Minggu, 13 Januari 2013

PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN di KLINIK PENDIDIKAN PKH UB

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diagnostik klinik merupakan ilmu yang mempelajari teknik diagnosis standard dari suatu penyakit berdasarkan pada pemahaman terhadap normal atau abnormalnya parameter patofisiologi yang dapat diidentifikasi dari tubuh dengan menggunakan teknik-teknik diagnosa standard. Teknik-teknik diagnosis standard haruslah dipahami secara benar agar mahasiswa dapat menetapkan diagnosis secara akurat dari suatu penyakit berdasarkan perubahan-perubahan parameter patofisiologis yang dapat diidentifikasi melalui teknik-teknik diagnosis standard secara holostik dan terintegrasi. Mata kuliah ini merupakan gerbang untuk menuju pada terjaminnya kompetensi dan profesionalisme mahasiswa Kedokteran Hewan sebagai seorang praktisi Dokter Hewan. Tanpa pemahaman yang benar terhadap materi-materi perkuliahan ini maka kompetensi dan profesionalisme seorang dokter hewan sebagai praktisi di Bidang Kedokteran Hewan akan sulit terwujud. Dengan adanya studi lapangan diharapkan mahasiswa dapat mendapat gambaran, pengetahuan, serta wawasan sehingga dapat menerapkan ilmu yang sudah didapat di bangku kuliah untuk dipraktikkan di lapangan. 1.2 Tujuan 1.2.1 Dapat melakukan teknik diagnosis standart terhadap kasus di lapangan. 1.2.2 Dapat mendiagnosa dengan teknik diagnosis standart (diagnosa klinik) terhadap kasus di lapangan. 1.2.3 Dapat mengerti, memahami dan menjelaskan kasus yang ditemui saat praktikum di lapangan. 1.3 Manfaat 1.3.1 Mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dengan keadaan di lapangan sehingga memberikan gambaran dan wawasan bagaimana bekerja di masyarakat BAB II PEMBAHASAN 2.1 Signalemen dan Diagnosis 2.1.2 Kasus 1 Hewan : Kucing Angora Nama : Noah Suhu Badan : 38,1° C Berat Badan : 4,5 kg Gejala : Saat Kencing terlihat kesakitan, Disuria Terapi : Vitamin C dalam bentuk tablet diminum sehari ¼ bagian Ne Phrolit sehari 2 kali No VIII. Diagnosa : Feline Urologic Syndrome (FUS) 2.1.2 Kasus 2 Hewan : Kucing Angora Nama : Bronies Grey Umur : 1 bulan Gejala : diare berdarah, muntah, ada jamur di badan Diagnosa : Feline Panleukopenia 2.2 Feline Urologic Syndrome (FUS) Feline Urologic Syndrome (FUS) atau Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD) adalah suatu kondisi dimana terdapatnya bentukan kristal yang menyumbat saluran urinasi bagian bawah seperti vesica urinaria, bladder sphincter, dan uretra, sehingga kucing mengalami kesulitan urinasi. Kondisi ini sering terjadi pada kucing muda, bisa jantan ataupun betina, namun lebih sering terjadi pada kucing jantan (Roger et al., 2004). 2.2.1 Gejala Klinis a. Disuria b. Depresi c. Lemah d. Muntah e. Nafsu makan menurun f. Biasanya disertai cystitis, infeksi saluran urinaria bagian bawah, adanya sumbatan (debris dan kristal membentuk sumbatan di urethra), uremia (akumulasi produk toksik seperti nitrogen dan kreatinin dalam aliran darah) g. Hematuria (adanya darah dalam urine) h. Polliuria (peningkatan frekuensi urinasi) i. Urinasi tidak pada tempatnya (tidak di litter box) j. Sering menjilati daerah genital. k. Kesakitan ketika urinasi (Nelson et.al., 2003). 2.2.2 Patogenesis Sel tubuh memproduksi berbagai zat seperti nitrogen dan kreatinin dari hasil metabolisme, yang dibuang ke aliran darah lalu dibawa ke ginjal kemudian difiltrasi seperti halnya garam dan mineral. Materi yang telah difilter kemudian dibawa ke vesica urinaria. Pakan kering, dengan air minum yang kurang, dapat menyebabkan pH urin lebih tinggi atau lebih rendah daripada biasanya. Pada kondisi tersebut, kristal dapat terbentuk, yang kemudian dapat menyumbat uretra, dan menghambat urinasi. Karena ginjal memompa zat tersebut ke vesica urinaria, maka vesica urinaria akan terisi. Normalnya, kucing urinasi beberapa hari sekali. Vesica urinaria yang bersifat elastik dapat menampung urin dengan volume yang lebih. Setelah 24-36 jam, vesica urinaria akan terisi dengan sempurna. Pada saat itulah, toksin mulai menggangu filtrasi ginjal. Pada saat ginjal berhenti memfilter darah, toksin akan memenuhi aliran darah (Anonim, 2007). 2.2.3 Diagnosis Diagnosis dapat dilakukan dengan (Gerber, 2009) : I. Anamnesa (perubahan lingkunagn, pakan, stress) II. Gejala klinis, pemeriksaan fisik (palpasi abdomen: FUS → jika dipalpasi terasa sakit) III. Analisis urin 1. Pemeriksaan visual a. Pemeriksaan turbiditas (cloudnes / kekeruhan) b. warna urin → normal : kuning , bersih ; abnormal : keruh, tercampur darah bila berbusa ada masalah di hati pink, biru karena pengaruh obat 2. Specific Gravity (SG) Untuk mengukur seberapa baik ginjal mampu mengkonsentrat urin dan jumlah zat yang terlarut dalam urin. Tes ini digunakan untuk mengukur berat urin disbanding dengan jumlah airnya. Bila SG urin naik, menunjukkan bahwa terdapat banyak materi padat yang terlarut dalam urin. 3. Dipstik analisis Tes kimia berupa strip yang digunakan untuk mengukur /melihat darah, glukosa, protein, bilirubin, dan keton dalam urin. 4. White Blood Cell (pyuria) Dalam keadaan normal tidak ditemukan WBC, namun bila ditemukan adanya WBC dalam urin dapat diindikasikan terjadinya infeksi pada saluran urinasi, sakit ginjal, atau kanker. 5. Red Blood Cell (hematuria) Sama halnya dengan WBC, dalam keadan normal RBC tidak ditemukan dalam urin. Bila ditemukan RBC dalam urin, kemungkinan terjadi radang, penyakit atau luka pada ureter, vesica urinaria, atau uretra. 6. Protein (proteinuria) Pada keadaan normal tidak ada. Protein pada dilute urin lebih signifikan daripada concentraled urin. Hasil ini akan berhubungan dengan SG dan mengindikasikan terjadinya radang, hemoraghi atau penyakit ginjal. 7. Glukosa (glukosuria) Glukosa merupakan tipe gula yang ditemukan dalam darah, bila terdapat glukosa dalam urin mengindikasikan adanya penyakit diabetes. 8. Bilirubin (bilirubinuria) Bilirubin merupakan orange-bile-pigmen yang dibentuk dihati, yang kemudian dieksresikan melalui urin. Bila terlalu banyak terdapat bilirubin mengindikasikan adanya hepatitis/hemolisis (destruksi RBC), penyakit ginjal, FIP, Feline hepatic lipidosis. 9. Keton Keton normalnya tidak terdapat dalam urin. Seperti halnnya glukosa, keton diproduksi dari pemecahan lemak untuk kemudian diubah menjadi energi. Namun bila terdapat keton dalam urin, mengindikasikan adanya penyakit diabetes, ketoacidosis/insuficien food intake/malnutrisi. 10. pH urin normal pH urin adalah 6-7. Namun semua tergantung dari diet, obat-obatan serta penyakit, umumnya pH urin kucing bersifat asam. 11. Pemeriksaan mikroskopik Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pengambilan sample urin yang disentrifus (sedimentasi urin) kemudian dilihat sedimennya dengan menggunakan mikroskop untuk melihat adanya Crystal, RBC, WBC, bakteri, jamur, cast. a. Cast (cylinduria) Bentukan siindris dari mukoprotein yang beku dalam tubulus renalis. Dibentuk karena bedatipe material termasuk RBC, WBC, lemak, renal tubulus epithelial cell cast / protein. b. Crystal (crystaluria) Dalam pemeriksaan urin dapat ditemukan beberapa tipe crystal yang berbeda, namun yang paling umum adalah crystal stuvit, dan calcium oxalate. c. Bakteri Bila dalam pengambilan sample urin yang dilakukan secara steril terdapat bakteri dalam jumlah banyak, mengindikasikan adanya infeksi pada vesica urinaria. Cara pengambilan sample urin 1. Cateterisasi 2. Cystocentesis untuk mengkultur urin, Dengan menggunakan spuit melalui dindding abdominal untuk mendapatkan sample steril langsung dari bladder. d. Free catched Pengambilan sample langsung saat kucing urinasi, namun kemungkinan kontaminasi tinggi. 12. Abdominal ultra sounds 13. Pemeriksaan Cystoscopy atau endoscopic pada urethra dan bladder 14. Bladder biopsy 2.2.4 Terapi dan Pencegahan a. Terapi cairan (subkutan atau intravena) dapat membantu jika terjadi dehidrasi. Selain itu terapi cairan juga dapat menyebabkan produksi urin lebih cair, membantu eliminasi dari debris radang dan kristal. Cairan infus yang perlu diberikan ialah larutan ringer laktat 5% dengan dosis 20 – 40 cc/kgBB/hari. Bila kucing banyak muntah (karena sudah terjadi uremia/gagal ginjal), maka cairan yang diberikan ialah ringer dextrose 5% (Merck, 2005). b. Antibiotik, jika disertai dengan infeksi bakteri c. Obat tambahan , seperti tranquilizer, anti-inflammatory agents dan analgesik (pain killers) (Merck, 2005). d. Kateterisasi Sebelum dipasang kateter, dapat dianastesi terlebih dahulu, kemudian masukan kateter kecil yang dimasukkan ke uretra untuk menghilangkan sumbatan, kemudian ke vesica urinaria untuk mengeluarkan sumbatan (Merck, 2005). e. Tindakan operatif (Nash, 2008) 1. Cystotomy (Pembukaan kandung kemih) Operasi cystotomy dilakukan dengan membuka abdomen dibagian ventral kemudian membuka vesica urinaria (kandung kemih). Batu/kristal diambil dari dalam kandung kemih kemudian dijahit kembali. Setelah operasi, kateter masih perlu dipasang selama 4-5 hari untuk mencegah kemungkinan penyumbatan oleh bekuan darah. Pemberian antibiotik secara parenteral atau peroral perlu diberikan selama ±6 hari. Untuk mencegah agar kateter tidak dicabut oleh kucing, maka perlu dilakukan pemasangan Elizabeth collar. Tindakan penanganan yang dilakukan ini mempunyai successful rate kurang lebih 90%, apabila fungsi kedua ginjal masih baik. Untuk mengeluarkan batu/kristal yang ada di uretra maka perlu membuka uretra (urethrotomy) dimana batu berada. Jika terpaksa harus melakukan cystotomy dan urethrotomy, maka urethrotomy didahulukan. Setelah kateter bisa masuk ke dalam vesika urinaria, baru dilakukan cystotomy. 2. Urethrotomy Urethrotomy dilakukan apabila batu atau kristal tidak berhasil dimasukkan ke dalam vesika urinaria menggunakan kateter. Biasanya urethrotomy dilakukan pada kucing jantan dengan menguakkan preputium ke arah kaudal terlebih dahulu sebelum melakukan sayatan pada penis bagian ventral tepat dimana batu atau kristal berada. Keberadaan batu atau kristal tadi dapat dideteksi dengan menggunakan kateter atau sonde yang panjang. Setelah batu atau kristal diketahui posisinya, maka dilakukan sayatan pada uretra kemudian batu atau kristal tersebut dikeluarkan. Selanjutnya, kateter dimasukkan sampai ke dalam vesika urinaria, lalu sayatan dijahit. 2.2.5 Pencegahan a. Diet rendah Mg. b. Hindari obesitas. c. Litter box yang bersih dan mudah dijangkau, agar kucing mau urinasi. d. Beri minum ad libitum. 2.3 Feline Panleukopenia Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit menular nonzoonosis pada kucing, dengan nama lain Feline distemper, Infectious enteritis, Cat fever, Cat typhoid. FPL merupakan penyakit yang menyerang segala umur kucing dan dapat menimbulkan banyak kematian kucing terutama pada anak kucing dapat mencapai kematian 75%. Anak kucing, kucing sakit dan kucing rumahan yang tidak divaksin adalah lebih rentan tertular dibandingkan dengan kucing tua yang biasanya lebih tahan karena mempunyai kekebalan bawaan atau sudah berulang kali terinfeksi. Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit fatal pada kucing muda, yang hampir sama seperti distemper pada anjing. Penularan dari kucing ke kucing selain melalui fecal-oral dapat juga melalui muntahan, urin, leleran mata ataupun leleran hidung (CSIZA et al., 1971). 2.3.1 Etiologi Panleukopenia adalah penyakit serius yang cukup berbahaya pada kucing. Penyakit ini diakibatkan oleh virus kelompok parvovirus termasuk Famili Parvoviridae, yang merupakan non enveloped single stand DNA virus. Virus panleukopenia memiliki ukuran 18-22nm. Pada kucing yang terinfeksi Feline Panleukopenia, Angka kematian berkisar antara 25 sampai 85% pada kucing yang belum divaksinasi. Penyakit Panleucopenia sangat mudah menular ke kucing lain. Virus panleukopenia kucing resisten terhadap alkohol, fenol, eter,amonium kuartener, yodium dan kenaikan suhu. Virus dapat dimatikan dengan larutan formaldehida atau chlorin dan air yang mendidih. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang menyerang jaringan pembentuk darah dan limfe, dan juga mukosa organ gastro intestinal sehingga menyebabkan penurunan jumlah leukosit dan enteritis. Virus banyak ditemukan pada urin dan feses (Bodeus et al., 1988). 2.3.2 Proses penularan Penyakit Panleucopenia menular melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui air liur, air kencing, muntah dan melalui kotoran kucing yang terinfeksi. Anak kucing yang baru dilahirkan juga dapt terinfeksi penyakit Panleucopenia apabila induknya ketika bunting mengidap virus panleukopenia Virus panleucopenia dapat bertahan cukup lama di luar tubuh kucing. Penularan terbesar terjadi melalui kontak dengan kandang, lantai atau peralatan makan dan minum kucing yang tercemar virus dan tidak dibersihkan dengan desinfektan yang sesuai. Virus masuk ke tubuh kucing biasanya melalui mulut, berkembang di kelenjar pertahanan di bagian mulut, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Kemudian virus akan berkembang di beberapa organ seperti kelenjar pertahanan seluruh tubuh, sumsum tulang dan selaput lendir usus yang menyebabkan hancurnya usus (Goddard et al., 1990). 2.3.3 Gejala klinis Kucing yang terinfeksi virus panleucopenia akan mengalami anemia, demam yang sangat tinggi, anoreksia, dehidrasi atau penurunan jumlah sel darah putih yang sangat tajam, muntah-muntah dan diare yang parah pada kucing,nafsu makan berkurang yang mengakibatkan dehidrasi dan kematian. Kadang-kadang anak kucing dapat mati secara tiba tiba yang diakibatkan perkembangan penyakit panleukopenia sangat cepat. Pada anak kucing yang baru lahir virus menyerang perkembangan cerebellum sehingga menyebabkan neurogical abnormalitas (HOSOKAWA et al., 1987). 2.3.4 Diagnosis Diagnosa Virus panleukopenia diberdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan patologi dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan diagnosa pasti. Diagnosis penyakit FPL dapat dilakukan berdasarkan sejarah penyakit, gejala klinis, isolasi dan identifikasi virus serta pemeriksaan serologik. Virus FPL dapat tumbuh secara efisien pada biakan sel lestari ginjal, organ paru-paru, lidah kucing dibandingkan dengan pada biakan sel lain seperti yang berasal dari biakan sel organ anjing (TRUYEN dan PARRISH,1992). Pemeriksaan serologik untuk mengetahui ada atau tidaknya antibodi terhadap virus FPL didalam serum, pada saat ini sering menggunakan teknik haemagglutinationinhibition (HI) dan atau menggunakan serum neutralization test (SNT) teknik mikro (JOO et al., 1975). 2.3.5 Diferensial diagnosa Felv, E.colli, Salmonella, Tyzzer (Bodeus et al., 1988). 2.3.6 Pengobatan Kucing yang terserang penyakit Virus panleukopenia dapat diberikan cairan elektrolit. Sedangkan untuk mengobati infeksi sekunder dapat diobati dengan pemberian gentamisin dan pemberian vitamin B complex (CSIZA et al., 1971). 2.3.7 Pencegahan Pencegahan Virus panleukopenia yaitu dengan melakukan vaksinasi secara teratur, anak kucing dapat divaksinasi pada umur 8-16 minggu dengan interval 4 minggu. Setelah itu vaksinasi dianjurkan diulang setiap tahun. Pada kucing dewasa atau berumur lebih dari 6 bulan yang belum pernah divaksinasi, vaksinasi bisa dilakukan tiap tahun (HOSOKAWA et al., 1987). BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Diagnostik klinik merupakan ilmu yang mempelajari teknik diagnosis standard dari suatu penyakit berdasarkan pada pemahaman terhadap normal atau abnormalnya parameter patofisiologi yang dapat diidentifikasi dari tubuh dengan menggunakan teknik-teknik diagnosa standard. Feline Urologic Syndrome (FUS) atau Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD) merupakan suatu kondisi dimana terdapatnya bentukan kristal yang menyumbat saluran urinasi bagian bawah seperti vesica urinaria, bladder sphincter, dan uretra, sehingga kucing mengalami kesulitan urinasi. Kondisi ini sering terjadi pada kucing muda, bisa jantan ataupun betina, namun lebih sering terjadi pada kucing jantan. Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit menular nonzoonosis pada kucing, dengan nama lain Feline distemper, Infectious enteritis, Cat fever, Cat typhoid. FPL merupakan penyakit yang menyerang segala umur kucing dan dapat menimbulkan banyak kematian kucing terutama pada anak kucing dapat mencapai kematian 75%. Anak kucing, kucing sakit dan kucing rumahan yang tidak divaksin adalah lebih rentan tertular dibandingkan dengan kucing tua yang biasanya lebih tahan karena mempunyai kekebalan bawaan atau sudah berulang kali terinfeksi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Feline Urologic Syndrome. http://www.uvhberkeley.com/index. php?Page=fus, diakses 7 Desember 2012. Bodeus, M., C. cambioso, MM. Surleraux and G. Burtonboy. 1988. A Latex Agglutination Test for the detection of Canine Parvo virus and corresponding antibodies J. of Virol. Methods 19: 1−12. Csiza, c.k. Scott, A. Delahunta and J.H. Gillespie. 1971. Immune Carrier State of Feline Panleukopenia Virus-Infected Cats. Am. J. Vet. Res.32(3): 419−426. Duncan, R.J.C 1988. The use of ELISA for Rapid Viral Diagnosis. Antibody Detection. In: ELISA and Other Solid Phase Immunoassays. Theoritical and Practical Aspects. KEMENEY, D.M. and S.J. CHALLACOMBE. (Ed.). John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane. Toronto. Singapore. For Essay of Porcine Parvovirus Antibody. Arch. Virol. 47: 841−844. Gerber, B. (2009). Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD). IVIS, Italy. Goddard, R.D., R.A.J. Nicholas and P.R. Luff 1990. Inactivated canine parvovirus vaccines: An alternative method for assessment of potency. Vet. Rec. 126: 497−499. Hosokawa S., S. Ichijo and H. Goto (1987). Clinical, Hematological and Pathological Findings in Specific Pathogen-Free Cats Experimentally Infected with Feline Panleukopenia Virus. Jpn. J. Vet. Sci.49(1): 43−50. Joo, H.S., C.R. Donaldson-Wood and R.H. Johnson 1975. A Microneutralization Test Merck, 2005. The Merck Veterinary Manual, Ninth Edition, National Publishing, Inc. Philadelphia. Nash, H. 2008. Urine Crystals and Bladder Stones in Cats: Formation, Diet and other Treatment. http://www.peteducation.com/article.cfm?c=1+2243+ 2244&aid=2660, diakses 7 Desember 2012. Nelson, R.W. and Couto, C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine 3rd Edition, Mosby Inc. Missoury, London. Roger A.H., Dennis J.C., Stephen P.B. 2004. Recent Concepts in Feline Lower Urinary Tract Disease. Veterinary Clinics Small Animal Practice. p:35(2005)147–170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar