Minggu, 13 Januari 2013

LAPORAN PRAKTIKUM DI GREENFIELD NEKROPSI PADA SAPI PERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autopsi atau nekropsi untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa pada beberapa sebab penyakit atau kematian dari seekor hewan. Biasanya untuk melengkapi hasil diagnosa yang akurat harus ditunjang dengan hasil pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti bakteriolagi, virology, parasitologi, patologi klinik, toxicology dsb. Nekropsi tidak akan dapat mengungkapkan semua penyebab dari suatu penyakit , penyebab kejadian suatu penyakit, kebanyakan berhubungan dengan manajemen, termasuk pemenuhan nutrisi yang buruk, kekurangan pakan dan minum, ventilasi yang tidak mencukupi, sanitasi yang buruk, unggas mengalami kedinginan atau kepanasan, dan populasi yang berlebihan. Keadaan serupa tadi memerlukan pemeriksaan lapangan untuk menentukan penyebab masalah. Nekropsi seringkali dilakukan untuk dapat mengidentifikasi proses penyakit infeksius, defisiensi nutrisi, keracunan, penyakit parasitik, dan tumor. Nekropsi (pemeriksaan postmortem) dilakukan untuk menentukan kausa penyakit dengan melakukan diskripsi lesi makroskopis dan mikroskopis dari jaringan dan dengan melakukan pemeriksaan serologis dan mikrobiologis yang memadai. Pemeriksaan postmortem dilakukan bila ditemukan adanya penurunan produksi, terdapat tanda-tanda yang jelas akan sakit atau diketahui adanya peningkatan jumlah kematian, dan atas permintaan klien. Pada umumnya ada 2 macam cara nekropsi yaitu : (1). Seksi lengkap, dimana setiap organ / jaringan dibuka dan diperiksa. (2) seksi tidak lengkap, bila kematian / sakitnya hewan diperkirakan menderita penyakit yang sangat menular/ zoonosis ( anthrax, AI, TBC, hepatitis dsb ). Nekropsi harus dilakukan sebelum bangkai mengalami autolisis, jadi sekurang-kurang 6 – 8 jam setelah kematian. Dengan adanya studi lapangan diharapkan mahasiswa dapat mendapat gambaran, pengetahuan, serta wawasan sehingga dapat menerapkan ilmu yang sudah didapat di bangku kuliah untuk dipraktikkan di lapangan 1.1 Tujuan • Mengetahui cara dan teknik nekropsi pada sapi perah • Dapat mendiagnosa dengan teknik diagnosis standart (diagnosa klinik) terhadap kasus di lapangan (Greenfield). • nekropsi untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa 1.2 Manfaat • Dapat mengerti, memahami dan menjelaskan kasus yang ditemui saat praktikum di lapangan (Greenfield). BAB II PEMBAHASAN 2.1 Signalemen, Foto Kejadian dan Diagnosis Waktu kejadian dan nekropsi 7 Desember 2012 • Ras : Friesien Holstein • Jenis Kelamin : Betina • Warna : Hitam dan putih • Umur : ±2 tahun • Buntung 225 hari • Masa kering : 5 Desember ’12 • 2 kali bunting Dari foto-foto kejadian dan anamnesa kami mendiagnosis bahwa sapi yang dinekropsi mengalami abnormalitas paru penyakitnya yaitu emphysema dan ateletaxic. Hemmoragic abomasum dan intestinal penyakitnya enterotoxemia 2.2 Record / Catatan medis : 1. Anamnesa, meliputi : nama hewan, alamat , tanggal, waktu kematian, sejarah penyakitnya ( berapa lama, gejala klinis, pengobatan, vaksinasi, angka kematian dsb ), data laboratorium bila ada misal : pemeriksaan darah, urine , feces dsb. 2. Signaleman: identitas hewan ( ras, bangsa , jenis kelamin, umur, warna bulu ). 3. Gejala klinis: yang terjadi selama sakit/ sebelum mati ( diare, muntah, lesu, nafsu makan dsb) Pemeriksaan secara umum sebelum dilakukan bedah bangkai : Kondisi umum : keadaan kulit / bulu, lubang alami , adanya ekto parasit, warna mukosa, dsb. Pemeriksaan keadaan luar secara umum : jenis hewan, kelamin, umur, keadaan gigi, kondisi, kulit. Selaput mukoso mata, rongga mulut, bawah lidah. Telinga, leher, perut, bagian dalam paha kemungkinana adanya vesikel, atau lesi yang lain. Persendian, telapak kaki, pangkal ekor, sekitar anus, dan alat kelamin serta ambing. 2.2.1 Tempat , untuk melakukan seksi, tempat harus dibersihkan a. sehat, dekat dengan air yang. memadai / mengalir dan dekat dengan tempat untuk mengubur. 2.2.2 Peralatan Nekropsi dapat dilakukan sekalipun dengan alat yang minimal (seadanya), yaitu: • Dibutuhkan pisau (4-6 inchi), • pemotong tulang, • gunting jaringan (biasanya digunakan scalpel tajam-tumpul), • pinset, • gloves, • spuit disposable (3cc dan 5cc), • needle (20G, 1 inchi untuk koleksi sampel darah vena sayap, dan 1 ½ inchi untuk koleksi sampel darah dari jantung), • sanitizer untuk membersihkan peralatan dan meja, Untuk keperluan pemeriksaan jaringan, diperlukan: • 10 persen larutan buffer formalin netral, • black marker • kertas label. 2.3 Metode Nekropsi Pada Ruminansia A. Persiapan Sebelum pedah bangkai: 1. Anamnesa, meliputi: Jenis hewan, Mati atau dibunuh, Jumlah hewan sakit, gejala klinis, umur hewan,diagnose sementara, populasi hewan 2. Pemeriksaan luar, meliputi: kondisi kulit, kelamin, selaput lender (mata, mulut, hidung), kepala, leher, perut, paha, telapak kaki, ceracak, kelanjar mamae, dubur dsb. B. Cara Bedah Bangkai Pada Ruminansia 1. Amati keadaan umum hewan saat masih hidup 2. Euthanasi dengan dekapitasi 3. Rebahkan kiri left lateral rekumbency dengan kepala di sebelah kiri secan 4. Buat irisan dari mandibula sampai arcus ischiadichuis, hindari ambing dan penis /irisan kulit digaris median tubuh mulai dari leher, dada, perut 5. Lepaskan keempat tungkai (kaki) dari tubuh dengan cara membuat irisan pada ketiak dan dilipat paha sambil mematahkan sendi pangkal paha. Dengan demikian hewan lebih mudah terlentang. 6. Kuliti bagian ventral dan lateral , amati jaringan otot dan kelenjar limfe bawah kulit 7. Membuga rongga perut • Sayat otot sepanjang garis median perut (peritoneum ditusuk), • iris menyamping mulai dari ujung proc. Xipoideus mengikuti tulang rusuk terakhir sampai ditepi muka panggul. • Buat irisan tegak lurus terhadap irisan memanjang yang pertama, diantara tulang rusuk terakhir dan tubercoxae. • Potong otot dinding perut dan dilepaskan. • Selanjutnya amati diafragma, peritoneum dan organ viscera hewan, letak alat-alat tubuh di dalam rongga perut) 8. Membuka rongga dada • Periksa diafragma (normal: melengkung kearah rongga dada) • Dinding rongg dada ditusuk diantara dua tulang rusuk • Potong costae pada daerah costochondral kanan dan kiri • Iris muskulus. Intercostalis • Patahkan costae satu per satu • Dinding thorak di buka • Periksa rongga dada dengan memeriksa adanya cairan di dalamnya • Amati letak organ 9. Mengeluarkan isi rongga dada • Isi rongga dada (jantung, paru2) dikeluarkan bersama-sama dengan lidah dan trachea • Keluarkan lidah, tulang lidah dipotong pada sendi rawan0 • Trachea dilepaskan dari pertautan otot2 leher dan esophagus • Aorta dipotong pada tempat ia menyilang esophagus, kerongkongan dikeluarkan dan dipotong dipertengahan leher • Paru-paru dilepaskan, mulut dari belakang vena cava dipotong • Paru2, jantung trachea dan lidah dikeluarkan bersama • Pada dugaan pneumonia dilakukan uji apung pada paru-pari • Periksa keadaan dan isi pericardium (pembungkus jantung) • Amati jantung (normal: ujng meruncing), bandingkan dengan besar hewan 10. Mengeluarkan isi rongga perut • Keluarkan usus dengan mengikat ganda rectum dan potong di antara kedua ikatan itu • Duodenum diikat kembar pada 2 tempat yaitu: di muka dan belakang lengkungan S (keluarkan bersama hati) • Setelah keluar lepaskan dari mesenterium (penggantung usus) dan dibuka • Lepaskan mesenterium dan kelenjar limfenya • Keluarkan keempat bagian lambung beserta esophagus dan limpa dari lambung besar ( letak limpa: sebelah kiri rumen) • Permulaan esophagus di ikat • Buka perut (dari rumen, reticulum, omasum, abomasums) periksa kemungkinan adanya cacing 11. Mengeluarkan oragan uropoetika • Angkat organ urogenital dengan mengangkat ginjal beserta bagian bagian lain secara bersamaan, begitu pula dengan ovarium, uterus,dll. 12. Periksa semua organ secara makroskopis 13. Buat potongan tiap-tiap organ 1cm x 1cm x 1cm 14. Masukkan ke dalam formalin 10% 2.4 Enterotoksemia Kasus enterotoksemia pada sapi perah di Indonesia disebabkan oleh Cl.perfringens tipe A dan C. Bakteri Cl.perfringens sebenarnya merupakan bakteri yang normal, komensal hidup di dalam saluran pencernaan hewan sehat. Dalam keadaan tertentu bakteri ini dapat tumbuh, berkembangbiak dan menghasilkan toksin. Enterotoksemia bersifat akut, dengan gejala klinis spesifik yang terkadang tidak tampak nyata. Karena kelainan patologis-anatomisnya tidak menciri, maka penyakit ini mudah dikelirukan dengan penyakit lain seperti misalnya hipomagnesemia, yang juga memperlihatkan gejala mati mendadak, dan adanya perdarahan pada epikardial dan endokardial. Diagnosis dilakukan dengan mengamati gejala klinis, dan mengirim sampel usus, cairan tubuh dan bahan lain yang dicurigai kelaboratorium bakteriologi. Sampel jaringan organ harus sudah diperiksa dalam waktukurang dari sehari guna menghindari diagnosis yang keliru. Pengobatan untuk infeksi dan intoksikasi yang disebabkan oleh Cl. perfingens seperti pemberian antibiotika atau kemoterapetika, kurang memberikan hasil yang berarti atau tidak efektif. Dalam banyak kasus, periode berlangsungnya penyakit dapat demikian singkat, sehingga pengobatan tidak sempat untuk dilakukan. Pengobatan yang efektif tentunya dengan pemberian antitoksin spesifik sesuai dengan tipe Cl. perfringens penyebab penyakit. Tetapi, pemberian antitoksin dalam jumlah besar tentunya sangat mahal dan tidak efisien untuk dilakukan. Karena kerugian ekonomi yang besar akibat kematian sapi yang disebabkan oleh enterotoksemia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan penyakit yang selalu menyerang hewan atau sapi yang dalam kondisi terbaiknya. Di luar negeri, seperti di Australia, Amerika, dan negara-negara di Eropa, pencegahan penyakit dengan vaksinasi sudah rutin dilakukan. Tetapi hal ini belum umumdilakukan di Indonesia karena kurangnya pengetahuan mengenai keberadaan dan patogenesis penyakit ini. Dalam tulisan ini akan dikemukakan kasus enterotoksemia yang terjadi pada sapi perah di Indonesia (Kalender et al., 2007). 2.4.1 Agen Penyebab dan Faktor Enterotoksemia disebabkan oleh berbagai tipe Cl perfringens toksigenik (dulu disebut Clostridium welchii). Cl. perfringens adalah bakteri yang secara normal ada dalam saluran pencernaan hewan sehat. Bakteri ini bersifat oportunis, dan akan berkembang sesuai dengan keadaan induksemangnya. Berbagai toksin dari Cl. perfringens adalah toksin alfa (phospholipase C yang bersifat lethal dan necrotizing), toksin beta (bersifat lethal dan necrotizing), toksin epsilon yang bersifat lethal dan necrotizing, toksin iota yang bersifat lethal dan necrotizing toxin dengan aktifitas ADP ribosylating, dan enterotoxin yangbersifat lethal, dan emetic protein yang dapat ditemukan pada sel bakteri yang bersporulasi (Levett, 1991). 2.4.2 Gejala Klinis dan Perubahan Gejala klinis yang dapat diamati pada hewan yang terserang enterotoksemia adalah kembung, kesakitan di daerah abdomen, konstipasi atau diare berdarah, konvulsi, hewan terjatuh, susah bernafas, akhirnya mati mendadak . Gejala yang spesifik pada sapi perah dewasa adalah: tiba-tiba hewan menjauhi makanan, tidak ada nafsu makan sama sekali. Susu yang dihasilkan sedikit atau tidak ada susu sama sekali. Hewan merasa sakit di bagian abdomennya dan terlihat adanya gejala kembung. Adanya perdarahan pada usus menyebabkan kotoran yang keluar sangat sedikit kadang berdarah. Pada anak sapi, Cl. perfringens tipe A, biasanya menyebabkan gejala kembung dengan kesakitan dan depresi. Nafsu makan juga tidak ada dan kematian dapat cepat terjadi karena ulcer dalam abomasum, peradangan dan penimbunan gas. Cl. perfringens tipe C menyebabkan necrotic enteritis pada sapi baru lahir. Biasanya anak sapi dapat mati sebelum terjadi diare. Gejala yang dapat dilihat berupa depresi, lemah, kembung dan kesakitan. Cl. perfringens tipe E juga dapat menyebabkan enteritis pada anak sapi (Songer dan Miskimins, 2004). Dalam kasus enterotoksemia, kondisi hewan yang mengalami perubahan/kelainan adalah pada saluran usus dan organ-organ parenkhim. Hasil pemeriksaan patologis menunjukkan perubahan menyolok seperti pada usus kecil ditemukan enteritis hemoragika yang parah. Pada abomasum, omasum, reticulum, usus besar, rektum dan sekum juga terlihat mukosa hiperemis. Mukosa saluran pernafasan yang sianosis, paru-paru mengalami oedema, berisi cairanserofibrinous. Jantung membesar, terkadang ditemukan perdarahan titik pada epi dan endocardial. Daerah ventral perut umumnya hiperemis (Kalender et al., 2007). Dari pemeriksaan histopatologis, terlihat adanya pembendungan pada paru-paru. Ada infiltrasi limfosit pada usus halus dan pada mukosa usus dapat ditemukan bakteriberbentuk batang dan bersifat Gram positif. Terlihat juga adanya pembengkakan lapisan rumen dan abomasum, disertai ulserasi dan hemoragis. Pada usus besar terlihat nekrosis fokal dari lapisan otot halus dengan adanya infiltrasi netrophil, makrofag dan limfosit. Selain itu, ada degenerasi sel otot dengan vakuolisasi dan nekrosis dan adanya bakteri berbentuk batang dan Gram positif. Pada hati terlihat adanya nekrosis degeneratif dan vakuolisasi dari hepatocytes. Limpa memperlihatkan hemosiderosis berat. Limfoglandula menunjukkan adanya hipertrofi dan peningkatan jumlah sel reticuloendothelial. Ginjal menunjukkan adanya degenerasi parenkhim dari tubuli renali. 2.4.3 Diagnosis Diagnosis dilakukan berdasarkan pada hasil pengamatan gejala klinis, perubahan patologis dan konfirmasi hasil isolasi dan identifikasi bakteri penyebab dan toksin yang dapat ditemukan pada isi usus dan cairan tubuh hewan yang mati. Diagnosis penyakit umumnya didasarkan adanya penemuan toksin penyebab penyakit serta isolasi agen penyakit. Hal ini umumnya masih dirasakan sulit bagi laboratorium penyakit hewan di Indonesia. Selain itu spesimen atau sampel yang diambil harus masih segar atau kurang dari 18 jam setelah kematian hewan. Dalam keadaan terpaksa, spesimen dapat diawetkan dengan gliserin 50% dan disimpan dalam keadaan dingin. Untuk melakukan isolasi Cl perfringens, suspensi sampel mukosa usus diinokulasi ke dalam Robertson’s cooked meat medium (RCMM). Suspensi juga ditanam pada blood agar dan diinkubasi dalam anaerobic jar. Identifikasi Cl. perfringens secara cepat dapat dilakukan dengan teknik Fluorescent Antibody Technique (FAT). Sampel diperiksa di bawah mikroskop fluorescent dan dapat dilihat bakteri berbentuk batang yang bersinar hijau. Adanya toksin dari Cl. perfringens dapat diuji dengan menggunakan mouse protection test. Mencit dapat dilindungi dari kematian dengan memberikan antitoksin yang spesifik. Dari uji ini dapat diketahui juga tipe dari Cl perfringens yang menyebabkan kematian. Uji enterotoksin Cl. perfringens juga dapat dilakukan dengan uji aglutinasi lateks sederhana. Uji dilakukan dalam microplate (96 lubang, bentuk U). Suspensi cairan usus dalam NaCl fisiologis dengan perbandingan 1:1 disentrifus. Supernatan dari suspensi diencerkan secara seri kelipatan dua dengan AMP buffer [0.2 M 2-amino-2-methyl (1-propanol) hydrochloride] dan dimasukkan dalam lubang microplate sebanyak 25 μl per lubang. Sebanyak 25 μl partikel lateks yang sudah disensitisasi dengan antibodi terhadap toksin alfa Cl. perfringens dicampur dengan enceran suspensi di atas. Campuran diinkubasi pada suhu ruang semalam. Kandungan toksin ditetapkan sebagai enceran tertinggi yang masih memberikan reaksi aglutinasi. 2.4.4 Pencegahan Penyakit Vaksinasi untuk pencegahan terhadap enterotoksemia termasuk dalam program kesehatan preventif sapi perah. Vaksinasi pertama harus diulang dengan selang waktu 4 minggu. Sapi perah dalam masa kering kandang adalah saat yang tepat untuk melakukan vaksinasi. Pemberian kolostrum pada anak sapi yang baru dilahirkan juga sangat berguna untuk pencegahan enterotoksemia pada anak sapi. Vaksinasi pada sapi dara berumur 4 sampai 6 bulan dengan vaksin clostridium yang multivalen dan dibooster 1 bulan kemudian merupakan awal pencegahan penyakit. Vaksinasi ulangan sebaiknya diberikan setiap tahun sesudahnya. Untuk pencegahan penyakit secara keseluruhan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. 1. Perlakukan pemberian pakan dengan komposisi bahan pakan yang konsisten dan lakukan adaptasi sebelum dilakukan perubahan pakan. 2. Lakukan vaksinasi secara teratur 3. Untuk pemberian silase, perhatikan ukuran panjang rumput, lama penyimpanan dan fermentasi. 4. Hindarkan terjadinya acidosis rumen. 5. Berikan kolostrum dan sediakan air minum yang cukup (terutama pada anak sapi). 6. Kendalikan sumber infeksi saluran pencernaan lainnya. 2.5 Emfisema Pulmonum Emfisema paru-paru adalah keadaan di mana paru-paru mengalami distensi yang abnormal yang disebabkan rupturnya dinding alveoli dengan atau tanpa disertai lolosnya udara ke jaringan interstisial sehingga menyebabkan berkurangnya ruang udara dan sulit bernapas (Blood, 1963). Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru, yang disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal, sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli), membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap. Emfisema paru-paru adalah keadaan pembesaran paru-paru yang disebabkan oleh menggembungnya alveoli secara berlebihan yang disertai atau tanpa disertai robeknya dinding alveoli tergantung dengan kerusakan alveoli. Udara pernafasan akan terdapat di dalam rongga jaringan interstitial atau tetap berada di dalam rongga alveoli saja. Proses dapat berjalan secara akut maupun kronik. Secara umum, emfisema paru-paru ditandai dengan dipsnoea ekspiratorik, hyperpnoea dan mudahnya penderita mengalami kelelahan (Subronto, 2003). Jenis emfisema berdasarkan lokasi kerusakan: • Centriacinar emfisema adalah salah satu jenis emfisema paru-paru yang ditandai dengan pembesaran rongga udara di bagian proksimal acinus, terutama pada tingkat bronchiolus repiratorius. • Distal acinar emfisema adalah salah satu jenis emfisema paru-paru yang terbatas pada ujung distal alveolus di sepanjang septum interlobularis dan di bawah pleura membentuk bula. • Panacinar emfisema adalah satu jenis emfisema paru-paru yang ditandai dengan pembesaran rongga udara yang relatif seragam di seluruh acinus.Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khas nya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini sering timbul pada hewan dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin • Irregular emfisema adalah kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus. Menurut lokasi timbunan udaranya, kita mengenal dua jenis emfisema yaitu emfisema alveolaris dan emfisema interstisialis. Emfisema alveolaris adalah jenis emfisema yang timbunan udaranya masih tertimbun di dalam alveoli. Emfisema interstitialis adalah keadaan emfisema di mana dinding alveoli sudah robek lalu udara yang terjebak tadi lepas ke ruang interstisial pulmo yang ada di antara alveolus. Emfisema interstisial ini, jika berlanjut, akan berkembang menjadi emfisema subkutan 2.5.1 Etiologi Emfisema paru-paru primer dapat disebabkan oleh trauma yang langsung mengenai dada hingga sampai ke paru-paru. Tidak menutup kemungkinan, emfisema paru-paru diikuti oleh emfisema subkutan di sebagian besar tubuh. Emfisema primer jarang sekali terjadi terutama pada ternak besar karena paru-paru ternak dilindungi oleh tulang iga dan otot-otot yang kuat (Subronto, 2003). Emfisema sekunder seringkali terjadi pada sebagian besar ternak. Emfisema sekunder merupakan kejadian lanjutan dari penyakit saluran pernafasan dan radang paru-paru, misalnya pneumonia suppurativa, pneumonia verminosa, pneumonia interstisial, bronchitis dan bronchiolitis. Kuda tua yang dirawat di kandang terus-menerus dengan kualitas pakan yang jelek dan berdebu maka mudah menderita emfisema alveolaris yang kronik tanpa diketahui sebab-sebabnya (heaves). Alergen yang tidak tersifat seperti debu kandang, spora jamur dan sebagainya akan dapat memudahkan timbulnya emfisema bagi hewan-hewan yang peka (Subronto, 2003). Emfisema paru-paru mungkin dapat timbul sebagai lanjutan dari perubahan patologis di luar alat pernapasan yang disertai toksemia, misalnya mastitis yang disebabkan oleh E.coli. Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan pada alveoli. Jika suatu peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang akan merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli. Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang memegang peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase. Ada suatu penyakit keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana hewan tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin, sehingga emfisema terjadi pada usia muda Pada sapi, emfisema bisa merupakan lesi karena pneumonia atipikal, pneumonia parasiter dan bisa juga dikarenakan anafilaksis (reaksi hipersensitifitas). Bentuk emfisema yang paling biasa terjadi pada hewan adalah emfisema alveolaris kronis atau pada kuda sering disebut heaves. Penyebab utamanya kurang diketahui namun penyakit ini sering sekali terjadi pada kuda dewasa yang diberi pakan dengan kadar serat kasar yang rendah secara berkepanjangan dan semakin parah jika makanan berdebu. Emfisema ini juga umum terjadi pada kuda yang dikandangkan di gudang untuk periode yang lama (Blood, 1963). Emfisema akut terjadi karena perforasi (perlubangan) pulmo oleh karena adanya benda asing yang menusuk atau menyebabkan trauma. Kasus ini sering disebut Reticuloperitonitis Traumatik. Contoh kejadiannya adalah pada sapi atau kuda yang menelan benda tajam seperti paku secara tidak sengaja (Blood, 1963). Pada pemeriksaan mikroskopis biasanya ditemukan perubahan menahun dalam paru-paru antara lain : Proliferasi epitel dan propia mukosa bronkhus dan bhonkioli, Hipertropi jaringan otot bronkhus, bhronkhioli pembuluh darah, Penambahan jaringan limfoit dan penebalan septa alveoli karena jaringan ikat (Ressang ,1984) 2.5.2 Patogenesis Alveolus berkembangkempis sejak lahir sesuai batas elastisitas dindingnya. Pengembangan alveoli yang berlebihan dalam waktu lama, misal oleh batuk paroxysmal dan kronik, akan mengakibatkan penurunan elastisitas alveoli. Adanya stenosis saluran pernafasan, udara tidak dapat dikeluarkan semua, hingga terjadi kenaikan tekanan intra alveolar. Tekanan intra alveolar meningkat pada suatu ketika mencapai batas maksimum hingga alveoli akan dapat pecah dan mengakibatkan emfisema interstisial. Penurunan elastisitas yang berlebihan akan menyebabkan emfisema alveolaris. (Subronto, 2003). Emfisema terjadi pada bagian paru-paru yang normal sebagai kompensasi atas ketidakmampuan untuk berfungsi dari bagian paru-paru yang lain, misalnya karena abses, oedema, dan bronchopneumonia. Penurunan elastisitas bronchiol dan alveoli mungkin disebabkan oleh toksin yang dihasilkan kuman tertentu. Kelemahan dinding alveoli udara ekspirasi harus dikeluarkan dengan usaha yang lebih besar dari normalnya, hingga terlihat dispnoea yang bersifat ekspiratorik. Kadang-kadang ditemukan ekspirasi ganda (dobel) ditandai dengan berkontraksinya otot perut secara berlebihan. Robeknya alveoli diikuti robeknya kapiler disekitarnya, hingga titik-titik darah sering ditemukan bersama lendir atau dahak yang keluar(Subronto,2003) 2.5.3 Gejala Klinis Pada umumnya gejala-gejala pada keadaan akut maupun kronik adalah sama,kecuali dalam derajat dispnoea yang tampak. Dalam keadaan akut, emfisema terjadi secara mendadak dengan dispnoea yang sangat meskipun penderita sedang istirahat. Usaha untuk memompa keluar udara pernafasan tampak dari pernafasan abdominal yang menonjol. Ekspirasi dilakukan lebih lama dan pada akhir ekspirasi udara didorong lebih keras ,sehingga sering terlihat ekspirasi ganda (dobel). Oleh kontraksi otot-otot perut pada kuda tua kandang juga terlihat keluarnya sebagian anus waktu ekspirasi. Derajat hipermi dari mukosa mata bervariasi. Dalam keadaan berat mukosa nampak siatonik. Titik-titik darah sering dijumpai, dikeluarkan bersama ingus atau dahak yang dibatukkan . Pada emfisema kuda yang dikenal sebagai “heaves” batuk bersifat kering, pendek-pendek dan segera meningkat bila dibawa berlari sebentar saja, batuk juga timbul apabila daerah tenggorok ditekan, atau bila hewan ditempatkan pada kandang yang berdebu akan segera merangsang terjadinya batuk. Pemeriksaan secara auskultasi pada kuda akan terdengar suara krepitasi. Pada sapi daerah yang mengalami proses emfsema suara vesikuler hilang sama sekali,tinggal suara bronchial, friksi dan krepitasi. Pemeriksaan secara perkusi akan dijumpai di daerah perkusi paru-paru yang meluas ke belakang 2-3 rusuk. Daerah pekak jantung kadang berkurang atau hilang sama sekali. Suara timpani akan terdengar dari sebagian besar daerah perkusi. Auskultasi pada jantung akan terdengar suara yang teredam. Penderita emfisema paru-paru yang kronik biasanya jadi kurus. (Subronto, 2003) 2.5.4 Diagnosis 1. Diagnosis Umum. Pada saat auskultasi akan terdengar suara krepitasi atau sibilant dan hal ini sering terjadi pada sapi. Sementara pada kuda, kita akan sering mendapatkan suara friksi (Subronto, 2003) 2. Pemeriksaan Patologi Klinik. Karena tertahannya CO2 dalam darah akibat kegagalan eliminasi oleh sistem pernafasan, maka tubuh mengkompensasi meningkatkan cadangan alkali. Polisitemia (peningkatan jumlah total sel-sel darah) sebagai kompensasi kekurangan O2 juga bisa terjadi. Polisitemia dapat dilihat melalui metode hematokrit. (Blood, 1963) 3. Pemeriksaan Nekropsi Paru-paru akan terlihat membesar dan pucat dan dapat terlihat adanya jejak (imprints) dari tulang iga pada pulmo. Pada kasus emfisema interstisial, septa interalveolar akan mengalami pengembungan (distensi) karena udara yang terjebak dan perubahan ini dapat meluas ke bagian atas yaitu ke lapisan bawah pleura atau lapisan atas pleura. Hal ini yang menyebabkan timbulnya suara krepitasi, sibilant dan friksi pada saat kita melakukan auskultasi. Hasil pemeriksaan nekropsi lainnya yang dapat terlihat adalah adanya bukti gagal jantung kongestif. Jantung akan terlihat berwarna merah kehitaman. Pemeriksaan histopatologis akan menunjukan adanya ruptur alveoli dan terjadinya bronchiolitis. 2.5.5 Terapi dan Pengobatan • Obat-obat yang telah diujikan dalam praktek : kortikosteroid, antihistaminika, ekspektoransia, bronchodilatator dan antibiotika. Bronchodilatator dapat mengurangi kejang otot, misalnya agonis reseptor beta-adrenergik (albuterol inhaler) dan theophylline per-oral (melalui mulut) yang diserap lambat. kortikosteroid dapat mengurangi peradangan. • Tidak ada pengobatan terpercaya yang dapat mengurangi kekentalan lendir sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk. Tetapi menghindari dehidrasi bisa mencegah pengentalan lendir. Minum cairan yang cukup untuk menjaga air kemih tetap encer dan bening. • Untuk kuda yang diperlukan tenaganya seperti kuda pacu, kuda tarik, kuda beban dapat dikatakan harapan untuk sembuh tidak ada. Jadi dapat dialihfungsikan sebagai pemacak jikabelum terlalu tua. • Dengan pemberian istirahat sebanyak-banyaknya, ditemapatkan dalam kandang yang luas, bersih dan ventilasi yang baik. •Diberikan makanan yang berkualitas baik dan tidak berdebu. • Jika tidak ada kontraindikasi dapat diberikan preparat boroglukonat 24-38% sebanyak 100-200 ml secara IV agar dapat memperkuat pembuluh darah dalam paru-paru. • Apabila perubahan klinisnya belum terlalu jauh, emfisema yang bersifat kompensatorik dapat sembuh jika penyakit primernya dapat diatasi. • Dapat juga diberikan oksigen yang akan mengurangi kelebihan sel darah merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam darah, memperbaiki gagal jantung, juga bisa memperbaiki sesak nafas selama beraktivitas dan atropine untuk mengurangi hipoksia. • Sapi atau kuda tua yang menderita emfisema kronik sebaiknya dipotong saja. 2.5.6 Pencegahan • Hewan yang sudah tua dirawat di kandang yang bersih dan sekali-kali dikeluarkan. 2. Hewan diberi pakan berkualitas baik dan tidak berdebu. • Kebersihan kandang dijaga dari debu dan spora jamur. • Polusi udara umumnya diberi batasan sebagai udara yang mengandung satu atau lebih zat kimia dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan harta benda 2.6 Atelektasis Atelektasis adalah suatu kondisi di mana paru-paru tidak dapat mengembang secara sempurna.Atelektasis disebut juga Kolapsnya paru atau alveolus. Alveolus yang kolaps tidak mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan pernafasan berkurang. Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Jadi, atelektasis merupakan suatu keadaan kolaps, dimana paru-paru tidak dapat mengembang secara sempurna, tepatnya pada alveolus/alveoli paru yang tidak mengandung udara. 2.6.1. Klasifikasi Atelektasis Klasifikasi atelektasis dibagi menjadi 2, yaitu : a. Atelektasis Obstruktif (resorbsi) Terjadi karena obstruksi total saluran napas sehingga udara tidak dapat masuk ke parenkim distal, akibatnya oksigen yang terjerat akan diabsorbsi di dalam alveoli. Jaringan paru yang terkena atelektasis akan kolaps, tetapi aliran darah melalui jaringan ini tidak terganggu. Kemudian semenjak volume paru mengecil, maka mediastinum akan tertarik ke arah jaringan paru yang mengalami atelektasis. Secara prinsip, atelektasis resorpsi disebabkan oleh : 1) Sekresi berlebihan misalnya gumpalan lendir, atau eksudat dalam bronkioli dan sering ditemukan pada penyakit asma bronkial, bronkitis kronik, bronkiektasis, dan keadaan-keadaan post operasi. 2) Aspirasi benda-benda asing 3) Neoplasma di dalam saluran bronkial dapat menyebabkan obstruksi subtotal. b. Atelektasis Kompresi Yaitu atelektasis yang terjadi akibat penekanan terhadap substansi paru. Dapat terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan eksudat cairan, darah, tumor, atau udara (pneumotoraks), atau dengan pneumotoraks ‘tension’ bilamana tekanan udara masuk dan mengancam fungsi paru-paru serta mediastinum. Bentuk atelektasis kompresi biasanya dijumpai pada penyakit payah jantung dengan efusi pleura, dan pada penderita yang mengalami efusi pleura akibat mengidap penyakit neoplasma (tumor). Selain itu, pada penyakit peritonitis atau abses subdiafragma daoat menyebabkan diafragma terangkat ke atas dan mencetuskan terjadinya atelektasis basal. Pada atelektasis kompresi mediastinum bergerak menjauhi atelektasis. 2.6.2 Etiologi Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan bronkus. Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan mengalami infeksi. Atelektasis merupakan suatu akibat dari kelainan paru yang dapat disebabkan : a. Bronkus tersumbat Penyumbatan bisa berasal didalam bronkus (tumor bronkus, benda asing, cairan sekresi yang massif) dan penyumbatan bronkus akibat penengkanan dari luar bronkus akibat penengkanan dari luar bronkus (tumor sekitar bronkus, kelenjar membesar). b. Tekanan ekstrapulmoner Biasanya disebabkan oleh pneumothoraks, cairan pleura, peninggian diafragma, herniasi alat perut kedalam rongga thoraks, dan tumor intra thoraks tepe ekstrapulmuner (tumor mediastinum). c. Paralisis atau paresis gerak pernapasan, Menyebabkan perkembangan paru yang tidak sempurna, misalnya pada kasus poliomiolitis dan kelainan neurologic lainya. Gerak nafas yang tergangu akan mempengaruhi kelancangan pengeluaran secret bronkus dan ini menyebabkan penyumbatan bronkus yang berakhir dengan memperberat keadaan atelektasis. d. Hambatan gerak pernapasan Kelainan pleura atau trauma toraks yang menahan rasa sakit. Keadaan ini juga akan menghambat pengeluaran secret bronkus yang dapat memperhebat terjadinya atelektasis. Atelektasis seharusnya dapat dibedakan dengan pneumothoraks. Walaupun kolaps alveolar terdapat pada kedua keadaan tersebut, penyebab kolapsnya dapat dibedakan dengan jelas.Atelektasis timbul karna alveoli menjadi kurang berkembang atau tidak berkembang, sedangkan pneumothoraks timbul karena udara masuk kedalam rongga pleura. Pada kebanyakan pasien, pneumothoraks tidak dapat dicegah dengan perawatan yang tepat. 2.6.3 Manifestasi Klinik Menurut Paula Krisanti (2009), tanda dan gejala yang timbul pada penyakit atelectasis adalah : a. Dyspnea berat. b. Sianosis. c. Nyeri dada. d. Takikardi. e. Dapat mengeluh napas pendek, sesak dan kelemahan. f. Ansietas g. Pemeriksaan auskultasi menunjukkan penurunan bunyi napas. 2.6.4 Patofisiologi Pada atelektasis absorpsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan.Udara yang sudah terdapat dalam alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan alveolus kolaps. Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau ekstrinsik.Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh secret atau eksudat yang tertahan.Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh pembesaran kelenjar getah benih. Mekanisme pertahanan fisiologik yang bekerja mempertahankan sterilitas saluran nafas bagian bawah bertindak mencegah atelektasis dengan menghalangi terjadinya obstruksi. Mekanisme-mekanisme yang beperan yaitu silia yang dibantu oleh batuk untuk memindahkan sekret yang berbahaya ke dalam faring posterior. Mekanisme lain yang bertujuan mencegah atelektasis adalah ventilasi kolateral. Hanya inspirasi dalam saja yang efektif untuk membuka pori-pori Kohn dan menimbulkan ventilasi kolateral ke dalam alveolus disebelahnya yang mengalami penyumbatan (dalam keadaan normal absorpsi gas ke dalam darah lebih mudah karena tekanan parsial total gas-gas darah sedikit lebih rendah daripada tekanan atmosfer akibat lebih banyaknya O2 yang diabsorpsi ke dalam jaringan daripada CO2 yang diekskresikan). 2.6.5 Pemeriksaan Penunjang Menurut Paula Krisanti (2009), pemeriksaan penunjang yang muncul pada pasien atelektasis yaitu : a. Pemeriksaan diagnostik 1) Radiologi Konvensional Pemeriksaan X – Ray terlihat paru menyusut. 2) Computed Tomography Scan (CT-SCAN) a. Pemeriksaan laboratorium Analisa Gas darah : Po2 : 35 mmHg Pco2 : 49 mmHg Pemeriksaan Sputum : BTA ( + ) 2.6.6 Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa dilakukan : a. Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena kembali bisa mengembang b. Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya c. Latihan menarik nafas dalam ( spirometri insentif ) d. Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak e. Postural drainase f. Antibiotik diberikan untuk semua infeksi g. Pengobatan tumor atau keadaan lainnya h. Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena mungkin perlu diangkat. Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya. Penatalaksaan Atelektasis meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut: 1. Medis a. Pemeriksaan bronkoskopi b. Pemberian oksigenasi c. Pemberian terapi simtomatis (anti sesak, bronkodilator, antibiotik dan kortikosteroid) d. Fisioterafi (masase atau latihan pernapasan) e. Pemeriksaan bakteriologis 2. Keperawatan a. Teknik batuk efektif b. Pegaturan posisi secara teratur c. Melakukan postural drainase dan perkusi dada d. Melakukan pengawasan pemberian medikasi secara teratur 2.6.7 Komplikasi Pada pasien yang mengalami penyakit atelektasis sering kali dapat menimbulkan beberapa penyakit, diantaranya: a. Pneumothoraks Pneumothoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura di mana masukan udara ke dalam rongga pleura, dapat dibedakan menjadi pneumothorak spontan, udara lingkungan keluar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka tusuk, misalnya udara melalui mediastinum yang disebabkan oleh trauma. b. Efusi pleura Atelektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan fibrosis dan juga atelektasis dapat menyebabkan pirau (jalan pengalihan) intrapulmonal (perfusi ventilasi) dan bila meluas, dapat menyebabkan hipoksemia BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Autopsi atau nekropsi untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa pada beberapa sebab penyakit atau kematian dari seekor hewan. Biasanya untuk melengkapi hasil diagnosa yang akurat harus ditunjang dengan hasil pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti bakteriolagi, virology, parasitologi, patologi klinik, toxicology dsb. Nekropsi tidak akan dapat mengungkapkan semua penyebab dari suatu penyakit , penyebab kejadian suatu penyakit, kebanyakan berhubungan dengan manajemen, termasuk pemenuhan nutrisi yang buruk, kekurangan pakan dan minum, ventilasi yang tidak mencukupi, sanitasi yang buruk, unggas mengalami kedinginan atau kepanasan, dan populasi yang berlebihan. Nekropsi seringkali dilakukan untuk dapat mengidentifikasi proses penyakit infeksius, defisiensi nutrisi, keracunan, penyakit parasitik, dan tumor. Nekropsi (pemeriksaan postmortem) dilakukan untuk menentukan kausa penyakit dengan melakukan diskripsi lesi makroskopis dan mikroskopis dari jaringan dan dengan melakukan pemeriksaan serologis dan mikrobiologis yang memadai. Pemeriksaan postmortem dilakukan bila ditemukan adanya penurunan produksi, terdapat tanda-tanda yang jelas akan sakit atau diketahui adanya peningkatan jumlah kematian, dan atas permintaan klien. DAFTAR PUSTAKA Blood, DC, JA Henderson.1963.Veterinary Medicine Second Edition.The Williams and Wilkins Company:Baltimore Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995 Kalender, H., A. Kilic, and E. ATH. 2007. Enterotoxaemia in a cow due to Clostridium perfringens type A. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 31(1):83-84. Levett, P.N. 1991. Anaerobic Microbiology. A Practical Approach. Oxford University Press, New York. Price A. Sylvia & Lorraine M. Wilson.2006. Patofisologi edisi 6,vol.2. Penerbit buku kedokteran.EGC.Jakarta. Somantri Irman.2008. keperawatan medikal badah:asuhan keperawatan dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta. Salemba medika Songer, J. G. and D. Miskimins. 2004. Clostridium perfringens type E Enteritis in calves: two cases and brief review of the literature. Anaerobe 10:239-242. Subronto.2003.Ilmu Penyakit Ternak 1.Gadjah Mada University Press:Yogyakarta Suzanne C. Smeltzer &Brenda G. Bare.2001.buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8 vol.1. penerbit buku kedokteran:EGC.Jakarta

2 komentar:

  1. nice post, coba lebih dirapihin lagi penggalan paragrafnya biar pembaca enak bacanya :)

    BalasHapus
  2. yes benar kami juga aga bingun ini bagaimana dibacanya tapi bagus sangat membantu buat referensinya

    BalasHapus