Selasa, 29 Mei 2012

KAJIAN KEPENDUDUKAN DI DAERAH PERBATASAN TERHADAP KETAHANAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara bercita-cita untuk selalu dapat meningkatkan dan mempertahanakan kemampuan pertahanan wilayahnya. Dengan kemampuan pertahanan dan keamanan yang kuat maka negara tersebut mempunyai kemampuan diri yang dapat diandalkan untuk menghadapi berbagai macam bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri. Isu pertahanan dan keamanan pada yang negara kita hadapi belakangan ini semakin kompleks dengan terusiknya wilayah Indonesia di perbatasan, diantaranya batas laut dengan Singapura, batas daratan di Kalimantan Barat dan Timur serta klaim blok Ambalat oleh Malaysia, masalah kependudukan dengan Papua Nugini. Adapun dibidang keamanan meningkatnya aktivitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyelundupan, imigran gelap, penangkapan ikan illegal dan kejahatan lintas negara lainnya. Masalah pertahanan negara merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Bila tidak mampu mempertahankan diri dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya, padahal pertahanan negara berkaitan erat dengan harga diri bangsa dan negara, Belakangan ini nasionalisme masyarakat di perbatasan mulai dipertanyakan. Mengapa demikian? Warga di perbataasan terutama yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia,Papua Nugini, hampir setiap hari mengadakan kontak ekonomi, pendidikan dan masalah-masalah vital yang lain yang seharusnya dilaukan dan difasilitasi oleh pemerintah kita. Bahkan sangat ironi saat diketahui warga perbatasan yang masih memampang foto Presiden yang sudah lengser beberapa tahun yang lalu, tidak sedikit dari mereka yang lebih mengenal mata uang asing dari pada mata uang Rupiah dan yang paling tragis adalah sebagian dari warga perbatasan Indonesia-Papua Nugini yang masih merupakan masyarakat Indonesia yang berKTP Papua Nugini. Setiap hari masyarakat perbatasan disuguhi kemewahan infrastruktur dan kesejahteraan ekonomi dari negera tetangga, akan tetapi hidup mereka banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Infrastruktur yang ada tidak terbangun dengan baik atau bahkan tidak ada, sehingga pemerintah sendiri susah untuk menjangkau daerah mereka, apakah ini tidak akan menimbulkan perasaan iri yang nantinya dapat membuat mereka memilih untuk hengkang dari negara kita. Peristiwa yang terjadi pada tahun 2002 (ditetapkannya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan milik Malaysia oleh Mahkamah Internasional) harusnya menjadi kaca untuk pemerintah untuk membenahi sistem, jika tidak maka kita akan kehilangan warga kita atau bahkan akan terjadi peristiwa yang seperti itu lagi. B. RUMUSAN MASALAH Menipisnya rasa nasionalisme warga negara yang hidup di daerah perbatasan yang dapat mengancam ketahanan nasional, yang pada prakteknya dipicu oleh beberapa faktor yang saling berhubungan dan menimbulkan berbagai masalah yang beruntun dan bermuara pada ancaman bagi ketahanan nasional. C. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji masalah rasa nasionalisme warga negara yang hidup di daerah perbatasan, mencari pokok-pokok permasalahannya dan akibat dari permasalahan yang ditimbulkan. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme warga negara yang hidup di daerah perbatasan BAB II KAJIAN PUSTAKA Konsepsi ketahanan nasional Indonesia menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Antara kesejahteraan dan keamanan ini dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Penyelenggaraan kesejahteraan memerlukan tingkat keamanan tertentu, dan sebaliknya penyelenggaraan keamanan memerlukan tingkat kesejahteraan tertentu. Tanpa kesejahteraan dan keamanan, sistem kehidupan nasional tidak akan dapat berlangsung karena pada dasarnya keduanya merupakan nilai intrinsik yang ada dalam kehidupan nasional. Dalam kehidupan nasional, tingkat kesejahteraan dan keamanan nasional merupakan tolak ukur ketahanan nasional. Peran masing-masing gatra dalam astagrata seimbang dan saling mengisi. Maksudnya antargatra mempunyai hubungan yang saling terkait dan saling bergantung secara utuh menyeluruh membentuk tata laku masyarakat dalam kehidupan nasional. Konsepsi Ketahanan Nasional adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan terpadu berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dan wawasan nusantara dengan kata lain konsepsi ketahanan nasional merupakan pedoman untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besarnya kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah dan jasmaniah. Sedangkan keamanan adalah kemampuan bangsa melindungi nilai-nilai nasional terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam. Ketahanan Ekonomi diartikan sebagai kondisi dinamis kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan perekonomian bangsa dan negara berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Ketahanan sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamis budaya Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya. Ketahanan pertahanan dan keamanan diartikan sebagai kondisi dinamis kehidupan pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia mengandung keuletan, ketangguhan, dan kemampuan dalam mengembangkan, menghadapi dan mengatasi segala tantangan dan hambatan yang datang dari luar maupun dari dalam yang secara langsung maupun tidak langsung membahayakan identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketahanan pada aspek politik diartikan sebagai kondisi dinamis kehidupan politik bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan kehidupan politik bangsa dan negara Republik Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 1945. Aspek Ideologi dapat diartikan sebagai kondisi dinamis kehidupan ideologi bangsa Indonesia. Ketahanan ini diartikan mengandung keuletan dan ketangguhan kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan kehidupan ideologi bangsa dan negara Indonesia. (apadefinisinya.blogspot.com) Di bawah ini merupakan sifat-sifat Ketahanan Nasional Indonesia • Mandiri, artinya ketahanan nasional bersifat percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri dengan keuletan dan ketangguhan yang mengandung prinsip tidak mudah menyerah serta bertumpu pada identitas, integritas, dan kepribadian bangsa. Kemandirian ini merupakan prasyarat untuk menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dalam perkembangan global. • Dinamis, artinya ketahanan nasional tidaklah tetap, melainkan dapat meningkat ataupun menurun bergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara, serta kondisi lingkungan strategisnya. Hal ini sesuai dengan hakikat dan pengertian bahwa segala sesatu di dunia ini senantiasa berubah. Oleh sebab itu, uapaya peningkatan ketahanan nasional harus senantiasa diorientasikan ke masa depan dan dinamikanya di arahkan untuk pencapaian kondisi kehidupan nasional yang lebih baik • Manunggal, artinya ketahanan nasional memiliki sifat integratif yang diartikan terwujudnya kesatuan dan perpaduan yang seimbang, serasi, dan selaras di antara seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara • Wibawa, artinya ketahanan nasional sebagai hasil pandangan yang bersifat manunggal dapat mewujudkan kewibawaan nasional yang akan diperhitungkan oleh pihak lain sehingga dapat menjadi daya tangkal suatu negara. Semakin tinggi daya tangkal suatu negara, semakin besar pula kewibawaannya • Konsultasi dan kerjasama, artinya ketahanan nasional Indoneisa tidak mengutamakan sikap konfrontatif dan antagonis, tidak mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik semata, tetapi lebih pada sifat konsultatif dan kerja sama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa. (Kakarisah's Blog.htm) Indonesia terasa jauh di desa-desa Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia. Warga di sana hidup dalam tatanan sendiri yang terpisah dari hiruk-pikuk perpolitikan Indonesia yang jauh. Dalam beberapa aspek, mereka justru lebih dekat dengan negara tetangga, Malaysia, dibandingkan Indonesia. Di Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, waktu berdetak lebih cepat satu jam dibandingkan dengan waktu Indonesia bagian barat. Warga di sana memilih mengikuti waktu di Negara Bagian Serawak, Malaysia. Mata uang yang dipakai di desa itu pun ringgit Malaysia. Di Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, warga bergantung pada pasokan listrik dari Malaysia. Jalan aspal di kawasan itu juga dibangun kontraktor Malaysia. Bertahun-tahun sebelumnya, jalan itu menjadi saksi jutaan kubik kayu gelondongan dari hutan Indonesia yang dibawa ke Malaysia dan diolah di sana. Sisa kejayaan industri kayu itu terlihat dari bekas kilang-kilang kayu di Kampung Biawak, Sarawak, yang hanya selangkah dari perbatasan Indonesia. Setelah era kayu, jalan itu adalah urat nadi bagi warga desa yang tiap hari melangsir hasil buminya untuk dijual ke Malaysia dan menjadi jalan pulang setelah membeli kebutuhan sehari-hari dari negeri jiran itu. Lima tahun mendatang, jalan-jalan itu kemungkinan akan diramaikan oleh truk-truk sawit ke Malaysia. Hamparan perkebunan sawit di wilayah Indonesia, yang sebagian dimiliki taipan Malaysia, kini menunggu saat panen. Ketergantungan ekonomi terhadap negara tetangga itulah yang menjadikan Indonesia semakin jauh dan asing di mata warga. Ketika Indonesia menjadi jauh dan asing di mata warga, sebaliknya di mata pemerintah pusat dan daerah: wilayah perbatasan adalah kantong penyelundupan, gerbang perdagangan manusia dan masuknya tenaga kerja Indonesia tak berdokumen, penyelundupan barang, kayu, dan obat- obat terlarang, hingga daerah rawan penyerobotan wilayah. Beberapa waktu lalu, media massa di Tanah Air juga meributkan tentang warga Indonesia yang menjadi anggota Askar Wataniyah, paramiliter Malaysia. Citra negatif yang dilekatkan pada kawasan perbatasan itu sering kali menjadi dasar bagi pemerintah untuk lebih mengedepankan pendekatan keamanan-politik, dan abai terhadap realitas sosial, budaya, dan ekonomi di belakangnya. Proses terbentuknya negara-bangsa di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari pembagian teritori oleh para penguasa kolonial yang membagi wilayah kekuasaannya pada abad ke-19 berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka. Akibatnya, batas-batas negara tidak pernah bersinggungan dengan batas-batas kultural. Hal ini pula yang berlaku di perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Awalnya adalah garis di atas peta yang ditorehkan melalui perjanjian dua negara penjajah, Belanda dan Inggris, pada 20 Juni 1891. Pulau Borneo pun kemudian dibelah memanjang dari timur ke barat. Masyarakat di kedua sisi batas itu, yang sebagian masih bertalian saudara, dipaksa untuk memiliki identitas bangsa yang berbeda. Sebelah selatan garis menjadi wilayah kekuasaan Dutch Borneo dan sebelah utara berada di bawah British Protectorates. Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia, dan Inggris di Malaysia, pulau yang terbelah secara paksa itu diwariskan kepada bekas jajahannya masing-masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo di sebelah selatan, sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei. Namun, garis batas itu tidak dapat menghapus realitas sosial yang ada sebelumnya. Hingga lebih dari 100 tahun kemudian, kelompok sosial yang berada di antara garis batas tetap meneruskan irisan itu, terutama dalam hal migrasi penduduk, perdagangan, dan penggarapan lahan. Sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia di era Presiden Soekarno tak mampu memutus ikatan budaya dan sejarah masyarakat Dayak Bidayuh di wilayah ini. Konflik Indonesia dan Malaysia di masa lalu memang bukan konflik adat mereka. Interaksi lintas batas ini mengingatkan pada catatan Anton W Niewenhuis dalam bukunya, In Central Borneo (1894), yang menyebutkan, pada tahun 1890-an telah terjadi interaksi sosial, budaya, dan ekonomi antarsuku Dayak dari berbagai macam subetnis di wilayah ini. Selain suku Dayak, juga terdapat etnis China dan Melayu yang berdagang dan sebagian mulai menetap di kawasan ini. Di mata sebagian masyarakat tradisional Dayak, batas negara yang ditorehkan secara paksa oleh kolonial Inggris dan Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Malaysia dan Indonesia, adalah garis batas wilayah yang imajiner. Menjadi tidak aneh ketika kemudian sebagian warga perbatasan memiliki identitas kewarganegaraan ganda. Kebanyakan yang terjadi adalah warga negara Indonesia yang kemudian berpindah menetap ke kampung di Malaysia. Terputusnya ekonomi masyarakat perbatasan dengan ekonomi nasional adalah buah dari berpuluh tahun kebijakan pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa. Kebijakan itu menempatkan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang yang diabaikan. Nasionalisme yang membabi buta, dan sentralisasi ekonomi yang menempatkan daerah di luar Jawa sebagai daerah modal untuk dieksploitasi, telah menutup mata terhadap realitas kesenjangan itu. Di ujung kekuasaan Orde Baru, kesenjangan itu membuahkan konflik etnis yang berdarah-darah di beberapa wilayah Kalimantan, juga di beberapa wilayah Indonesia. Konflik itu membuka mata terhadap retasnya keindonesiaan, yang oleh Ben Anderson digambarkan sebagai bangsa imajiner. Bangsa yang seolah-olah ada, padahal tidak ada karena tidak ada irisan sejarah dan budaya dalam proses pembentukannya. Konflik bernuansa suku, agama, ras, antargolongan (SARA) yang beberapa waktu lalu merebak di berbagai wilayah itu juga membuka mata kegagalan pemerintah dalam membangun kebersamaan sebagai warga yang belajar menjadi satu bangsa. Tantangan terberat terjadi di wilayah perbatasan yang dicitrakan sebagai wilayah ”rentan”. Sudahkah kemudian kita belajar? Nyatanya, perubahan sistem terpusat menuju desentralisasi yang terjadi pasca euforia reformasi belum mampu mengubah wajah kesenjangan itu. Dalam kondisi masyarakat perbatasan yang secara sosial-ekonomi terputus dengan konsep ”nasional”, komunitas negara di wilayah ASEAN berencana membuka gerbang perbatasan lebar-lebar menuju integrasi ekonomi kawasan pada 2015. Peleburan tapal batas ini ke depan akan menjadi tantangan baru bagi keindonesiaan, khususnya di wilayah perbatasan yang retas. (jakarta45.wordpress.com) Daerah perbatasan merupakan pintu gerbang masuk wilayah Indonesia, maka dari itu pemberdayaan saerah perbatasan menjadi penting dan strategis dalam rangka mensejahterakan rakyat. Selama ini, daerah perbatasan sering kali dijuluki sebagai "beranda terdepan bangsa". Namun, dalam kenyataannya sering kali tidak terurus, ibarat tempat kumuh. Bahkan di daerah perbatasan dapat menjadi sumber konflik antar negara tetangga. Seperti beberapa kasus perbatasan dengan Malaysia. Hubungan Indonesia - Malaysia sebelum menganut konsep negara modern, pasca perjanjian Westphalia 1648, keduanya belum mengenal batas-batas fisik dan budaya. Masalah mulai muncul setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, dan Malaysia, 31 Agustus 1957. Pergesekan Indonesia-Malaysia boleh dikatakan merupakan yang terpanas jika dibandingkan dengan masalah perbatasan dengan negara lain di pinggiran Indonesia. Yang paling riuh dan banyak dipersoalkan ialah terkait tenaga kerja Indonesia (TKI) dan perbatasan fisik di Pulau Ambalat. Fakta lapangan tidak sesederhana itu, tetapi amat kompleks. Pengertian perbatasan selama ini lebih banyak dipahami dalam konteks fisik. Sejak kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, yang oleh Mahkamah Internasional dimenangkan Malaysia pada tahun 2002, masalah perbatasan fisik terus meningkat, kini Malaysia malah berusaha merampas Ambalat. Ketika Indonesia terus berusaha memperkuat pengamanan perbatasan fisik, batas kultural yang tidak pernah terpikir untuk dibentengi pun diusik. Terakhir kita tersentak oleh isu klaim Malaysia soal tarian pendet, reog, batik dan lagu rasa sanyange dalam sebuah iklan pariwisatanya. Meskipun Menlu Malaysia Anifah Aman membantah pernah ada klaim itu. Fakta yang sangat memprihatinkan di wilayah perbatasan Indonesia seperti di Pulau Sebatiuk dan wilayah Nunukan. Pulau Sebatik, pulau yang secara administratif terbagi atas wilayah Malaysia dan Indonesia. Khusus di Sebatik Barat, bagian dari wilayah Indonesia, warganya kecewa karena listrik yang dibangun negara sejak tahun 1991 belum juga beroperasi. Warga di wilayah Nunukan lebih banyak berorientasi ke Malaysia. Seluruh hasil pertanian mereka, baik itu hasil bumi maupun hasil laut, dan produk industri rumah tangga dijual ke Tawau. Barang-barang mereka ditawar dengan harga murah. Persoalan pengamanan wilayah fisik pun sangat sensitif. Sejak Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia ke tangan Malaysia, kini Pulau Ambalat pun terancam. Bahkan, mungkin, ancaman itu bisa semakin kuat karena fasilitas keamanan untuk kegiatan operasional di perbatasan sangat minim. Jajaran Pangkalan Laut dan Angkatan Udara di Tarakan mengatakan, panjang landasan berkaitan erat dengan kemampuan operasional alutsista, khususnya pesawat patroli atau tempur. Artinya, jika landasannya kecil, pesawat canggih yang lebih besar pun sulit mendarat. Alat komunikasi di perbatasan pun terbatas. Dari tiga pos keamanan di Sebatik, misalnya, hanya pos paling depan yang memiliki radio komunikasi. Dua pos lain di belakangnya tanpa sarana komunikasi. Jaringan telekomunikasi dan penyiaran publik milik pemerintah minim. Infrastruktur lembaga penyiaran publik, misalnya, yang diharapkan sebagai corong pemerintah, seperti RRI dan TVRI, baru menyentuh kota kabupaten. Warga perbatasan lebih banyak menerima siaran radio dan televisi Malaysia. Selain masalah-masalah tersebut diatas, sebenarnya masih banyak lagi masalah yang belum diungkap, seperti illegal fishing, perompakan, terorisme, dan pencurian hasil hutan. Bentuk-bentuk kehadiran negara, seperti penyediaan sarana dan prasana listrik, telekomunikasi, air bersih, koperasi unit desa, jaringan transportasi, jaringan informasi, terutama penyiaran, jauh dari memadai. Tidak heran jika orientasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya warga lebih banyak ke Malaysia. Pemerintah harus mengubah orientasi pembangunan perbatasan dari pendekatan ekonomi ke pendekatan national interest. Utamakan kepentingan nasional mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa, ketimbang kepentingan kapitalistik. (Inilah.com) Setiap negara berkeinginan untuk selalu dapat meningkatkan kemampuan pertahanan wilayahnya. Dengan kemampuan pertahanan yang kuat maka negara tersebut mempunyai kemampuan diri yang dapat diandalkan untuk menghadapi berbagai macam bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri. Isu pertahanan dan keamanan pada dekade terakhir ini semakin kompleks dengan terusiknya wilayah Indonesia di perbatasan, diantaranya batas laut dengan Singapura, batas daratan di Kalimantan Barat dan Timur serta klaim blok Ambalat oleh Malaysia. Adapun dibidang keamanan meningkatnya aktivitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyelundupan, imigran gelap, penangkapan ikan illegal dan kejahatan lintas negara lainnya. Bentuk-bentuk ancaman tersebut semakin kompleks karena dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan finansial. Masalah pertahanan negara merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Tanpa mampu mempertahankan diri dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya. Selain itu juga pertahanan negara berkaitan dengan harga diri bangsa dan negara, karena dengan adanya kekuatan pertahanan negara yang memadai (Postur Pertahanan yang kuat) akan membuat negara lain menjadi tidak memandang remeh terhadap Indonesia. (Kodam VI_Mulawarman) Permasalahan yang muncul, yang sangat ironi pada beberapa bidang antara lain: • Ekonomi: Secara ekonomi, Indonesia sudah dijajah Malaysia. Hal tersebut terlihat jelas dalam praktik hari-harinya, terutama di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Kenapa demikian, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang lebih mengenal mata uang ringgit dari pada rupiah dan lebih sering melakukan kegiatan ekonomi di Malaysia, seperti barter barang. Warga di wilayah Nunukan contohnya, lebih banyak berorientasi ke Malaysia. Seluruh hasil pertanian mereka, baik itu hasil bumi maupun hasil laut, dan produk industri rumah tangga dijual ke Tawau. Barang-barang mereka ditawar dengan harga murah. Banyak dari mereka yang hanya disuguhi kemewahan negeri tetangga, sementara mereka hidup di bawah garis kemiskinan. • Pendidikan: putra putri bangsa ini banyak yang lebih memilih berekolah dan menimba ilmu di negeri orang, masyarakat kalimantan contohnya mereka mendapatkan fasilitas yang sangat menjanjikan di negeri orang, sekolah mereka gratis, mendapatkan sarana dan prasarana yang sangat lengkap, seperti asrama dan lain sebagainya. Sementara di negeri sendiri mereka harus menimba ilmu dalam kekurangan sarana dan prasarana, kadang mereka juga harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk dapat mencapai sekolah mereka. • Wawasan nusantara: Jaringan telekomunikasi dan penyiaran publik milik pemerintah minim. Infrastruktur lembaga penyiaran publik, misalnya, yang diharapkan sebagai corong pemerintah, seperti RRI dan TVRI, baru menyentuh kota kabupaten. Warga perbatasan lebih banyak menerima siaran radio dan televisi Malaysia. Hal ini berakibat pada wawasan masyarakat mengenai bangsa ini juga sangat minim, sampai-sampai mereka tidak mengetahui siapa presiden yang memimpin bangsa kita saat ini, hingga ada masyarakat yang masih memajang foto presiden dan wakil presiden yang sudah bertahun-tahun yang lalu lengser dari jabatannya. Selain masalah di atas, sebenarnya masih banyak lagi masalah yang belum h diungkap, seperti illegal fishing, perompakan, terorisme, dan pencurian hasil hutan. • Pemerintahan: akan menjadi masalah yang sangat besar sekali jika pemerintah kita benar-benar mengungkap masalah yang terjadi diperbatasan. Dalam pendataan penduduk atau yang lebih kita kenal dengan sensus penduduk, tidak sedikit masyarakat yang masih termasuk masyarakat Indonesia dan hidup dalam wilayah kekuasaan Indonesia tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk, bahkan ada yang lebih parah seperti yang terjadi di daerah perbatasan Papua dengan Papua Nugini, banyak warga Papua yang ber-KTP Papua Nugini. Kasus-kasus perbatasan Menurut catatan selama delapan tahun terakhir, telah terjadi sembilan kasus di perbatasan, baik laut maupun darat. • Pertama, kasus Pulau Sipadan dan Ligitan (dua pulau terluar kita sebelumnya) di mana oleh Mahkamah Internasional telah diputuskan menjadi milik Malaysia sejak tahun 2002. • Kedua, kasus Ambalat yang merupakan upaya Malaysia mengklaim wilayah perairan yang disebut Blok Ambalat karena pada landas kontinen kawasan tersebut terdapat tambang mineral strategis. Kasus ini berkaitan dengan kasus pertama karena pada saat kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia terjadi kekaburan batas maritim di kawasan itu sehingga negara tetangga ini mencoba memanfaatkan kekaburan itu sampai akhirnya Indonesia menetapkan titik dasar (base point) baru di Karang Ungaran (suatu elevasi pasang surut (drying reef). Perundingan pun sampai sekarang belum selesai. • Ketiga, Kasus Pulau Mangudu dan Bidadari, pulau terluar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhubungan dengan investor asing yang berinvestasi secara ilegal di sana. Keempat, Kasus Gosong Niger, suatu wilayah konservasi yang coba diklaim sebagai wilayah Malaysia dalam hal tanda-tanda batas kita jelas sekali di kawasan tersebut. • Kelima, Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim oleh masyarakat NTT sebagai miliknya walaupun secara yuridis telah menjadi milik Australia sejak masa pemerintahan Soeharto. Keenam, kasus Pulau Miangas yang dikhawatirkan diklaim Filipina, tapi ternyata kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan. • Ketujuh, kasus Laskar Watania di mana Malaysia melakukan rekrutmen masyarakat perbatasan di Kalimantan menjadi laskar mereka karena kepentingan survival ekonomi mereka di kawasan ini. • Kedelapan, kasus pergeseran batas darat kita secara fisik sekitar hampir satu kilometer masuk ke wilayah kita alias memperluas wilayah Malaysia. • Kesembilan, Kasus Pulau Makaroni, Siloinak, dan Kandui (pulau-pulau perbatasan) di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, yang dibeli oleh investor asing. • Kesepuluh, Pulau Jemur di Provinsi Riau yang tahun lalu dicoba diklaim oleh Malaysia, padahal pulau tersebut berada di belakang pulau terluar kita di kawasan tersebut. • Kesebelas, kasus terakhir yang masih segar dalam ingatan kita, yaitu penyanderaan aparatur pengawas sumber daya kelautan dan perikanan perbatasan kita oleh Malaysia sebagai balasan terhadap penangkapan nelayan Malaysia yang memasuki wilayah perairan kita secara ilegal. Fakta-fakta tersebut mengindikasikan hampir setiap tahun terjadi minimal satu kasus di perbatasan di mana kasus dengan Malaysia terjadi dengan frekuensi cukup tinggi, yaitu enam kasus. Dengan frekuensi seperti ini kita patut mengkritisi mengapa ada kecenderungan Malaysia melakukan hal seperti ini. Yang pasti kita sepertinya dianggap sepele karena yang bersangkutan tahu betul kelemahan kita. Dengan kata lain, posisi tawar kita sangat lemah di mata negara ini. Ambil contoh sederhana saja, isu-isu tentang tenaga kerja kita yang mencari hidup di sana, baik yang legal maupun ilegal. Jika ditelaah, maka belahan utara NKRI relatif memiliki tingkat kerawanan lebih tinggi dibandingkan belahan selatan. Mengapa? Karena di belahan utara kita berhadapan dengan lebih banyak negara di samping relatif berdekatan sehingga aktivitas ilegal banyak terjadi. Walaupun kedekatan itu sendiri dapat dilihat sebagai peluang ekonomi kawasan. Negara-negara tersebut (8 dari 10 negara yang berhubungan dengan perbatasan laut) antara lain India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, dan Papua Niugini. Sementara di selatan kita hanya berhubungan dengan Timor Leste dan Australia. Karena itu, fokus pengawasan kita seharusnya pada belahan utara. Motivasi kasus-kasus ini semuanya bersumber dari kepentingan potensi sumber daya alam yang kita sendiri tidak mampu mengelolanya sehingga dimanfaatkan oleh pihak lain secara ilegal. Banyak kritikan di media seolah-olah selama ini pemerintah tidak melakukan apa-apa di wilayah perbatasan. Apakah memang benar demikian? Rasanya tidak benar kalau dikatakan pemerintah belum berbuat sama sekali. Bahwa yang dibuat belum optimal, itu ada benarnya. Isu perbatasan sebenarnya mulai mencuat bersamaan dengan lahirnya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2000. Lima tahun sesudahnya, barulah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla merespons dengan melahirkan kebijakan pertama perbatasan lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. Keluaran dari perpres ini berupa simbol-simbol negara, seperti disebarkannya marinir-marinir di pulau terluar, munculnya puskesmas-puskesmas, dibangunnya gudang sembako, dibukanya jalur transportasi, dibangunnya sarana bantu navigasi, pemekaran kecamatan perbatasan, kunjungan pejabat untuk upacara HUT kemerdekaan seperti dilakukan di Pulau Kisar beberapa hari lalu, sampai tersedianya data dan informasi kawasan ini yang lengkap. Walaupun demikian, harus diakui apa yang telah dilakukan tidak konsisten, bahkan menurun menurut waktu. Ini menjadi tren umum di negara kita. Selanjutnya, dari 11 kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama perbatasan, yaitu delimitasi/demarkasi (kepastian batas secara fisik), penegakan hukum, dan kesenjangan pembangunan. Tugas pemerintah mengurusi ketiga isu tersebut. Tentu dengan adanya pembangunan di perbatasan sebagai prioritas KIB II sampai tahun 2014, semua isu itu dapat diformulasikan secara terukur melalui program dan kegiatan setiap instansi, baik pusat maupun daerah, dengan pengawasan yang konsisten sehingga dampaknya benar-benar terasa. Sekarang tidak perlu lagi seminar dan workshop tentang isu-isu ini karena semua permasalahan sudah jelas. Aksilah yang urgen dilakukan. Aksi yang penting dilakukan semestinya memfungsikan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan yang telah dilegalkan sebagai perintah UU No 43/2008 tentang Wilayah Negara sesuai Perpres No 12/2010 yang diketuai oleh Mendagri. Dengan difungsikannya kelembagaan ini, maka perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian kawasan ini dapat lebih fokus di bawah kendali Menko Polhukam termasuk di dalamnya agenda penamaan pulau yang sampai sekarang belum tuntas. Semoga. (Alex Retraubun Alumnus PPRA 42 Lemhanas RI; Mantan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan; kini Wakil Menteri Perindustrian). (jakarta45.wordpress.com) BAB III PEMBAHASAN Bangsa Indonesia, berdasarkan pengalamannya, telah menetapkan satu cara untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan itu. Cara itu adalah Ketahanan Nasional .Yang kita maksudkan dengan Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis bangsa berisikan keuletan dan ketangguhan yang membentuk kekuatan nasional yang dapat mengatasi setiap ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang secara langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup bangsa serta pencapaian tujuan nasional. Dengan cara Ketahanan Nasional kita telah berhasil mengatasi semua ancaman di masa lampau sehingga Republik Indonesia selamat dari segala ujian itu. Dan di masa depan Ketahanan Nasional harus selalu kita pelihara agar dapat mencegah timbulnya ancaman baru. Meskipun begitu tantangan-tantangan baru terus timbul dan harus kita atasi. Ketahanan nasional pada hakekatnya merupakan suatu konsepsi di dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan serta serta keamanan di dalam kehidupan nasional. Kehidupan nasional tersebut dapat dibagi di dalam beberapa aspek sebagai berikut Aspek Alamiah (TRIGATRA) yang meliputi Posisi dan lokasi geografi negaram Keadaan dan kekayaan alam dan Keadaan dan kemampuan penduduk. Sedangkan untuk Aspek Sosial / Kemasyarakatan (PANCA GATRA) meliput Ideologi, Politik, Ekonomi,Sosial Budaya dan Militer Hankam. Antara TRIGATRA dan PANCA GATRA itu terdapat hubungan timbal balik yang erat dinamakan hubungan (korelasi) dan ketergantungan (interdependensi). Oleh karena itu, TRI GATRA dan PANCA GATRA merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh yang dinamakan ASTA GATRA. Masalah yang muncul di daerah perbatasan sangat mengancam ketahanan dan keamanan negara, rasa nasionalisme sangat dipertaruhkan. Beberapa masalah yang disoroti dalam kasus ini adalah • Tidak dimilikinya KTP (Kartu Tanda Penduduk) oleh beberapa warga di daerah perbatasan, atau bahkan warga perbatasan memiliki KTP luar negeri • Fasilitas pendidikan untuk warga perbatasan yang sangat kurang, yang mengakibatkan banyak warga daerah perbatasan yang bersekolah ke luar negeri, yang notabene mendapat fasilitas yang sangat memadai serta gratis • Kurangnya informasi dan infrastruktur yang didapatkan oleh warga di daerah perbatasan. Pemusatan pemikiran pemerintah selama ini hanya terfokus pada ibu kota dan hiruk pikuknya, kurang memperhatikan daerah-daerah luar yang justru sangat vital untuk kelangsungan bangsa ini. Lihat saja tiga masalah yang disoroti di atas, masalah vital yang harusnya seluruh masyarakat mendapatkannya dengan baik. Wilayah perbatasan ibarat rumah merupakan terasnya, sehingga perlu dibangun seindah dan sebaik mungkin agar orang luar melihat rumah itu indah dan nyaman. Untuk itu, wilayah perbatasan Indonesia juga harus dibangun sebaik mungkin, terutama pembangunan ekonominya, agar negara tetangga melihat Indonesia tidak dengan sebelah mata. Sementara masyarakat perbatasan juga hidup sejahtera dan tidak ada keinginan untuk melakukan lintas batas, seperti yang terjadi saat ini. Masalah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia sepertinya tak kunjung juga selesai. Bukan sekadar patok perbatasan kita yang selalu bergeser, kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan pun masih penuh polemik. Wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia seringkali salah dinilai. Daerah perbatasan seharusnya dijadikan aset produktif. Seringkali daerah perbatasan dianggap rawan persoalan politik. Daerah perbatasan itu seperti Papua. Papua sering dianggap memiliki persoalan dua negara. Padahal di masyarakat tidak ada masalah. Mereka tidak punya masalah politik lintas batas, biasa-biasa saja. Daerah perbatasan seharusnya dijadikan daerah pengembangan ekonomi supaya rakyat setempat mempunyai kehidupan yang layak. Kalau tidak, warga negara kita di wilayah itu akan merasa lebih suka menjadi warga negara tetangga dan patok-patok perbatasan bisa diubah. Masalah perbatasan ini masalah lama yang penyelesaiannya seringkali ditunda-tunda. Umur Indonesia sudah 54 tahun, tapi masalah perbatasan tidak pernah diprioritaskan. Masalah di perbatasan, bukan hanya masalah militer. Tapi sebenarnya yang harus dikedepankan masalah non militernya. Seperti masalah etnis dan kesejahteraan, atau perekonomian. Kita semua berharap pemerintah segera mengupayakan pembangunan ekonomi yang strategis di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain, agar masalah perbatasan selama ini dapat diatasi. Sehingga masyarakat diperbatasan bisa hidup makmur dan sejahtera sehingga bangga sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan lainnya adalah banyaknya masyarakat yang tidak memiliki KTP ataupun yang memiliki KTP luar negeri dapat diketahui dari hasil sensus yang dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini, Badan Pusat Statistik). Sensus yang selanjutnya harus lebih menjangkau keseluruhan, bukan hanya menguak kasus yang terjadi di daerah perbatasan, tetapi juga memecahkan masalahnya. Semua warga harus terdata, tersensus dengan baik, pastikan semua memiliki KTP, memiliki KK (Kartu Keluarga), masyarakat yang masih dalam usia sekolah wajib bersekolah (berkaiatan dengan masalah point kedua) dan mendapat fasilitas yang memadai, semua harus bisa hidup dalam taraf yang memadai. Namun yang terjadi di daerah perbatasan tidaklah seperti itu. Banyak dari warga di daerah perbatasan yang tidak memiliki KTP. Bahkan ada warga perbatasan yang malah memiliki KTP luar negeri. Ini memang sangat memperihatinkan. Sebagai contoh Sebagian besar masyarakat yang berada di perbatasan Negara Republik Indonesia dengan negara tetangga Papua Nugini (PNG) belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) disebabkan karena tidak adanya pelayanan kepengurusan identitas di distrik yang berada di perbatasan. Masyarakat yang berada di perbatasan justru memiliki KTP Papua Nugini bukan KTP Indonesia. Seharusnya saat ini dinas intansi terkait harus memberikan pelayanan kepengurusan KTP dan kartu identitas lainnya kepada masyarakat perbatasan . Hal ini tidak mengherankan jika masyarakat perbatasan lebih memilih menghayati dan menghormati pemerintahan Papua Nugini dibandingkan Pemerintahan Indonesia. Contoh kecil saja lagu Indonesia raya, Padamu Negeri tidak bisa dinyanyikan oleh mereka tetapi kalau lagu wajib Papua Nugini mulai dari anak kecil hafal bahkan sebagian besar bahasa sehari-harinya adalah bahasa PNG. Ini menggambarkan bahwa sebagian besar Warna Negara Indonesia belum memahani nilai-nilai kebangsaan. Tidak heran jika masih ada masyarakat yang menginginkan memisahkan diri dari NKRI karena mengalami kemiskinan nilai dan idiologi kebangsaan. Untuk itu diharapkan kepada dinas instansi terkait untuk menjelmput bola mengatasi hal tersebut serta badan kesbang yang ada di daerah agar menjalankan fungsinya mensosialisasikan nilai-nilai kebangsaan karena ini adalah tugas bersama untuk mengatasi masalah tersebut. Masalah ini yang selalu dilupakan dan diacuhkan oleh pemerintah maupun kita sendiri. Padahal, para warga di daerah perbatasan adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih konsen untuk menangani masalah ini, bila tidak ingin warga negaranya diakui lagi oleh negara lain. Pemerintah harus dengan cepat mengerahkan BPS untuk segera menyensus para penduduk di daerah perbatasan tersebut. Seharusnya kita tidak melupakan atau meremehkan apapun yang ada di daerah perbatasan. Seperti pelayanan KTP seperti ini, sepele tapi sangat intens. Diharapkan pemerintah segera merampungkan masalah ini. Masyarakat yang berwawasan luas tentu tak lepas dari yang namanya pendidikan. Indonesia, mengharapkan masyarakatnya menjadi masyarakat yang pintar untuk mempersiapkan regenerasi pemimpin bangsa, tetapi bagimana bila masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Banyak anak usia sekolah merasakan putus sekolah karena tak ada biaya atau yang paling ironi karena tempat bersekolah yang sangat susah untuk dijangkau. Lihatlah teman-teman kita yang berada di daerah perbatasan, tak banyak daerah di perbatasan yang memiliki sekolah yang memadai, seandainya pun ada lokal sekolah yang tersedia, benarkah sarana dan prasarananya memadai, jika sarana dan prasarana bisa diatasi apakah masyarakat kita dapat mendapatkan pendidikan secara gratis, pertayaan yang kompleks dan sangat vital untuk diketahui. Jika memang keadaan pendidikan di negeri sendiri seperti yang telah dijabarkan di atas, tak heran bila masyarakat kita yang merasa sadar akan pentingnya pendidikan akan mencari cara untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak, jika negera tidak menyediakannya maka solusinya adalah mencari pendidikan di luar negeri, yang notabene lebih dekat, lebih mudah untuk dijangkau dari daerah mereka, mereka juga mendapat pendidikan yang layak, pendidikan gratis, mendapatkan sarana dan prasarana yang lengkap. Apabila seperti ini keadaan yang banyak terjadi di daerah terluar kita, maka masihkah pemerintah, pemimpin-pemimpin kita dapat berharap banyak pada generasi-generasi bangsa yang tidak pernah mereka pelihara dengan baik dan apakah mereka sebagai anak bangsa berkenan untuk tetap membela negara mereka yang tidak pernah memberikan mereka sebuah kehidupan yang layak, ironi itu yang mungkin terpikir dibenak kita semua dan inilah ancaman yang sangat besar demi keberlangsungan bangsa kita. Satu lagi masalah yang tersoroti dengan jelas, daerah perbatasan identik dengan daerah yang terpencil bahkan mungkin daerah pedalaman. Keadaan seperti ini akan berdampak pada kurangnya informasi dan infrastruktur yang didapatkan oleh warga didaerah perbatasan. Sebagai contoh misalnya signal radio ataupun televisi yang tidak menjangkau daerah-daerah perbatasan sehingga mereka kurang informasi. Bahkan kemungkinan siaran radio atau televisi yang bisa menjangkau adalah milik luar negeri. Menurut data penelitian yang ada,siaran radio atau televisi nasional hanya menjangkau daerah kabupaten saja. Mereka tidak tau perkembangan yang terjadi di negara indonesia, masalah-masalah yang terjadi dinegaranya, perkembangan pemerintahan dan informasi-informasi penting lainnya. Bahkan beberapa warga masih memajang foto presiden dan wakilnya pada periode yang sudah lama lengser. Selain kurangnya informasi, kurangnya infrastruktur seperti jalan atau sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil juga menjadi masalah. Setiap hari masyarakat perbatasan disuguhi kemewahan infrastruktur dan kesejahteraan ekonomi dari negera tetangga, akan tetapi hidup mereka banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Infrastruktur yang ada tidak terbangun dengan baik atau bahkan tidak ada, sehingga pemerintah sendiri susah untuk menjangkau daerah mereka, apakah ini tidak akan menimbulkan perasaan iri yang nantinya dapat membuat mereka memilih untuk hengkang dari negara kita. Hal ini berdampak pada bagaimana warga melakukan kegiatannya. Seperti susahnya transportasi menjangkau daerah kabupaten membuat warga lebih memilih pergi ke negara lain untuk melakukan kegiatan-kegiatan kesehariannya, seperti memperoleh pendidikan (permasalah kedua). Jika sarana transformasi saja tidak ada, bagaimana mungkin infrastruktur yang lain dapat menjangkau daerah-daerah perbatasan. Akibatnya mungkin yang seperti terlihat dibeberapa pintu perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, setiap hari terlihat masyarakat kita keluar masuk tanpa paspor, berbelanja, bersekolah, dan masih banyak lagi kegiatan harian mereka yang mereka lakukan di negera tetangga. Kurangnya informasi dan infrastruktur ini berakibat pada kurangnya wawasan masyarakat tentang nusantara. Selanjutnya akan berakibat pada melepasnya daerah-daerah perbatasan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengetahui hal-hal seperti ini pemerintah tetap tidak berupaya untuk memperbaiki sarana informasi dan infrastruktur lainnya. Pemerintah lebih mengutamakan pembangunan yang terpusat didaerah perkotaan dan ibukota saja. Baru setelah muncul permasalah ada suatu wilayah yang akan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pemerintah akan berbondong-bondong menyoroti permasalah tersebut. Dampak dari kurangnya informasi dan infrastruktur berakibat pada perekonomian Indonesia yang secara tidak langsung sudah dijajah negara lain yang berbatasan dengan Indonesia. Dalam hal ini yang sangat tersorot adalah Malaysia. Hal tersebut terlihat jelas dalam praktik hari-harinya, terutama di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Bentuk penjajahan Malaysia dalam bidang ekonomi itu, terbukti listrik, uang yang beredar ringgit Malaysia, serta barang kebutuhan mayoritas didatangkan dari Malaysia baik secara legal maupun illegal. Terjadinya hal tersebut karena bangsa Indonesia belum mampu menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat Indonesia yang hidup di perbatasan. Ini sebenarnya pola penjajahan baru yang tidak kita sadari dan ini menyangkut nasionalisme, bukan murah atau mahal. Lemahnya pemerintah Indonesia dalam menangani masalah perbatasan, seperti masalah listrik. Itu juga yang menjadi penyebab mengapa banyak warga kita di perbatasan menggunakan ID Malaysia. Selain memang sistem yang salah, sepertinya memang terdapat faktor-faktor yang menyebabkan banyak masyarakat perbatasan melakukan aktivitas di luar negeri. Hubungan kekerabatan dipengaruhi oleh persamaan suku dari masyarakat di Indonesia dengan masyarakat yang ada di Negara lain, karena mereka menganggap hubungan kekerabatan mereka sangat dekat tak sedikit masyarakat Indonesia yang memiliki tanah di negeri tetangga dan begitu pula sebaliknya, tetapi dampak yang negativ yang muncul adalah ketika banyak warga Negara asing yang masuk wilayah Indonesia secara illegal begitu pula warga kita sendiri, memang tak dapat dipungkiri hal tersebut, persamaan bahasa pun menjadi factor yang menyebabkan daerah perbatasan sangat ruwet bila diamati. Sebagian dampak dari masalah perbatasan belakangan ini nasionalisme masyarakat di perbatasan mulai dipertanyakan. Warga di perbatasan terutama yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia, hampir setiap hari mengadakan kontak ekonomi dengan negeri jiran itu. Bahkan untuk bahan pokok sehari-hari, warga di perbatasan tetap bergantung ke Malaysia. Maklum saja, letak wilayah mereka pun begitu dekat. Saking dekatnya, perjalanannya bisa ditempuh lewat darat atau pun laut selama satu jam, bahkan lebih. Hal ini tergantung pada posisi wilayah masing-masing. Selain jaraknya dekat, warga di perbatasan juga mempunyai ikatan kekerabatan dengan Malaysia terutama di perbatasan Kalimantan. Ketergantungan warga di perbatasan begitu kuat, terbukti setelah pemberantasan kayu illegal logging di sekitar perbatasan dihentikan. Serta merta kegiatan ekonomi mereka terhenti karena cukong yang terlibat penebangan liar hengkang ke Malaysia, akhirnya pengangguran besar-besaran pun terjadi. Jelas ini sangat berpengaruh bagi kehidupan ekonomi di perbatasan. Sementara lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah sebagai kompensasi diberantasnya aktivitas illegal logging tidak pernah terwujud. Sebagai konsekuensinya, ratusan bahkan ribuan warga bekerja di Sarawak, Malaysia Timur. Mereka diperkerjakan sebagai buruh kasar, pembantu rumah tangga, bahkan ada sebagian lagi bekerja di perkebunan karet milik warga Malaysia. Begitu terpuruknya ekonomi di perbatasan yang hanya menggantungkan hidup di negeri orang. Giliran keuntungan hasil penebangan kayu liar diambil oleh pemerintah dengan alasan dikembalikan untuk pendapatan daerah dan perbaikan jalan. Tapi apa realisasinya? Toh jalan yang rusak pasca illegal logging tetap saja tidak ada perbaikan, malah bertambah parah. Apa hubungannya dengan nasionalisme? Jelas ini sangat berkaitan. Nasionalisme dan ekonomi adalah dua sisi mata uang yang sangat erat hubungannya. Bagaimana mungkin rasa nasionalisme itu bisa terbangun jika kualitas hidup secara ekonomi rendah. Malah isu rekrutmen laskar Watania yang dilakukan pemerintah Malaysia beberapa bulan lalu agaknya bisa dibenarkan jika dilihat dari nihilnya lapangan pekerjaan yang diberikan pemerintah Indonesia. Apalagi dengan gaji yang ditawarkan cukup menggiurkan. Rasa nasionalisme bisa kalah hanya karena kebutuhan untuk bertahan hidup. Tidak hanya di perbatasan barangkali, bahkan keroposnya nasionalisme itu bisa jadi menyelimuti anak bangsa ini takkala harga bahan pokok bertambah naik, lapangan pekerjaan sulit, cari uang susah. Yang paling parah lagi harga diri bangsa di mata negara lain terinjak-injak. Sehingga tidak heran apabila berpergian ke Malaysia atau negara lainnya, banyak orang Indonesia malu mengakui identitas negaranya sendiri. Kondisi ini seolah-olah memberikan pembenaran bahwa nasionalisme bangsa ini mulai redup. WNI yang sering bepergian keluar negeri malu mengaku identitasnya. Apalagi warga diperbatasan yang pendidikannnya minim. Salah satu faktor keterbelakangan secara ekonomi di perbatasan adalah diskriminasi ekonomi yang dilakukan pemerintah. Kehidupan warga begitu kontras jika dibandingkan dengan daerah lain. Prioritas pembangunan yang dijanjikan pemerintah tidak sebanding dengan penghasilan kekayaan alam yang dikeruk. Warga perbatasan tetap saja menggantungkan hidupnya di Malaysia. Mereka lebih betah tinggal di Malaysia walaupun harga diri mereka terkadang terinjak-injak. Ini tidak boleh dibiarkan, pemerintah secepat mungkin mewujudkan pembangunan di daerah perbatasan. Hal demikian begitu urgen karena menyangkut masa depan genarasi bangsa. Semarak nasionalisme di telivisi yang dengan bangga mengaku sebagai anak bangsa Indonesia belum tentu selaras dengan nasionalisme warga yang tinggal di perbatasan. Sayangnya belum ada tayangan di televisi yang menayangkan komentar warga di perbatasan tentang nasionalisme mereka. Kalau pun berkomentar dan bangga sebagai warga negara Indonesia, itu sangat kontras dengan realitas hidup yang memprihatinkan. Kemiskinan akibat minimnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan daerah perbatasan, menjadi ancaman serius yang melunturkan nasionalisme rakyat setempat. Bahkan, lemahnya pengawasan terhadap daerah perbatasan, menyebabkan tindak pencurian yang dilakukan pihak asing terhadap sumber daya alam Indonesia semakin parah. Banyak masyarakat yang dirampas tanahnya hanya untuk kepentingan pemerintah, tapi tidak ada imbal baliknya terhadap peningkatan perekonomian masyarakat. Sampai kini, belum ada perlindungan dari pemerintah, terutama dalam melakukan kebijakan kontrak karya. Yang terpenting, bagaimana masyarakat setempat itu bisa mendapatkan kesejahteraan ekonomi. Karena kenyataannya, sampai sekarang mereka lebih mudah melakukan kegiatan ekonomi dengan wilayah negara tetangga, seperti Malaysia. Jika kondisi tersebut tak segera diperbaiki pemerintah dengan pembenahan berbagai sarana yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, maka tak tertutup kemungkinan dapat semakin mempertinggi angka pencurian sumber daya alam, seperti penebangan liar (illegal logging) atau penambangan liar (i/-legal mining) yang dilakukan masyarakat setempat. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul didaerah perbatasan pemerintah dari beberapa instansi harus bekerja sama. Beberapa instansi yang berperan penting antara lain pemerintah daerah dan pusat, dinas pendidikan, dinas perhubungan, lembaga penyiaran publik, dinas kependudukan dan BPS yang dalam hal ini sebagai sumber informasi berbagai data kependudukan serta wilayah. Pihak-pihak tersebut diharapkan saling berkoordinasi dan bekerjasama agar kesejahteraan di wilayah perbatasan dapat tercapai sehingga tercipta ketahanan nasional yang kokoh. Pemerintah masih harus bekerja keras untuk menyelesaikan masalah perbatasan, karena daerah perbatasan adalah bagian penting dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Daerah perbatasan adalah bagian penting dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan dengan permasalahan yang bisa mengancam ketahanan nasional. Permasalahan seperti tidak jelasnya kartu identitas penduduk, kurangnya sarana pendidikan serta minimnya sarana informasai dan infrastruktur lainnya berdampak pada menipisnya rasa nasionalisme masyarakat perbatasan yang memicu ancaman terhadap ketahanan nasional. Permasalahan tersebut menimbulkan beberapa masalah yang konteksnya semakin luas seperti kaburnya tapal batas negara, terlepasnya beberapa daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, penjajahan ekonomi dan sebagainya. Untuk mencegah semakin meluasnya permasalah yang bisa mengancam ketahanan nasional diperlukan kerja sama pemerintah baik pusat maupun daerah dengan instansi-instansi terkait, seperti BPS dalam hal pendataan. Diharapkan kesejahteraan masyarakat perbatasan menjadi perhatian agar ketahanan nasional tetap terjaga. B. Saran • Bagi para pembaca, semoga tulisan ini dapat menggugah semangat kita untuk saling membantu sesame yang masih kekurangan guna mewujudkan ketahanan nasional yang tangguh • Bagi pemerintahan terkait, semoga lebih memperhatikan kesejahtaeraan rakyatnya terutama masyarakat di daerah perbatasan. • Bagi penulis, semoga tulisan ini merupakan titik awal untuk bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang kritis selanjutnya dan tentu saja bisa memberikan yang terbaik bagi para pembaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar