namun bila ditemukan adanya WBC dalam urin dapat diindikasikan terjadinya infeksi pada saluran urinasi, sakit ginjal, atau kanker. 5. Red Blood Cell (hematuria) Sama halnya dengan WBC, dalam keadan normal RBC tidak ditemukan dalam urin. Bila ditemukan RBC dalam urin, kemungkinan terjadi radang, penyakit atau luka pada ureter, vesica urinaria, atau uretra. 6. Protein (proteinuria) Pada keadaan normal tidak ada. Protein pada dilute urin lebih signifikan daripada concentraled urin. Hasil ini akan berhubungan dengan SG dan mengindikasikan terjadinya radang, hemoraghi atau penyakit ginjal. 7. Glukosa (glukosuria) Glukosa merupakan tipe gula yang ditemukan dalam darah, bila terdapat glukosa dalam urin mengindikasikan adanya penyakit diabetes. 8. Bilirubin (bilirubinuria) Bilirubin merupakan orange-bile-pigmen yang dibentuk dihati, yang kemudian dieksresikan melalui urin. Bila terlalu banyak terdapat bilirubin mengindikasikan adanya hepatitis/hemolisis (destruksi RBC), penyakit ginjal, FIP, Feline hepatic lipidosis. 9. Keton Keton normalnya tidak terdapat dalam urin. Seperti halnnya glukosa, keton diproduksi dari pemecahan lemak untuk kemudian diubah menjadi energi. Namun bila terdapat keton dalam urin, mengindikasikan adanya penyakit diabetes, ketoacidosis/insuficien food intake/malnutrisi. 10. pH urin normal pH urin adalah 6-7. Namun semua tergantung dari diet, obat-obatan serta penyakit, umumnya pH urin kucing bersifat asam. 11. Pemeriksaan mikroskopik Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pengambilan sample urin yang disentrifus (sedimentasi urin) kemudian dilihat sedimennya dengan menggunakan mikroskop untuk melihat adanya Crystal, RBC, WBC, bakteri, jamur, cast. a. Cast (cylinduria) Bentukan siindris dari mukoprotein yang beku dalam tubulus renalis. Dibentuk karena bedatipe material termasuk RBC, WBC, lemak, renal tubulus epithelial cell cast / protein. b. Crystal (crystaluria) Dalam pemeriksaan urin dapat ditemukan beberapa tipe crystal yang berbeda, namun yang paling umum adalah crystal stuvit, dan calcium oxalate. c. Bakteri Bila dalam pengambilan sample urin yang dilakukan secara steril terdapat bakteri dalam jumlah banyak, mengindikasikan adanya infeksi pada vesica urinaria. Cara pengambilan sample urin 1. Cateterisasi 2. Cystocentesis untuk mengkultur urin, Dengan menggunakan spuit melalui dindding abdominal untuk mendapatkan sample steril langsung dari bladder. d. Free catched Pengambilan sample langsung saat kucing urinasi, namun kemungkinan kontaminasi tinggi. 12. Abdominal ultra sounds 13. Pemeriksaan Cystoscopy atau endoscopic pada urethra dan bladder 14. Bladder biopsy 2.2.4 Terapi dan Pencegahan a. Terapi cairan (subkutan atau intravena) dapat membantu jika terjadi dehidrasi. Selain itu terapi cairan juga dapat menyebabkan produksi urin lebih cair, membantu eliminasi dari debris radang dan kristal. Cairan infus yang perlu diberikan ialah larutan ringer laktat 5% dengan dosis 20 – 40 cc/kgBB/hari. Bila kucing banyak muntah (karena sudah terjadi uremia/gagal ginjal), maka cairan yang diberikan ialah ringer dextrose 5% (Merck, 2005). b. Antibiotik, jika disertai dengan infeksi bakteri c. Obat tambahan , seperti tranquilizer, anti-inflammatory agents dan analgesik (pain killers) (Merck, 2005). d. Kateterisasi Sebelum dipasang kateter, dapat dianastesi terlebih dahulu, kemudian masukan kateter kecil yang dimasukkan ke uretra untuk menghilangkan sumbatan, kemudian ke vesica urinaria untuk mengeluarkan sumbatan (Merck, 2005). e. Tindakan operatif (Nash, 2008) 1. Cystotomy (Pembukaan kandung kemih) Operasi cystotomy dilakukan dengan membuka abdomen dibagian ventral kemudian membuka vesica urinaria (kandung kemih). Batu/kristal diambil dari dalam kandung kemih kemudian dijahit kembali. Setelah operasi, kateter masih perlu dipasang selama 4-5 hari untuk mencegah kemungkinan penyumbatan oleh bekuan darah. Pemberian antibiotik secara parenteral atau peroral perlu diberikan selama ±6 hari. Untuk mencegah agar kateter tidak dicabut oleh kucing, maka perlu dilakukan pemasangan Elizabeth collar. Tindakan penanganan yang dilakukan ini mempunyai successful rate kurang lebih 90%, apabila fungsi kedua ginjal masih baik. Untuk mengeluarkan batu/kristal yang ada di uretra maka perlu membuka uretra (urethrotomy) dimana batu berada. Jika terpaksa harus melakukan cystotomy dan urethrotomy, maka urethrotomy didahulukan. Setelah kateter bisa masuk ke dalam vesika urinaria, baru dilakukan cystotomy. 2. Urethrotomy Urethrotomy dilakukan apabila batu atau kristal tidak berhasil dimasukkan ke dalam vesika urinaria menggunakan kateter. Biasanya urethrotomy dilakukan pada kucing jantan dengan menguakkan preputium ke arah kaudal terlebih dahulu sebelum melakukan sayatan pada penis bagian ventral tepat dimana batu atau kristal berada. Keberadaan batu atau kristal tadi dapat dideteksi dengan menggunakan kateter atau sonde yang panjang. Setelah batu atau kristal diketahui posisinya, maka dilakukan sayatan pada uretra kemudian batu atau kristal tersebut dikeluarkan. Selanjutnya, kateter dimasukkan sampai ke dalam vesika urinaria, lalu sayatan dijahit. 2.2.5 Pencegahan a. Diet rendah Mg. b. Hindari obesitas. c. Litter box yang bersih dan mudah dijangkau, agar kucing mau urinasi. d. Beri minum ad libitum. 2.3 Feline Panleukopenia Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit menular nonzoonosis pada kucing, dengan nama lain Feline distemper, Infectious enteritis, Cat fever, Cat typhoid. FPL merupakan penyakit yang menyerang segala umur kucing dan dapat menimbulkan banyak kematian kucing terutama pada anak kucing dapat mencapai kematian 75%. Anak kucing, kucing sakit dan kucing rumahan yang tidak divaksin adalah lebih rentan tertular dibandingkan dengan kucing tua yang biasanya lebih tahan karena mempunyai kekebalan bawaan atau sudah berulang kali terinfeksi. Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit fatal pada kucing muda, yang hampir sama seperti distemper pada anjing. Penularan dari kucing ke kucing selain melalui fecal-oral dapat juga melalui muntahan, urin, leleran mata ataupun leleran hidung (CSIZA et al., 1971). 2.3.1 Etiologi Panleukopenia adalah penyakit serius yang cukup berbahaya pada kucing. Penyakit ini diakibatkan oleh virus kelompok parvovirus termasuk Famili Parvoviridae, yang merupakan non enveloped single stand DNA virus. Virus panleukopenia memiliki ukuran 18-22nm. Pada kucing yang terinfeksi Feline Panleukopenia, Angka kematian berkisar antara 25 sampai 85% pada kucing yang belum divaksinasi. Penyakit Panleucopenia sangat mudah menular ke kucing lain. Virus panleukopenia kucing resisten terhadap alkohol, fenol, eter,amonium kuartener, yodium dan kenaikan suhu. Virus dapat dimatikan dengan larutan formaldehida atau chlorin dan air yang mendidih. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang menyerang jaringan pembentuk darah dan limfe, dan juga mukosa organ gastro intestinal sehingga menyebabkan penurunan jumlah leukosit dan enteritis. Virus banyak ditemukan pada urin dan feses (Bodeus et al., 1988). 2.3.2 Proses penularan Penyakit Panleucopenia menular melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui air liur, air kencing, muntah dan melalui kotoran kucing yang terinfeksi. Anak kucing yang baru dilahirkan juga dapt terinfeksi penyakit Panleucopenia apabila induknya ketika bunting mengidap virus panleukopenia Virus panleucopenia dapat bertahan cukup lama di luar tubuh kucing. Penularan terbesar terjadi melalui kontak dengan kandang, lantai atau peralatan makan dan minum kucing yang tercemar virus dan tidak dibersihkan dengan desinfektan yang sesuai. Virus masuk ke tubuh kucing biasanya melalui mulut, berkembang di kelenjar pertahanan di bagian mulut, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Kemudian virus akan berkembang di beberapa organ seperti kelenjar pertahanan seluruh tubuh, sumsum tulang dan selaput lendir usus yang menyebabkan hancurnya usus (Goddard et al., 1990). 2.3.3 Gejala klinis Kucing yang terinfeksi virus panleucopenia akan mengalami anemia, demam yang sangat tinggi, anoreksia, dehidrasi atau penurunan jumlah sel darah putih yang sangat tajam, muntah-muntah dan diare yang parah pada kucing,nafsu makan berkurang yang mengakibatkan dehidrasi dan kematian. Kadang-kadang anak kucing dapat mati secara tiba tiba yang diakibatkan perkembangan penyakit panleukopenia sangat cepat. Pada anak kucing yang baru lahir virus menyerang perkembangan cerebellum sehingga menyebabkan neurogical abnormalitas (HOSOKAWA et al., 1987). 2.3.4 Diagnosis Diagnosa Virus panleukopenia diberdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan patologi dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan diagnosa pasti. Diagnosis penyakit FPL dapat dilakukan berdasarkan sejarah penyakit, gejala klinis, isolasi dan identifikasi virus serta pemeriksaan serologik. Virus FPL dapat tumbuh secara efisien pada biakan sel lestari ginjal, organ paru-paru, lidah kucing dibandingkan dengan pada biakan sel lain seperti yang berasal dari biakan sel organ anjing (TRUYEN dan PARRISH,1992). Pemeriksaan serologik untuk mengetahui ada atau tidaknya antibodi terhadap virus FPL didalam serum, pada saat ini sering menggunakan teknik haemagglutinationinhibition (HI) dan atau menggunakan serum neutralization test (SNT) teknik mikro (JOO et al., 1975). 2.3.5 Diferensial diagnosa Felv, E.colli, Salmonella, Tyzzer (Bodeus et al., 1988). 2.3.6 Pengobatan Kucing yang terserang penyakit Virus panleukopenia dapat diberikan cairan elektrolit. Sedangkan untuk mengobati infeksi sekunder dapat diobati dengan pemberian gentamisin dan pemberian vitamin B complex (CSIZA et al., 1971). 2.3.7 Pencegahan Pencegahan Virus panleukopenia yaitu dengan melakukan vaksinasi secara teratur, anak kucing dapat divaksinasi pada umur 8-16 minggu dengan interval 4 minggu. Setelah itu vaksinasi dianjurkan diulang setiap tahun. Pada kucing dewasa atau berumur lebih dari 6 bulan yang belum pernah divaksinasi, vaksinasi bisa dilakukan tiap tahun (HOSOKAWA et al., 1987). BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Diagnostik klinik merupakan ilmu yang mempelajari teknik diagnosis standard dari suatu penyakit berdasarkan pada pemahaman terhadap normal atau abnormalnya parameter patofisiologi yang dapat diidentifikasi dari tubuh dengan menggunakan teknik-teknik diagnosa standard. Feline Urologic Syndrome (FUS) atau Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD) merupakan suatu kondisi dimana terdapatnya bentukan kristal yang menyumbat saluran urinasi bagian bawah seperti vesica urinaria, bladder sphincter, dan uretra, sehingga kucing mengalami kesulitan urinasi. Kondisi ini sering terjadi pada kucing muda, bisa jantan ataupun betina, namun lebih sering terjadi pada kucing jantan. Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit menular nonzoonosis pada kucing, dengan nama lain Feline distemper, Infectious enteritis, Cat fever, Cat typhoid. FPL merupakan penyakit yang menyerang segala umur kucing dan dapat menimbulkan banyak kematian kucing terutama pada anak kucing dapat mencapai kematian 75%. Anak kucing, kucing sakit dan kucing rumahan yang tidak divaksin adalah lebih rentan tertular dibandingkan dengan kucing tua yang biasanya lebih tahan karena mempunyai kekebalan bawaan atau sudah berulang kali terinfeksi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Feline Urologic Syndrome. http://www.uvhberkeley.com/index. php?Page=fus, diakses 7 Desember 2012. Bodeus, M., C. cambioso, MM. Surleraux and G. Burtonboy. 1988. A Latex Agglutination Test for the detection of Canine Parvo virus and corresponding antibodies J. of Virol. Methods 19: 1−12. Csiza, c.k. Scott, A. Delahunta and J.H. Gillespie. 1971. Immune Carrier State of Feline Panleukopenia Virus-Infected Cats. Am. J. Vet. Res.32(3): 419−426. Duncan, R.J.C 1988. The use of ELISA for Rapid Viral Diagnosis. Antibody Detection. In: ELISA and Other Solid Phase Immunoassays. Theoritical and Practical Aspects. KEMENEY, D.M. and S.J. CHALLACOMBE. (Ed.). John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane. Toronto. Singapore. For Essay of Porcine Parvovirus Antibody. Arch. Virol. 47: 841−844. Gerber, B. (2009). Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD). IVIS, Italy. Goddard, R.D., R.A.J. Nicholas and P.R. Luff 1990. Inactivated canine parvovirus vaccines: An alternative method for assessment of potency. Vet. Rec. 126: 497−499. Hosokawa S., S. Ichijo and H. Goto (1987). Clinical, Hematological and Pathological Findings in Specific Pathogen-Free Cats Experimentally Infected with Feline Panleukopenia Virus. Jpn. J. Vet. Sci.49(1): 43−50. Joo, H.S., C.R. Donaldson-Wood and R.H. Johnson 1975. A Microneutralization Test Merck, 2005. The Merck Veterinary Manual, Ninth Edition, National Publishing, Inc. Philadelphia. Nash, H. 2008. Urine Crystals and Bladder Stones in Cats: Formation, Diet and other Treatment. http://www.peteducation.com/article.cfm?c=1+2243+ 2244&aid=2660, diakses 7 Desember 2012. Nelson, R.W. and Couto, C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine 3rd Edition, Mosby Inc. Missoury, London. Roger A.H., Dennis J.C., Stephen P.B. 2004. Recent Concepts in Feline Lower Urinary Tract Disease. Veterinary Clinics Small Animal Practice. p:35(2005)147–170

LAPORAN PRAKTIKUM DI GREENFIELD NEKROPSI PADA SAPI PERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autopsi atau nekropsi untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa pada beberapa sebab penyakit atau kematian dari seekor hewan. Biasanya untuk melengkapi hasil diagnosa yang akurat harus ditunjang dengan hasil pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti bakteriolagi, virology, parasitologi, patologi klinik, toxicology dsb. Nekropsi tidak akan dapat mengungkapkan semua penyebab dari suatu penyakit , penyebab kejadian suatu penyakit, kebanyakan berhubungan dengan manajemen, termasuk pemenuhan nutrisi yang buruk, kekurangan pakan dan minum, ventilasi yang tidak mencukupi, sanitasi yang buruk, unggas mengalami kedinginan atau kepanasan, dan populasi yang berlebihan. Keadaan serupa tadi memerlukan pemeriksaan lapangan untuk menentukan penyebab masalah. Nekropsi seringkali dilakukan untuk dapat mengidentifikasi proses penyakit infeksius, defisiensi nutrisi, keracunan, penyakit parasitik, dan tumor. Nekropsi (pemeriksaan postmortem) dilakukan untuk menentukan kausa penyakit dengan melakukan diskripsi lesi makroskopis dan mikroskopis dari jaringan dan dengan melakukan pemeriksaan serologis dan mikrobiologis yang memadai. Pemeriksaan postmortem dilakukan bila ditemukan adanya penurunan produksi, terdapat tanda-tanda yang jelas akan sakit atau diketahui adanya peningkatan jumlah kematian, dan atas permintaan klien. Pada umumnya ada 2 macam cara nekropsi yaitu : (1). Seksi lengkap, dimana setiap organ / jaringan dibuka dan diperiksa. (2) seksi tidak lengkap, bila kematian / sakitnya hewan diperkirakan menderita penyakit yang sangat menular/ zoonosis ( anthrax, AI, TBC, hepatitis dsb ). Nekropsi harus dilakukan sebelum bangkai mengalami autolisis, jadi sekurang-kurang 6 – 8 jam setelah kematian. Dengan adanya studi lapangan diharapkan mahasiswa dapat mendapat gambaran, pengetahuan, serta wawasan sehingga dapat menerapkan ilmu yang sudah didapat di bangku kuliah untuk dipraktikkan di lapangan 1.1 Tujuan • Mengetahui cara dan teknik nekropsi pada sapi perah • Dapat mendiagnosa dengan teknik diagnosis standart (diagnosa klinik) terhadap kasus di lapangan (Greenfield). • nekropsi untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa 1.2 Manfaat • Dapat mengerti, memahami dan menjelaskan kasus yang ditemui saat praktikum di lapangan (Greenfield). BAB II PEMBAHASAN 2.1 Signalemen, Foto Kejadian dan Diagnosis Waktu kejadian dan nekropsi 7 Desember 2012 • Ras : Friesien Holstein • Jenis Kelamin : Betina • Warna : Hitam dan putih • Umur : ±2 tahun • Buntung 225 hari • Masa kering : 5 Desember ’12 • 2 kali bunting Dari foto-foto kejadian dan anamnesa kami mendiagnosis bahwa sapi yang dinekropsi mengalami abnormalitas paru penyakitnya yaitu emphysema dan ateletaxic. Hemmoragic abomasum dan intestinal penyakitnya enterotoxemia 2.2 Record / Catatan medis : 1. Anamnesa, meliputi : nama hewan, alamat , tanggal, waktu kematian, sejarah penyakitnya ( berapa lama, gejala klinis, pengobatan, vaksinasi, angka kematian dsb ), data laboratorium bila ada misal : pemeriksaan darah, urine , feces dsb. 2. Signaleman: identitas hewan ( ras, bangsa , jenis kelamin, umur, warna bulu ). 3. Gejala klinis: yang terjadi selama sakit/ sebelum mati ( diare, muntah, lesu, nafsu makan dsb) Pemeriksaan secara umum sebelum dilakukan bedah bangkai : Kondisi umum : keadaan kulit / bulu, lubang alami , adanya ekto parasit, warna mukosa, dsb. Pemeriksaan keadaan luar secara umum : jenis hewan, kelamin, umur, keadaan gigi, kondisi, kulit. Selaput mukoso mata, rongga mulut, bawah lidah. Telinga, leher, perut, bagian dalam paha kemungkinana adanya vesikel, atau lesi yang lain. Persendian, telapak kaki, pangkal ekor, sekitar anus, dan alat kelamin serta ambing. 2.2.1 Tempat , untuk melakukan seksi, tempat harus dibersihkan a. sehat, dekat dengan air yang. memadai / mengalir dan dekat dengan tempat untuk mengubur. 2.2.2 Peralatan Nekropsi dapat dilakukan sekalipun dengan alat yang minimal (seadanya), yaitu: • Dibutuhkan pisau (4-6 inchi), • pemotong tulang, • gunting jaringan (biasanya digunakan scalpel tajam-tumpul), • pinset, • gloves, • spuit disposable (3cc dan 5cc), • needle (20G, 1 inchi untuk koleksi sampel darah vena sayap, dan 1 ½ inchi untuk koleksi sampel darah dari jantung), • sanitizer untuk membersihkan peralatan dan meja, Untuk keperluan pemeriksaan jaringan, diperlukan: • 10 persen larutan buffer formalin netral, • black marker • kertas label. 2.3 Metode Nekropsi Pada Ruminansia A. Persiapan Sebelum pedah bangkai: 1. Anamnesa, meliputi: Jenis hewan, Mati atau dibunuh, Jumlah hewan sakit, gejala klinis, umur hewan,diagnose sementara, populasi hewan 2. Pemeriksaan luar, meliputi: kondisi kulit, kelamin, selaput lender (mata, mulut, hidung), kepala, leher, perut, paha, telapak kaki, ceracak, kelanjar mamae, dubur dsb. B. Cara Bedah Bangkai Pada Ruminansia 1. Amati keadaan umum hewan saat masih hidup 2. Euthanasi dengan dekapitasi 3. Rebahkan kiri left lateral rekumbency dengan kepala di sebelah kiri secan 4. Buat irisan dari mandibula sampai arcus ischiadichuis, hindari ambing dan penis /irisan kulit digaris median tubuh mulai dari leher, dada, perut 5. Lepaskan keempat tungkai (kaki) dari tubuh dengan cara membuat irisan pada ketiak dan dilipat paha sambil mematahkan sendi pangkal paha. Dengan demikian hewan lebih mudah terlentang. 6. Kuliti bagian ventral dan lateral , amati jaringan otot dan kelenjar limfe bawah kulit 7. Membuga rongga perut • Sayat otot sepanjang garis median perut (peritoneum ditusuk), • iris menyamping mulai dari ujung proc. Xipoideus mengikuti tulang rusuk terakhir sampai ditepi muka panggul. • Buat irisan tegak lurus terhadap irisan memanjang yang pertama, diantara tulang rusuk terakhir dan tubercoxae. • Potong otot dinding perut dan dilepaskan. • Selanjutnya amati diafragma, peritoneum dan organ viscera hewan, letak alat-alat tubuh di dalam rongga perut) 8. Membuka rongga dada • Periksa diafragma (normal: melengkung kearah rongga dada) • Dinding rongg dada ditusuk diantara dua tulang rusuk • Potong costae pada daerah costochondral kanan dan kiri • Iris muskulus. Intercostalis • Patahkan costae satu per satu • Dinding thorak di buka • Periksa rongga dada dengan memeriksa adanya cairan di dalamnya • Amati letak organ 9. Mengeluarkan isi rongga dada • Isi rongga dada (jantung, paru2) dikeluarkan bersama-sama dengan lidah dan trachea • Keluarkan lidah, tulang lidah dipotong pada sendi rawan0 • Trachea dilepaskan dari pertautan otot2 leher dan esophagus • Aorta dipotong pada tempat ia menyilang esophagus, kerongkongan dikeluarkan dan dipotong dipertengahan leher • Paru-paru dilepaskan, mulut dari belakang vena cava dipotong • Paru2, jantung trachea dan lidah dikeluarkan bersama • Pada dugaan pneumonia dilakukan uji apung pada paru-pari • Periksa keadaan dan isi pericardium (pembungkus jantung) • Amati jantung (normal: ujng meruncing), bandingkan dengan besar hewan 10. Mengeluarkan isi rongga perut • Keluarkan usus dengan mengikat ganda rectum dan potong di antara kedua ikatan itu • Duodenum diikat kembar pada 2 tempat yaitu: di muka dan belakang lengkungan S (keluarkan bersama hati) • Setelah keluar lepaskan dari mesenterium (penggantung usus) dan dibuka • Lepaskan mesenterium dan kelenjar limfenya • Keluarkan keempat bagian lambung beserta esophagus dan limpa dari lambung besar ( letak limpa: sebelah kiri rumen) • Permulaan esophagus di ikat • Buka perut (dari rumen, reticulum, omasum, abomasums) periksa kemungkinan adanya cacing 11. Mengeluarkan oragan uropoetika • Angkat organ urogenital dengan mengangkat ginjal beserta bagian bagian lain secara bersamaan, begitu pula dengan ovarium, uterus,dll. 12. Periksa semua organ secara makroskopis 13. Buat potongan tiap-tiap organ 1cm x 1cm x 1cm 14. Masukkan ke dalam formalin 10% 2.4 Enterotoksemia Kasus enterotoksemia pada sapi perah di Indonesia disebabkan oleh Cl.perfringens tipe A dan C. Bakteri Cl.perfringens sebenarnya merupakan bakteri yang normal, komensal hidup di dalam saluran pencernaan hewan sehat. Dalam keadaan tertentu bakteri ini dapat tumbuh, berkembangbiak dan menghasilkan toksin. Enterotoksemia bersifat akut, dengan gejala klinis spesifik yang terkadang tidak tampak nyata. Karena kelainan patologis-anatomisnya tidak menciri, maka penyakit ini mudah dikelirukan dengan penyakit lain seperti misalnya hipomagnesemia, yang juga memperlihatkan gejala mati mendadak, dan adanya perdarahan pada epikardial dan endokardial. Diagnosis dilakukan dengan mengamati gejala klinis, dan mengirim sampel usus, cairan tubuh dan bahan lain yang dicurigai kelaboratorium bakteriologi. Sampel jaringan organ harus sudah diperiksa dalam waktukurang dari sehari guna menghindari diagnosis yang keliru. Pengobatan untuk infeksi dan intoksikasi yang disebabkan oleh Cl. perfingens seperti pemberian antibiotika atau kemoterapetika, kurang memberikan hasil yang berarti atau tidak efektif. Dalam banyak kasus, periode berlangsungnya penyakit dapat demikian singkat, sehingga pengobatan tidak sempat untuk dilakukan. Pengobatan yang efektif tentunya dengan pemberian antitoksin spesifik sesuai dengan tipe Cl. perfringens penyebab penyakit. Tetapi, pemberian antitoksin dalam jumlah besar tentunya sangat mahal dan tidak efisien untuk dilakukan. Karena kerugian ekonomi yang besar akibat kematian sapi yang disebabkan oleh enterotoksemia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan penyakit yang selalu menyerang hewan atau sapi yang dalam kondisi terbaiknya. Di luar negeri, seperti di Australia, Amerika, dan negara-negara di Eropa, pencegahan penyakit dengan vaksinasi sudah rutin dilakukan. Tetapi hal ini belum umumdilakukan di Indonesia karena kurangnya pengetahuan mengenai keberadaan dan patogenesis penyakit ini. Dalam tulisan ini akan dikemukakan kasus enterotoksemia yang terjadi pada sapi perah di Indonesia (Kalender et al., 2007). 2.4.1 Agen Penyebab dan Faktor Enterotoksemia disebabkan oleh berbagai tipe Cl perfringens toksigenik (dulu disebut Clostridium welchii). Cl. perfringens adalah bakteri yang secara normal ada dalam saluran pencernaan hewan sehat. Bakteri ini bersifat oportunis, dan akan berkembang sesuai dengan keadaan induksemangnya. Berbagai toksin dari Cl. perfringens adalah toksin alfa (phospholipase C yang bersifat lethal dan necrotizing), toksin beta (bersifat lethal dan necrotizing), toksin epsilon yang bersifat lethal dan necrotizing, toksin iota yang bersifat lethal dan necrotizing toxin dengan aktifitas ADP ribosylating, dan enterotoxin yangbersifat lethal, dan emetic protein yang dapat ditemukan pada sel bakteri yang bersporulasi (Levett, 1991). 2.4.2 Gejala Klinis dan Perubahan Gejala klinis yang dapat diamati pada hewan yang terserang enterotoksemia adalah kembung, kesakitan di daerah abdomen, konstipasi atau diare berdarah, konvulsi, hewan terjatuh, susah bernafas, akhirnya mati mendadak . Gejala yang spesifik pada sapi perah dewasa adalah: tiba-tiba hewan menjauhi makanan, tidak ada nafsu makan sama sekali. Susu yang dihasilkan sedikit atau tidak ada susu sama sekali. Hewan merasa sakit di bagian abdomennya dan terlihat adanya gejala kembung. Adanya perdarahan pada usus menyebabkan kotoran yang keluar sangat sedikit kadang berdarah. Pada anak sapi, Cl. perfringens tipe A, biasanya menyebabkan gejala kembung dengan kesakitan dan depresi. Nafsu makan juga tidak ada dan kematian dapat cepat terjadi karena ulcer dalam abomasum, peradangan dan penimbunan gas. Cl. perfringens tipe C menyebabkan necrotic enteritis pada sapi baru lahir. Biasanya anak sapi dapat mati sebelum terjadi diare. Gejala yang dapat dilihat berupa depresi, lemah, kembung dan kesakitan. Cl. perfringens tipe E juga dapat menyebabkan enteritis pada anak sapi (Songer dan Miskimins, 2004). Dalam kasus enterotoksemia, kondisi hewan yang mengalami perubahan/kelainan adalah pada saluran usus dan organ-organ parenkhim. Hasil pemeriksaan patologis menunjukkan perubahan menyolok seperti pada usus kecil ditemukan enteritis hemoragika yang parah. Pada abomasum, omasum, reticulum, usus besar, rektum dan sekum juga terlihat mukosa hiperemis. Mukosa saluran pernafasan yang sianosis, paru-paru mengalami oedema, berisi cairanserofibrinous. Jantung membesar, terkadang ditemukan perdarahan titik pada epi dan endocardial. Daerah ventral perut umumnya hiperemis (Kalender et al., 2007). Dari pemeriksaan histopatologis, terlihat adanya pembendungan pada paru-paru. Ada infiltrasi limfosit pada usus halus dan pada mukosa usus dapat ditemukan bakteriberbentuk batang dan bersifat Gram positif. Terlihat juga adanya pembengkakan lapisan rumen dan abomasum, disertai ulserasi dan hemoragis. Pada usus besar terlihat nekrosis fokal dari lapisan otot halus dengan adanya infiltrasi netrophil, makrofag dan limfosit. Selain itu, ada degenerasi sel otot dengan vakuolisasi dan nekrosis dan adanya bakteri berbentuk batang dan Gram positif. Pada hati terlihat adanya nekrosis degeneratif dan vakuolisasi dari hepatocytes. Limpa memperlihatkan hemosiderosis berat. Limfoglandula menunjukkan adanya hipertrofi dan peningkatan jumlah sel reticuloendothelial. Ginjal menunjukkan adanya degenerasi parenkhim dari tubuli renali. 2.4.3 Diagnosis Diagnosis dilakukan berdasarkan pada hasil pengamatan gejala klinis, perubahan patologis dan konfirmasi hasil isolasi dan identifikasi bakteri penyebab dan toksin yang dapat ditemukan pada isi usus dan cairan tubuh hewan yang mati. Diagnosis penyakit umumnya didasarkan adanya penemuan toksin penyebab penyakit serta isolasi agen penyakit. Hal ini umumnya masih dirasakan sulit bagi laboratorium penyakit hewan di Indonesia. Selain itu spesimen atau sampel yang diambil harus masih segar atau kurang dari 18 jam setelah kematian hewan. Dalam keadaan terpaksa, spesimen dapat diawetkan dengan gliserin 50% dan disimpan dalam keadaan dingin. Untuk melakukan isolasi Cl perfringens, suspensi sampel mukosa usus diinokulasi ke dalam Robertson’s cooked meat medium (RCMM). Suspensi juga ditanam pada blood agar dan diinkubasi dalam anaerobic jar. Identifikasi Cl. perfringens secara cepat dapat dilakukan dengan teknik Fluorescent Antibody Technique (FAT). Sampel diperiksa di bawah mikroskop fluorescent dan dapat dilihat bakteri berbentuk batang yang bersinar hijau. Adanya toksin dari Cl. perfringens dapat diuji dengan menggunakan mouse protection test. Mencit dapat dilindungi dari kematian dengan memberikan antitoksin yang spesifik. Dari uji ini dapat diketahui juga tipe dari Cl perfringens yang menyebabkan kematian. Uji enterotoksin Cl. perfringens juga dapat dilakukan dengan uji aglutinasi lateks sederhana. Uji dilakukan dalam microplate (96 lubang, bentuk U). Suspensi cairan usus dalam NaCl fisiologis dengan perbandingan 1:1 disentrifus. Supernatan dari suspensi diencerkan secara seri kelipatan dua dengan AMP buffer [0.2 M 2-amino-2-methyl (1-propanol) hydrochloride] dan dimasukkan dalam lubang microplate sebanyak 25 μl per lubang. Sebanyak 25 μl partikel lateks yang sudah disensitisasi dengan antibodi terhadap toksin alfa Cl. perfringens dicampur dengan enceran suspensi di atas. Campuran diinkubasi pada suhu ruang semalam. Kandungan toksin ditetapkan sebagai enceran tertinggi yang masih memberikan reaksi aglutinasi. 2.4.4 Pencegahan Penyakit Vaksinasi untuk pencegahan terhadap enterotoksemia termasuk dalam program kesehatan preventif sapi perah. Vaksinasi pertama harus diulang dengan selang waktu 4 minggu. Sapi perah dalam masa kering kandang adalah saat yang tepat untuk melakukan vaksinasi. Pemberian kolostrum pada anak sapi yang baru dilahirkan juga sangat berguna untuk pencegahan enterotoksemia pada anak sapi. Vaksinasi pada sapi dara berumur 4 sampai 6 bulan dengan vaksin clostridium yang multivalen dan dibooster 1 bulan kemudian merupakan awal pencegahan penyakit. Vaksinasi ulangan sebaiknya diberikan setiap tahun sesudahnya. Untuk pencegahan penyakit secara keseluruhan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. 1. Perlakukan pemberian pakan dengan komposisi bahan pakan yang konsisten dan lakukan adaptasi sebelum dilakukan perubahan pakan. 2. Lakukan vaksinasi secara teratur 3. Untuk pemberian silase, perhatikan ukuran panjang rumput, lama penyimpanan dan fermentasi. 4. Hindarkan terjadinya acidosis rumen. 5. Berikan kolostrum dan sediakan air minum yang cukup (terutama pada anak sapi). 6. Kendalikan sumber infeksi saluran pencernaan lainnya. 2.5 Emfisema Pulmonum Emfisema paru-paru adalah keadaan di mana paru-paru mengalami distensi yang abnormal yang disebabkan rupturnya dinding alveoli dengan atau tanpa disertai lolosnya udara ke jaringan interstisial sehingga menyebabkan berkurangnya ruang udara dan sulit bernapas (Blood, 1963). Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru, yang disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal, sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli), membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap. Emfisema paru-paru adalah keadaan pembesaran paru-paru yang disebabkan oleh menggembungnya alveoli secara berlebihan yang disertai atau tanpa disertai robeknya dinding alveoli tergantung dengan kerusakan alveoli. Udara pernafasan akan terdapat di dalam rongga jaringan interstitial atau tetap berada di dalam rongga alveoli saja. Proses dapat berjalan secara akut maupun kronik. Secara umum, emfisema paru-paru ditandai dengan dipsnoea ekspiratorik, hyperpnoea dan mudahnya penderita mengalami kelelahan (Subronto, 2003). Jenis emfisema berdasarkan lokasi kerusakan: • Centriacinar emfisema adalah salah satu jenis emfisema paru-paru yang ditandai dengan pembesaran rongga udara di bagian proksimal acinus, terutama pada tingkat bronchiolus repiratorius. • Distal acinar emfisema adalah salah satu jenis emfisema paru-paru yang terbatas pada ujung distal alveolus di sepanjang septum interlobularis dan di bawah pleura membentuk bula. • Panacinar emfisema adalah satu jenis emfisema paru-paru yang ditandai dengan pembesaran rongga udara yang relatif seragam di seluruh acinus.Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khas nya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini sering timbul pada hewan dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin • Irregular emfisema adalah kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus. Menurut lokasi timbunan udaranya, kita mengenal dua jenis emfisema yaitu emfisema alveolaris dan emfisema interstisialis. Emfisema alveolaris adalah jenis emfisema yang timbunan udaranya masih tertimbun di dalam alveoli. Emfisema interstitialis adalah keadaan emfisema di mana dinding alveoli sudah robek lalu udara yang terjebak tadi lepas ke ruang interstisial pulmo yang ada di antara alveolus. Emfisema interstisial ini, jika berlanjut, akan berkembang menjadi emfisema subkutan 2.5.1 Etiologi Emfisema paru-paru primer dapat disebabkan oleh trauma yang langsung mengenai dada hingga sampai ke paru-paru. Tidak menutup kemungkinan, emfisema paru-paru diikuti oleh emfisema subkutan di sebagian besar tubuh. Emfisema primer jarang sekali terjadi terutama pada ternak besar karena paru-paru ternak dilindungi oleh tulang iga dan otot-otot yang kuat (Subronto, 2003). Emfisema sekunder seringkali terjadi pada sebagian besar ternak. Emfisema sekunder merupakan kejadian lanjutan dari penyakit saluran pernafasan dan radang paru-paru, misalnya pneumonia suppurativa, pneumonia verminosa, pneumonia interstisial, bronchitis dan bronchiolitis. Kuda tua yang dirawat di kandang terus-menerus dengan kualitas pakan yang jelek dan berdebu maka mudah menderita emfisema alveolaris yang kronik tanpa diketahui sebab-sebabnya (heaves). Alergen yang tidak tersifat seperti debu kandang, spora jamur dan sebagainya akan dapat memudahkan timbulnya emfisema bagi hewan-hewan yang peka (Subronto, 2003). Emfisema paru-paru mungkin dapat timbul sebagai lanjutan dari perubahan patologis di luar alat pernapasan yang disertai toksemia, misalnya mastitis yang disebabkan oleh E.coli. Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan pada alveoli. Jika suatu peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang akan merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli. Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang memegang peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase. Ada suatu penyakit keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana hewan tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin, sehingga emfisema terjadi pada usia muda Pada sapi, emfisema bisa merupakan lesi karena pneumonia atipikal, pneumonia parasiter dan bisa juga dikarenakan anafilaksis (reaksi hipersensitifitas). Bentuk emfisema yang paling biasa terjadi pada hewan adalah emfisema alveolaris kronis atau pada kuda sering disebut heaves. Penyebab utamanya kurang diketahui namun penyakit ini sering sekali terjadi pada kuda dewasa yang diberi pakan dengan kadar serat kasar yang rendah secara berkepanjangan dan semakin parah jika makanan berdebu. Emfisema ini juga umum terjadi pada kuda yang dikandangkan di gudang untuk periode yang lama (Blood, 1963). Emfisema akut terjadi karena perforasi (perlubangan) pulmo oleh karena adanya benda asing yang menusuk atau menyebabkan trauma. Kasus ini sering disebut Reticuloperitonitis Traumatik. Contoh kejadiannya adalah pada sapi atau kuda yang menelan benda tajam seperti paku secara tidak sengaja (Blood, 1963). Pada pemeriksaan mikroskopis biasanya ditemukan perubahan menahun dalam paru-paru antara lain : Proliferasi epitel dan propia mukosa bronkhus dan bhonkioli, Hipertropi jaringan otot bronkhus, bhronkhioli pembuluh darah, Penambahan jaringan limfoit dan penebalan septa alveoli karena jaringan ikat (Ressang ,1984) 2.5.2 Patogenesis Alveolus berkembangkempis sejak lahir sesuai batas elastisitas dindingnya. Pengembangan alveoli yang berlebihan dalam waktu lama, misal oleh batuk paroxysmal dan kronik, akan mengakibatkan penurunan elastisitas alveoli. Adanya stenosis saluran pernafasan, udara tidak dapat dikeluarkan semua, hingga terjadi kenaikan tekanan intra alveolar. Tekanan intra alveolar meningkat pada suatu ketika mencapai batas maksimum hingga alveoli akan dapat pecah dan mengakibatkan emfisema interstisial. Penurunan elastisitas yang berlebihan akan menyebabkan emfisema alveolaris. (Subronto, 2003). Emfisema terjadi pada bagian paru-paru yang normal sebagai kompensasi atas ketidakmampuan untuk berfungsi dari bagian paru-paru yang lain, misalnya karena abses, oedema, dan bronchopneumonia. Penurunan elastisitas bronchiol dan alveoli mungkin disebabkan oleh toksin yang dihasilkan kuman tertentu. Kelemahan dinding alveoli udara ekspirasi harus dikeluarkan dengan usaha yang lebih besar dari normalnya, hingga terlihat dispnoea yang bersifat ekspiratorik. Kadang-kadang ditemukan ekspirasi ganda (dobel) ditandai dengan berkontraksinya otot perut secara berlebihan. Robeknya alveoli diikuti robeknya kapiler disekitarnya, hingga titik-titik darah sering ditemukan bersama lendir atau dahak yang keluar(Subronto,2003) 2.5.3 Gejala Klinis Pada umumnya gejala-gejala pada keadaan akut maupun kronik adalah sama,kecuali dalam derajat dispnoea yang tampak. Dalam keadaan akut, emfisema terjadi secara mendadak dengan dispnoea yang sangat meskipun penderita sedang istirahat. Usaha untuk memompa keluar udara pernafasan tampak dari pernafasan abdominal yang menonjol. Ekspirasi dilakukan lebih lama dan pada akhir ekspirasi udara didorong lebih keras ,sehingga sering terlihat ekspirasi ganda (dobel). Oleh kontraksi otot-otot perut pada kuda tua kandang juga terlihat keluarnya sebagian anus waktu ekspirasi. Derajat hipermi dari mukosa mata bervariasi. Dalam keadaan berat mukosa nampak siatonik. Titik-titik darah sering dijumpai, dikeluarkan bersama ingus atau dahak yang dibatukkan . Pada emfisema kuda yang dikenal sebagai “heaves” batuk bersifat kering, pendek-pendek dan segera meningkat bila dibawa berlari sebentar saja, batuk juga timbul apabila daerah tenggorok ditekan, atau bila hewan ditempatkan pada kandang yang berdebu akan segera merangsang terjadinya batuk. Pemeriksaan secara auskultasi pada kuda akan terdengar suara krepitasi. Pada sapi daerah yang mengalami proses emfsema suara vesikuler hilang sama sekali,tinggal suara bronchial, friksi dan krepitasi. Pemeriksaan secara perkusi akan dijumpai di daerah perkusi paru-paru yang meluas ke belakang 2-3 rusuk. Daerah pekak jantung kadang berkurang atau hilang sama sekali. Suara timpani akan terdengar dari sebagian besar daerah perkusi. Auskultasi pada jantung akan terdengar suara yang teredam. Penderita emfisema paru-paru yang kronik biasanya jadi kurus. (Subronto, 2003) 2.5.4 Diagnosis 1. Diagnosis Umum. Pada saat auskultasi akan terdengar suara krepitasi atau sibilant dan hal ini sering terjadi pada sapi. Sementara pada kuda, kita akan sering mendapatkan suara friksi (Subronto, 2003) 2. Pemeriksaan Patologi Klinik. Karena tertahannya CO2 dalam darah akibat kegagalan eliminasi oleh sistem pernafasan, maka tubuh mengkompensasi meningkatkan cadangan alkali. Polisitemia (peningkatan jumlah total sel-sel darah) sebagai kompensasi kekurangan O2 juga bisa terjadi. Polisitemia dapat dilihat melalui metode hematokrit. (Blood, 1963) 3. Pemeriksaan Nekropsi Paru-paru akan terlihat membesar dan pucat dan dapat terlihat adanya jejak (imprints) dari tulang iga pada pulmo. Pada kasus emfisema interstisial, septa interalveolar akan mengalami pengembungan (distensi) karena udara yang terjebak dan perubahan ini dapat meluas ke bagian atas yaitu ke lapisan bawah pleura atau lapisan atas pleura. Hal ini yang menyebabkan timbulnya suara krepitasi, sibilant dan friksi pada saat kita melakukan auskultasi. Hasil pemeriksaan nekropsi lainnya yang dapat terlihat adalah adanya bukti gagal jantung kongestif. Jantung akan terlihat berwarna merah kehitaman. Pemeriksaan histopatologis akan menunjukan adanya ruptur alveoli dan terjadinya bronchiolitis. 2.5.5 Terapi dan Pengobatan • Obat-obat yang telah diujikan dalam praktek : kortikosteroid, antihistaminika, ekspektoransia, bronchodilatator dan antibiotika. Bronchodilatator dapat mengurangi kejang otot, misalnya agonis reseptor beta-adrenergik (albuterol inhaler) dan theophylline per-oral (melalui mulut) yang diserap lambat. kortikosteroid dapat mengurangi peradangan. • Tidak ada pengobatan terpercaya yang dapat mengurangi kekentalan lendir sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk. Tetapi menghindari dehidrasi bisa mencegah pengentalan lendir. Minum cairan yang cukup untuk menjaga air kemih tetap encer dan bening. • Untuk kuda yang diperlukan tenaganya seperti kuda pacu, kuda tarik, kuda beban dapat dikatakan harapan untuk sembuh tidak ada. Jadi dapat dialihfungsikan sebagai pemacak jikabelum terlalu tua. • Dengan pemberian istirahat sebanyak-banyaknya, ditemapatkan dalam kandang yang luas, bersih dan ventilasi yang baik. •Diberikan makanan yang berkualitas baik dan tidak berdebu. • Jika tidak ada kontraindikasi dapat diberikan preparat boroglukonat 24-38% sebanyak 100-200 ml secara IV agar dapat memperkuat pembuluh darah dalam paru-paru. • Apabila perubahan klinisnya belum terlalu jauh, emfisema yang bersifat kompensatorik dapat sembuh jika penyakit primernya dapat diatasi. • Dapat juga diberikan oksigen yang akan mengurangi kelebihan sel darah merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam darah, memperbaiki gagal jantung, juga bisa memperbaiki sesak nafas selama beraktivitas dan atropine untuk mengurangi hipoksia. • Sapi atau kuda tua yang menderita emfisema kronik sebaiknya dipotong saja. 2.5.6 Pencegahan • Hewan yang sudah tua dirawat di kandang yang bersih dan sekali-kali dikeluarkan. 2. Hewan diberi pakan berkualitas baik dan tidak berdebu. • Kebersihan kandang dijaga dari debu dan spora jamur. • Polusi udara umumnya diberi batasan sebagai udara yang mengandung satu atau lebih zat kimia dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan harta benda 2.6 Atelektasis Atelektasis adalah suatu kondisi di mana paru-paru tidak dapat mengembang secara sempurna.Atelektasis disebut juga Kolapsnya paru atau alveolus. Alveolus yang kolaps tidak mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan pernafasan berkurang. Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Jadi, atelektasis merupakan suatu keadaan kolaps, dimana paru-paru tidak dapat mengembang secara sempurna, tepatnya pada alveolus/alveoli paru yang tidak mengandung udara. 2.6.1. Klasifikasi Atelektasis Klasifikasi atelektasis dibagi menjadi 2, yaitu : a. Atelektasis Obstruktif (resorbsi) Terjadi karena obstruksi total saluran napas sehingga udara tidak dapat masuk ke parenkim distal, akibatnya oksigen yang terjerat akan diabsorbsi di dalam alveoli. Jaringan paru yang terkena atelektasis akan kolaps, tetapi aliran darah melalui jaringan ini tidak terganggu. Kemudian semenjak volume paru mengecil, maka mediastinum akan tertarik ke arah jaringan paru yang mengalami atelektasis. Secara prinsip, atelektasis resorpsi disebabkan oleh : 1) Sekresi berlebihan misalnya gumpalan lendir, atau eksudat dalam bronkioli dan sering ditemukan pada penyakit asma bronkial, bronkitis kronik, bronkiektasis, dan keadaan-keadaan post operasi. 2) Aspirasi benda-benda asing 3) Neoplasma di dalam saluran bronkial dapat menyebabkan obstruksi subtotal. b. Atelektasis Kompresi Yaitu atelektasis yang terjadi akibat penekanan terhadap substansi paru. Dapat terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan eksudat cairan, darah, tumor, atau udara (pneumotoraks), atau dengan pneumotoraks ‘tension’ bilamana tekanan udara masuk dan mengancam fungsi paru-paru serta mediastinum. Bentuk atelektasis kompresi biasanya dijumpai pada penyakit payah jantung dengan efusi pleura, dan pada penderita yang mengalami efusi pleura akibat mengidap penyakit neoplasma (tumor). Selain itu, pada penyakit peritonitis atau abses subdiafragma daoat menyebabkan diafragma terangkat ke atas dan mencetuskan terjadinya atelektasis basal. Pada atelektasis kompresi mediastinum bergerak menjauhi atelektasis. 2.6.2 Etiologi Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan bronkus. Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan mengalami infeksi. Atelektasis merupakan suatu akibat dari kelainan paru yang dapat disebabkan : a. Bronkus tersumbat Penyumbatan bisa berasal didalam bronkus (tumor bronkus, benda asing, cairan sekresi yang massif) dan penyumbatan bronkus akibat penengkanan dari luar bronkus akibat penengkanan dari luar bronkus (tumor sekitar bronkus, kelenjar membesar). b. Tekanan ekstrapulmoner Biasanya disebabkan oleh pneumothoraks, cairan pleura, peninggian diafragma, herniasi alat perut kedalam rongga thoraks, dan tumor intra thoraks tepe ekstrapulmuner (tumor mediastinum). c. Paralisis atau paresis gerak pernapasan, Menyebabkan perkembangan paru yang tidak sempurna, misalnya pada kasus poliomiolitis dan kelainan neurologic lainya. Gerak nafas yang tergangu akan mempengaruhi kelancangan pengeluaran secret bronkus dan ini menyebabkan penyumbatan bronkus yang berakhir dengan memperberat keadaan atelektasis. d. Hambatan gerak pernapasan Kelainan pleura atau trauma toraks yang menahan rasa sakit. Keadaan ini juga akan menghambat pengeluaran secret bronkus yang dapat memperhebat terjadinya atelektasis. Atelektasis seharusnya dapat dibedakan dengan pneumothoraks. Walaupun kolaps alveolar terdapat pada kedua keadaan tersebut, penyebab kolapsnya dapat dibedakan dengan jelas.Atelektasis timbul karna alveoli menjadi kurang berkembang atau tidak berkembang, sedangkan pneumothoraks timbul karena udara masuk kedalam rongga pleura. Pada kebanyakan pasien, pneumothoraks tidak dapat dicegah dengan perawatan yang tepat. 2.6.3 Manifestasi Klinik Menurut Paula Krisanti (2009), tanda dan gejala yang timbul pada penyakit atelectasis adalah : a. Dyspnea berat. b. Sianosis. c. Nyeri dada. d. Takikardi. e. Dapat mengeluh napas pendek, sesak dan kelemahan. f. Ansietas g. Pemeriksaan auskultasi menunjukkan penurunan bunyi napas. 2.6.4 Patofisiologi Pada atelektasis absorpsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan.Udara yang sudah terdapat dalam alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan alveolus kolaps. Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau ekstrinsik.Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh secret atau eksudat yang tertahan.Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh pembesaran kelenjar getah benih. Mekanisme pertahanan fisiologik yang bekerja mempertahankan sterilitas saluran nafas bagian bawah bertindak mencegah atelektasis dengan menghalangi terjadinya obstruksi. Mekanisme-mekanisme yang beperan yaitu silia yang dibantu oleh batuk untuk memindahkan sekret yang berbahaya ke dalam faring posterior. Mekanisme lain yang bertujuan mencegah atelektasis adalah ventilasi kolateral. Hanya inspirasi dalam saja yang efektif untuk membuka pori-pori Kohn dan menimbulkan ventilasi kolateral ke dalam alveolus disebelahnya yang mengalami penyumbatan (dalam keadaan normal absorpsi gas ke dalam darah lebih mudah karena tekanan parsial total gas-gas darah sedikit lebih rendah daripada tekanan atmosfer akibat lebih banyaknya O2 yang diabsorpsi ke dalam jaringan daripada CO2 yang diekskresikan). 2.6.5 Pemeriksaan Penunjang Menurut Paula Krisanti (2009), pemeriksaan penunjang yang muncul pada pasien atelektasis yaitu : a. Pemeriksaan diagnostik 1) Radiologi Konvensional Pemeriksaan X – Ray terlihat paru menyusut. 2) Computed Tomography Scan (CT-SCAN) a. Pemeriksaan laboratorium Analisa Gas darah : Po2 : 35 mmHg Pco2 : 49 mmHg Pemeriksaan Sputum : BTA ( + ) 2.6.6 Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa dilakukan : a. Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena kembali bisa mengembang b. Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya c. Latihan menarik nafas dalam ( spirometri insentif ) d. Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak e. Postural drainase f. Antibiotik diberikan untuk semua infeksi g. Pengobatan tumor atau keadaan lainnya h. Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena mungkin perlu diangkat. Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya. Penatalaksaan Atelektasis meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut: 1. Medis a. Pemeriksaan bronkoskopi b. Pemberian oksigenasi c. Pemberian terapi simtomatis (anti sesak, bronkodilator, antibiotik dan kortikosteroid) d. Fisioterafi (masase atau latihan pernapasan) e. Pemeriksaan bakteriologis 2. Keperawatan a. Teknik batuk efektif b. Pegaturan posisi secara teratur c. Melakukan postural drainase dan perkusi dada d. Melakukan pengawasan pemberian medikasi secara teratur 2.6.7 Komplikasi Pada pasien yang mengalami penyakit atelektasis sering kali dapat menimbulkan beberapa penyakit, diantaranya: a. Pneumothoraks Pneumothoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura di mana masukan udara ke dalam rongga pleura, dapat dibedakan menjadi pneumothorak spontan, udara lingkungan keluar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka tusuk, misalnya udara melalui mediastinum yang disebabkan oleh trauma. b. Efusi pleura Atelektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan fibrosis dan juga atelektasis dapat menyebabkan pirau (jalan pengalihan) intrapulmonal (perfusi ventilasi) dan bila meluas, dapat menyebabkan hipoksemia BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Autopsi atau nekropsi untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa pada beberapa sebab penyakit atau kematian dari seekor hewan. Biasanya untuk melengkapi hasil diagnosa yang akurat harus ditunjang dengan hasil pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti bakteriolagi, virology, parasitologi, patologi klinik, toxicology dsb. Nekropsi tidak akan dapat mengungkapkan semua penyebab dari suatu penyakit , penyebab kejadian suatu penyakit, kebanyakan berhubungan dengan manajemen, termasuk pemenuhan nutrisi yang buruk, kekurangan pakan dan minum, ventilasi yang tidak mencukupi, sanitasi yang buruk, unggas mengalami kedinginan atau kepanasan, dan populasi yang berlebihan. Nekropsi seringkali dilakukan untuk dapat mengidentifikasi proses penyakit infeksius, defisiensi nutrisi, keracunan, penyakit parasitik, dan tumor. Nekropsi (pemeriksaan postmortem) dilakukan untuk menentukan kausa penyakit dengan melakukan diskripsi lesi makroskopis dan mikroskopis dari jaringan dan dengan melakukan pemeriksaan serologis dan mikrobiologis yang memadai. Pemeriksaan postmortem dilakukan bila ditemukan adanya penurunan produksi, terdapat tanda-tanda yang jelas akan sakit atau diketahui adanya peningkatan jumlah kematian, dan atas permintaan klien. DAFTAR PUSTAKA Blood, DC, JA Henderson.1963.Veterinary Medicine Second Edition.The Williams and Wilkins Company:Baltimore Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995 Kalender, H., A. Kilic, and E. ATH. 2007. Enterotoxaemia in a cow due to Clostridium perfringens type A. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 31(1):83-84. Levett, P.N. 1991. Anaerobic Microbiology. A Practical Approach. Oxford University Press, New York. Price A. Sylvia & Lorraine M. Wilson.2006. Patofisologi edisi 6,vol.2. Penerbit buku kedokteran.EGC.Jakarta. Somantri Irman.2008. keperawatan medikal badah:asuhan keperawatan dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta. Salemba medika Songer, J. G. and D. Miskimins. 2004. Clostridium perfringens type E Enteritis in calves: two cases and brief review of the literature. Anaerobe 10:239-242. Subronto.2003.Ilmu Penyakit Ternak 1.Gadjah Mada University Press:Yogyakarta Suzanne C. Smeltzer &Brenda G. Bare.2001.buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8 vol.1. penerbit buku kedokteran:EGC.Jakarta