Minggu, 13 Januari 2013

LAPORAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN KURBAN ANTEMORTEM DAN POSTMORTEM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemeriksaan hewan kurban meliputi pemeriksaan kesehatan dan umur hewan. Hewan kurban harus benar-benar dalam keadaan sehat dan layak untuk disembelih, di antaranya harus cukup umur, sudah ganti gigi, tidak cacat dan dalam kondisi sehat. Selain itu, pemeriksaan hewan juga untuk mencegah penyebaran penyakit hewan seperti anthrax. Pemeriksaan hewan kurban dibagi dalam dua tahap yakni pemeriksaan antemortem yaitu pemeriksaan fisik luar hewan sebelum dilakukan pemotongan, dan posmortem yaitu pemeriksaan bagian dalam hewan sesudah pemotongan. Hewan yang sehat secara klinis, yakni tidak cacat, hidung normal, mata normal, jantung dan paru-paru juga normal.. Sementara itu, untuk pemeriksaan postmortem dilakukan dengan sasaran pemeriksaan meliputi kondisi hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan organ bagian dalam hewan. Apabila ditemukan kelainan-kelainan dan ada cacing hati maka organ tersebut harus disingkirkan, karena tidak layak untuk dikonsumsi. Dalam rangka melakukan pemeriksaan kesehatan hewan kurban yang aman bagi masyarakat. Pemeriksaan antemortem dan postmortem sangat penting untuk dilaksanakan agar daging kurban yang dibagikan dimasyarakat terjamin keamanan dan kesehatannta dari penyakit zoonosis. 1.1 Tujuan 1.1.1 Untuk mengetahui cara pemeriksaan antemortem dan postmortem pada pemeriksaan hewan kurban 1.1.2 Untuk mengetahui penyakit-penyakit apa saja yang ada pada sapi dan kambing pasca pemeriksaan ante mortem dan post mortem 1.1.3 Untuk memeriksa kelayakan hewan kurban tersebut untuk konsumsi 1.1.4 Untuk mengetahui tata cara pengambilan sampel dan pengiriman sampel 1.2 Manfaat 1.2.1 Mendapatkan ilmu dan wawasan tentang pemeriksaan dan jenis jenis penyakit pasca pemeriksaan antemortem dan postmortem 1.2.2 Mencegah adanya penyakit zoonosis dari hewan kurban ke masyarakat 1.2.3 Mengerti dan melakukan pengambilan sampel dan pengiriman sampel BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kesehatan Hewan Kurban Pemeriksaan kesehatan ini dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga terlatih dibawah pengawasan dokter hewan . Tahapan ini dimaksudkan untuk menyingkirkan (mengeliminasi) kemungkinan-kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari hewan ke manusia. Proses ini juga bermanfaat untuk menjamin tersedianya daging dan produk ikutannya dengan mutuyang baik dan sehat. Dua tahap proses pemeriksaan kesehatan hewan yaitu pemeriksaan ante mortem dan pemeriksaan pos mortem. Pemeriksaan ante mortem dilakukan sebelum hewan dipotong atausaat hewan masih hidup. Sebaiknya pemeriksaan ante mortem dilakukan sore atau malamhari menjelang pemotongan keesokan harinya. Pemeriksaan pos mortem dilakukan setelah hewan dipotong (Hayati dan Choliq, 2009). 2.1 Pemeriksaan Ante Mortem Pemeriksaan antemortem meliputi pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan perilaku dilakukan pengamatan dan mencari informasi dari orang yang merawat hewan kurban tersebut. Hewan yang sehat nafsu makannya baik, hewan yang sakit nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan sehat nafasnya teratur, bergantian antara keempat kakinya. Pincang, loyo dan tidak bias berjalan menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya lancer tanpa menunjukkan gejala kesakitan. Konsistensi kotoran (feses) padat (Hayati dan Choliq, 2009). Pemeriksaan Fisik dilakukan pemeriksaan terhadap suhu tubuh (temperatur), menggunakan termometer badan ( digital atau air raksa ), suhu tubuh normal sapi berkisar antara 38,5°C - 39,2°C. Bola mata bersih, bening, dan cerah. Kelopak mata bagian dalam (conjunctiva) berwarna kemerahan (pink) dan tidak ada luka. Kelainan yang biasa dijumpai pada mata yaitu adanya kotoran berlebih sehingga mata tertutup, kelopak mata bengkak, warna merah, kekuningan ( icterus) atau cenderung putih (pucat). Mulut dan bibir, bagian luar bersih, mulus, dan agak lembab. Bibir dapat menutup dengan baik. Selaput lender rongga mulut warnanya merata kemerahan (pink), tidak ada luka. Air liur cukup membasahi rongga mulut. Lidah warna kemerahan merata, tidak ada luka dan dapat bergerak bebas. Adanya keropengdi bagian bibir, air liur berlebih atau perubahan warna selaput lendir (merah, kekuningan atau pucat) menunjukkan hewan sakit. Hidung, Tampak luar agak lembab cenderung basah. Tidak ada luka, kotoran, leleran atau sumbatan. Pencet bagian hidung, apabila keluar cairan berarti terjadi peradangan pada hidung. Cairan hidung bisa bening, keputihan, kehijauan, kemerahan, kehitaman atau kekuningan. Kulit dan bulu, bulu teratur, bersih, rapi, dan mengkilat. Kulit mulus, tidak ada luka dan keropeng. Bulu kusam tampak kering dan acak-acakan menunjukkan hewan kurang sehat. Kelenjar getah bening, kelenjar getah bening yang mudah diamati adalah yang berada di daerah bawah telinga, daerah ketiak dan selangkangan kiri dan kanan. Apabila ada peradangan kemudian membengkak tanpa diraba akan terlihat jelas pembesaran di daerah dimana kelenjar getah bening berada. Daerah anus, bersih tanpa ada kotoran, darah dan luka. Apabila hewan diare, kotoran akan menempel pada daerah sekitar anus (Hayati dan Choliq, 2009). 2.2 Pemeriksaan Post Mortem Setelah hewan dipotong (disembelih) dilakukan pemeriksaan postmortem dengan teliti pada bagian-bagian sebagai berikut: Karkas, Karkas sehat tampak kompak dengan warna merah merata dan lembab. Bentuk-bentuk kelainan yang sering dijumpai bercak-bercak pendarahan, lebam-lebam dan berair. Paru-paru, paru-paru sehat berwarna pink, jika diremas terasa empuk dan teraba gelembung udara, tidak lengket dengan bagian tubuh lain, tidak bengkak dengan kondisi tepi-tepi yang tajam. Ditemukan benjolan-benjolan kecil padaparu-paru atau terlihat adanya benjolan-benjolan keputihan (tuberkel) patut diwaspadai adanya kuman tbc. Jantung, ujung jantung terkesan agak lancip, bagian luarnya mulus tanpa ada bercak-bercak perdarahan. Jantung dibelah untuk mengetahui kondisi bagian dalamnya. Hati, warna merah agak gelap secara merata dengan kantong empedu yang relative kecil. Konsistensi kenyal dengan tepi-tepi yang cenderung tajam. Kelainan yang sering ditemui adalah adanya cacing hati (Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica pada sapi). Limpa, ukuran limpa lebih kecil daripada ukuran hati, dengan warna merah keunguan. Pada penderita anthrax keadaan limpa membengkak hebat. Ginjal, kedua ginjal tampak luar keadaannya mulus dengan bentuk dan ukuran relatif semetris. Adanya benjolan, bercak-bercak pendarahan, pembengkakan atau perubahan warna merupakan kelainan pada ginjal. Lambung dan usus bagian luar dan bagian dalam tampak mulus. Lekukan-lekukan bagian dalamnya teratur rapi. Penggantung usus dan lambung bersih Tidak ditemukan benda-benda asing yang menempel atau bentukan-bentukan aneh pada kedua sisi lambung dan usus. Pada lambung kambing sering dijumpai adanya cacing yang menempel kuat berwarna kemerahan (Soedarto, 2003). 2.2 Gambar Pemeriksaan Post Mortem 2.2.1 Pneumonie A. Warna abnormal, jejas nekrose pada sebagian pulmo B. Terjadinya proses peradangan 2.2.2 Fasciolosis a. pada duktus terdapat manifestasi fasiola hepatica b. manifestasi kerusakan bagian hepar c. Nekrose dan jejas 2.3 Pneumonia Pneumonia atau pneumonitis adalah suatu peradangan pada paru-paru terutama pada bagian parenkhim paru. Kondisi ini mengakibatkan adanya gangguan fungsi sistem pernafasan (Fincher, et al., 1956). Radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim yang dapat berlangsung baik akut maupun kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal pada waktu auskultasi, dyspnoe dan kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh berbagai agen etiologi, radang yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan terjadinya toksemia. Secara patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang bronchus hingga terjadi bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan. 2.3.1 Etiologi Faktor-faktor pengelolaan peternakan dan lingkungan hewan sangat berpengaruh terhadap terjadinya radang paru-paru pada suatu peternakan. Cara-cara pemeliharaan seperti penempatan hewan yang selamanya hanya dikandang saja, tempat yang lembab atau berdebu, ventilasi udara yang jelek, penempatan hewan dari berbagai umur dalam satu tempat, jumlah hewan yang berlebihan dalam satu kandang, hewan yang berdesak-desakan (over crowding), pemasukan hewan-hewan yang tidak beraturan, merupakan faktor-faktor yang mendukung terjadinya pneumonia (Fincher, et al., 1956). Selain itu, adanya radang seperti radang pada bronkhus (bronkhitis) juga dapat bertindak sebagai penyebab pneumonia. Terlebih sebagian besar kejadian pneumonia pada hewan asalnya bersifat bronchogenik (adanya benda-benda asing yang masuk kedalam atau melalui bronkhus), tetapi beberapa dapat berasal dari rute hematogenik (via darah). Pada lingkungan yang jelek sering terjadi infeksi bakteri Pasteurela sp dan Streptococcus sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada hewan biasanya bersifat akut. Pada kultur paru-paru hewan yang sudah mati disebabkan pneumonia sering dijumpai adanya bakteri Corynobacterium pyogenes, Hemolytic staphylococci dan Pseudomonas aeruginosa. Etiologi kejadian pneumonia sangat beragam. Penyakit pneumonia pada sapi dapat diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya, parasit metazoa (metazoan parasites) dan agen-agen fisik/kimia lainnya. Adapun spesifitas agen penyebab tersebut adalah : • Virus : Infectious Bovine Rhinotracheitis, Malignant Catharhal Fever, Bovine Fever, Bovine Herpes V-4, Adenovirus, Parainfluenza-3, Bovine respiratory Virus, Bovine Virus Diarrhea-Mucosal Disease, Rhino-virus, Rota-virus. • Bakteri : Pasteurella multocida,Pasturella hemolitica, Streptococcus sp, Mycobacterium tuberculosa, Corynobacterium pyogenes, Hemophilus somnus • Jamur: Chlamydia psittaci • Mycoplasma: Mycoplasma mycoides, Mycoplasma dispar, Mycoplasma bovis • Parasit: Dictocaulus viviparus 2.3.2 Patogenesa Agen-agen infeksi memasuki jaringan paru-paru secara inhalasi, hematogen atau limfogen. Berat ringan proses radang tergantung pada jenis, virulensi, dan jumlah agen infeksi yang berhasil memasuki jaringan. Infeksi secara hematogen dan limfogen menyebabkan terbentuknya foci-foci radang yang letaknya tersebar pada berbagai lobus paru-paru. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh bakteri Pasteurela sp dan Mycoplasma sp sedangkan yang disebabkan jamur atau bakteri Mycobacterium sp kebanyakan bersifat kronis dengan pembentukan granuloma. Sedangkan agen infeksi yang disebabkan oleh viral berlangsung subklinis yang memerlukan faktor lain dalam patogenesisnya yaitu dengan kerja sama dengan bakteri patogen lain maupun pengelolaan peternakan dan lingkungan yang jelek. Radang paru-paru akan menyebabkan terjadinya hipoksia karena terjadi ganguan pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Kompensasi dari hal tersebut hewan akan meningkatkan frekuensi dan intensitas pernafasan. Karena adanya rasa sakit ketika bernafas disebabkan meningkatnya kepekaan jaringan yang mengalami radang pernapasan berlangsung cepat dan dangkal. Adanya hiperemi, paru-paru akan mengalami pemadatan, konsolidasi yang dalam keadaan lanjut terjadi pemadatan yang berkonsistensi seperti hati ( hepatisasi). Pada uji apung jaringan yang berkonolidasi akan melayang ataupun tenggelam. Adanya eksudat pada saluran pernafasan akan menyebabkan batuk bagi jaringan yang peka, karena eksudat ini bila dilakukan auskultasi akan terdengar suara ronchi basah dan hilangnya suara vesikuler. Selain itu pernafasan yang normalnya tipe kostoabdominal akan berubah menjadi tipe abdominal (Hayati dan Choliq, 2009). Hampir semua kejadian pneumonia berawal dari mekanisme pertahanan paru-paru. Dibawah kondisi yang normal, aliran udara utama dan parenkhim paru-paru mencegah masuknya agen yang berbahaya, menetralisir serta menyingkirkannya, sehingga paru-paru mengandung sedikit, jika ada, organisme yang sampai ke bagian ujung paru-paru. Beberapa infeksi alat respirasi berasal dari partikel debu yang membawa agen infeksi dimana keluar/masuk paru-paru. Untuk terjadinya suatu infeksi melalui rute aerosol, agen penyebab infeksi harus bersifat mudah dibawa oleh udara (aerosolized), tahan di udara, dapat ditempelkan pada dinding alat respirasi dari induk semang yang peka, dan kemudian memperbanyak diri. Jadi patogenesa dari infeksi penyakit respirasi terkait dengan deposisi partikel dan agen infeksi dalam alat respirasi. Di bawah kondisi normal suatu mekanisme pertahanan biokimiawi, fisiologis dan immunologis secara kompleks melindungi alat pernafasan dari partikel masuk, yang mungkin bersifat melukai atau infeksius. Mekanisme pertahanan utama alat respirasi meliputi filtrasi aerodynamika oleh rongga hidung, bersin, refleks laryngealis, refleks batuk, mekanisme transport mucociliary makrofag alveolar dan sistem antibodi sistemik maupun lokal. Selain itu, gambaran anatomis dan fisiologis dari sistem respirasi sapi memungkinkan adanya predisposisi terhadap berkembangnya penyakit paru-paru dibandingkan hewan lainnya. Sapi secara fisiologis mempunyai kapasitas pertukaran gas yang kecil dan aktifitas tekanan ventilasi basal lebih besar. Kapasitas pertukaran gas yang kecil menyebabkan sapi mendapatkan tingkat oksigen alveolar dan bronchial rendah selama berada pada dataran tinggi dan selama periode aktifitas fisik/metabolik. Pada saat itu, tekanan oksigen rendah atau hypoxia mungkin memperlambat aktifitas mucociliary dan makrofag alveolar dan menurunkan kecepatan proses pembersihan paru-paru (Subronto 2003). Paru-paru sapi juga mempunyai tingkat pembagian ruangan yang lebih besar dari pada hewan lain. Hal ini memungkinkan terjadinya hypoxia perifer pada jalannya udara sehingga jalannya udara menjadi terhambat. Hal ini mengakibatkan penurunan aktifitas fagositosis dan retensi multifikasi agen-agen infeksius. Disamping itu, karena makrofag alveolar jumlahnya rendah pada paru-paru sapi, maka mekanisme pembersihan paru-paru tidak seefektif hewan lain. Demikian pula tingkat atypical bioactivity dari lysozyme mukus respirasi pada sapi yang rendah, memungkinkan sapi lebih mudah menderita infeksi saluran pernafasan dibandingkan spesies hewan lainnya. 2.3.3 Gejala klinis Pada awalnya radang paru-paru ( pneumonia ) didahului gejala hiperemi pulmonum, diikuti dyspnoe, frekuensi nafas 40-80 kali permenit, tipe nafas bersifat abdominal, napasnya mula-mula dangkal kemudian dalam, batuk, setelah berlangsung beberapa hari muncul leleran pada hidung, pulsus 60-90 kali per menit, demam ( suhu 42ÂșC ) kenaikan suhu tubuh ini sejalan dengan reaksi tubuh dalm memobilisasi sel-sel darah putih dan berlangsungnya seperti antigen-antibodi. Pada inspeksi terkadang tercium bau abnprmal dari pernapasan penderita. Bau busuk ( halitosis, foxtor ex ero ) dapat berasal dari runtuhan sel atau dari produk bakteri penyebab pneumonia. Bau busuk selalu ditemukan pada radang paru-paru yang disertai ganggren. Pada auskultasi daerah paru-paru akan terdengar berbagai suara abnormal. Terdengar suara bronchial ( rhonci basah ) yang seharusnya suara vesicular disebabkan alveoli terisi cairan radang. Pada pemeriksaan perkusi pada daerah paru-paru tidak ditemukan adanya perubahan pada batas-batas daerah perkusi. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi mulai dari agak pekak pada daerah yang mengalami hiperemi sampai pekak total pada daerah yang mengalami hepatisasi. Pada sapi perah terjadi penurunan produksi susu bahkan sering sekali produksi susu terhenti sama sekali. Penderita tampak lesu, malas berbaring, gelisah, kehilangan nafsu makan dan minum, depresi, terkadang pernapasan dengan mulut, konstipasi dan oligouria. Gejala klinis terjadinya pneumonia pada sapi adalah respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan), tidak selalu ditandai dengan kenaikan suhu/demam karena kenaikan suhu tubuh berlangsung sejalan dengan reaksi tubuh dalam memobilisasi sel darah putih dan berlangsungnya reaksi antigen-antibodi. Pada pneumonia yang telah berjalan cukup lama (kronis) tidak disertai dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto 2003). Pada pemeriksaan auskultasi, daerah paru-paru akan terdengar suara abnormal. Karena alveol berisi cairan radang, pada saat inspirasi suara bronchial lebih kecil atau sama dengan suara vesikular. Pada pemeriksaan secara perkusi, tidak ditemukan batas-batas yang jelas pada gema perkusinya. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi. Selain itu, pada perkembangan lebih lanjut, pada sapi yang sedang produksi akan mengalami penurunan produksi atau produksi air susu akan terhenti sama sekali, hewan lesu, malas, berbaring dan kehilangan nafsu makan dan minum (Subronto 2003). 2.3.4 Diagnosa Didasarkan pada: a. Gejala Klinis Diagnosa pneumonia didasarkan atas gejala klinik yang terlihat dan dilengkapi dengan pemeriksaan secara auskultasi, perkusi dan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan foto rontgent. Untuk mengetahui etiologi atau agen penyebab pneumonia perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis berupa pemeriksaan sputum atau leleran hidung atau swab trakheal (Subronto 2003). b. Pemeriksaan hematologi Pemeriksaan ini untuk melihat gambaran sel darah putih dan jika memungkinkan dapat pula dilakukan pemeriksaan serologis, terutama untuk mengetahui keberadaan agen virus. Bahkan pemeriksaan feses natif untuk mengetahui telur cacing juga dapat dilakukan. Karena larva nematoda Dictyocaulus viviparus dalam perjalanannya di paru-paru dapat menyebabkan peradangan (Lungworm pneumonia). c. Pemeriksaan makroskopis Pemeriksaan makroskopis pada paru-paru tampak perubahan warna mulai yang dari kemerahan sampai menjadi abu-abu dan kuning bahkan terjadi hepatisasi merah, konsistensinya berubah menjadi seperti hati yang elastis bahkan mengalami kerapuhan. Pada pengirisan paru-paru ditemukan adanya eksudat mulai dari serous sampai mukopurulen, jaringan parenkim tampakmengalami kongesti dan hepatisasi. Pada uji apung akan melayang atau tenggelam, dan ditemukan inklusi bodi pada pneumonia yang disebabkan virus. 2.3.5 Diagnosa Banding Differensial diagnosa terhadap pneumonia adalah didasarkan pada adanya kemiripan diantara penyakit seperti gejala klinis respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan). Keadaan oedema pulmonum patut dipertimbangkan. Mengingat pada kondisi oedema pulmonum juga terlihat adanya gangguan suplai oksigen dan karbondioksida akibat adanya pengisian cairan pada alveola. Selain itu, gangguan pada pleura (pleuritis) perlu diperhatikan juga, karena pada pemeriksaan atau uji gumba, kondisi pleuritis juga menunjukkan reaksi sakit (positif). Terlebih radang ini jarang ditemukan yang berdiri sendiri. Kondisi pneumonia yang telah berlanjut pun dapat mengakibatkan peradangan pada pleura (Subronto 2003). Diagnosa banding lainnya antara lain: * gangguan jantung * hiperemi pulmonum, * oedema pulmonum, * emfisema pulmonum * laringo-tracheitis 2.3.6 Terapi Pengawasan pada hewan yang masih sehat sangatlah penting, penderita ditempatkan dikandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. Pemberian Ca boroglukonat dan vitamin C serta penangan dehidrasi sangat berguna untuk terapi pneumonia. Terapi sangat efektif dilakukan jika telah mengetahui agen penyebab pneumonia. Pengobatan dengan antibiotik berspektrum luas. 2.4 Fasciolisis 2.4.1 Sinonim Fasciolisis dikenal dibanyak Negara dengan berbagai istilah yang berbeda namun mempunyai arti yang sama. Nama lain dari fascioliasis adalah Distomatosishepatik, Fasciolosis, cattle liver fluke, Giant liver fluke (Akoso,1991). 2.4.2 Etiologi Fascioliasis adalah penyakit yang disebabkan cacing dari genus fasciola. Berdasarkan taxonominya cacing ini mempunyai klsifikasi sebagai berikut: Phylum : Platyhelminthes Kelas : Trematoda Ordo : Digenea Family : Fasciolidae Genus : Fasciola Species : Fasciola hepatica, Fasciola gigantika Nama Daerah : Tidak diketahui. Sedang secara anatomi fasciola berbentuk pipih dorsoventral. Ukuran dan bentuk fasciola bervariasi F. gigantika berukuran 25-75 X 5-12 mm, berwarna terang dan pundaknya tidak begitu nyata, telurnya berukuran 156-197 X 90-104 mikron. F. hepatika berukuran 25-30 X 8-15 mm, berwarna coklat keabuan dan pundaknya lebar, telurnya berukuran 130-160 X 63-90 mikron (Levin, 1994) 2.4.3 Distribusi Distribusi penyakit ini hampir ada diseluruh hewan produksi seperti sapi dan kambing diseluruh dunia. FascioliAsis biasanya terjadi pada daerah daerah yang mempunyai populasi hospes intermedietnya saja (Anonim, 2005). 2.4.4 Kejadian dan penyakit pada manusia Menurut data yang ditulis dalam jurnal wikipedia tahun 2005. Fasciolosis pada manusia banyak dilaporkan dari negara-negara Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Oceania. Prevalensi penyakit pada manusia berkorelasi dengan penyakit pada hewan. Eropa Dari tahun 1970-1982 di Prancis terdapat 5863 kasus yang dilaporkan di rumah sakit. Penyakit tersebut secara serologis 3.01% berada di Antalusia dan 6.1% di Isparta, Amerika Di Amerika serikat penyakit ini bersifat sporadik sedang di Mexico terdapat 53 kasus yang dilaporkan. Afrika Prevalensi yang tinggi telah di laporkan di Egypt, penyakit tersebar di lingkungan sekitar Nile delta. Kecuali di bagia utara tidak ada laporan. Asia Di Asia kasus yang dilaporkan di Iran dengan jumlah 10 000 kasus yang terdeteksi sedang di Asia tenggara kasus ini bersifat sporadik. 2.4.5 Kejadian dan penyakit pada hewan Pada hewan di dunia terdapat 89.5% kasus infeksi. Penyebaran Kejadian penyakit pada hewan terdapat di beberapa negara diantaranya: Europa : Ireland, Prancis, Portugal, Italia, Jerman. Asia : Thailand, Iraq, Iran, China, Vietnam, Jepang. Afrika : Kenya, Zimbabwe, Maroko. Amerika : Mexico, Peru, Brazil. Australia : Australia, New Zaeland. Hewan yang rentan adalah domba dan kambing, hewan yang kurang rentan adalah sapi, kerbau dan ruminan lain, dan dapat juga menyerang babi, anjing, kucing, kuda, kelinci dan manusia. (Anonim 2005) 2.4.6 Kejadian dan penyakit di Indonesia Fascioliasis mula-mula dilaporklan oleh Van Velzen di Tangerang pada tahun 1890 dan sekarang diketahui tersebar di seluruh Indonesia sesuai dengan penyebaran siput Lymnea yang menjadi induk semang antara. Fasciola gigantika merupakan parasit asli dari Indonesia sedangkan F. hepatica datang ke Indonesia mungkin bersama-sama dengan di bawanya sapi perah FH dari Belanda. Fasciolosis pada sapi dan kerbau bersifat kronis, sedangkan pada domba dan kambing bersifat akut. Fasciola gigantika dapat menimbulkan kematian pada hewan, terutama biri-biri dan sapi (Soedarto, 2003) 2.4.7 Sumber Infeksi dan Penularan Sumber infeksi yang utama berasal dari kontamianan air dan daging atau produk lain asal hewan yang terinfeksi stadium infektif dari cacing fasciola (Akoso,1996) Infeksi terjadi didaerah yang basah atau lembab, rawa atau daerah payau, dimana banyak terdapat siput., cacing akan keluar dan berenang dan berkeliling akhirnya menempel dan tinggal pada tumbuh-tumbuhan yang akan termakan oleh hewan yang kemudian menjadi induk semang. Penularan ini juga berhubungan erat dengan siklus hidup cacing ini: Induk semang dari fasciola adalah siput, umumnya genus Lymnea. Di Indonesia telah diketahui adalah Lymnea rubiginosa. Telur fasciola keluar bersama tinja induk semang dari telur yang menetas keluar mirasidium yang terus masuk ke dalam siput. Dalam tubuh siput mirasidium berubah menjadi sporokista. Sporokista menghasilkan redia, dan redia menghasilkan serkaria. Serkaria keluar dari siput yang merupakan fase infektif. Bila serkaria tidak termakan oleh induk semang maka akan menghasilkan kisata (metaserkaria), tenggelam ke dalam air atau menempel pada rumput (Levin, 1994). Infeksi terjadi bila induk semang memakan rumput atau meminum air yang tercemar. Dalam usus serkaria keluar dari metaserkaria dan terus menembus dinding usus masuk keruang peritoneum, selanjutnya menembus selaput hati dan meninggalkan jalur-jalur hemorhagik pada parenkim hati dalam perjalanannya menuju saluran empedu untuk menjadi dewasa. Masa prepaten 2-3 bulan (Soedarto, 2003). 2.4.8 Gejala klinis Gejala klinis fascioliasis dapat sangat ringan atau tanpa gejala, namun gangguan pada fungsi hati dapat juga terjadi. Bentuk akut pada sapi mempunyai ciri-ciri gangguan pencernaan, adanya gejala konstipasi yang jelas dan kadang-kadang mencret. Terjadi pengurusan yang cepat, lemah dan anemia. Bentuk kronik pada sapi berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang terhambat. Bentuk akut pada domba dan kambing, berupa mati mendadak disertai darah yang merembes atau keluar dari hidung dan anus. Bentuk kronik pada tahap pertama pada domba menunjukan gejala menjadi gemuk akibat banyaknya empedu yang disalurkan ke dalam usus, karena lemak kurang berfungsi atau tidak dipergunakan akibat adanya anemia. Meskipun gemuk terjadi kelemahan otot. Selanjutnya diikuti penurunan nafsu makan, selaput lendir pucat, serta bulu menjadi kering dan rontok, akhirnya terjadi kebotakan dan hewan menjadi lemah dan kurus (AAK, 1995) 2.4.9 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit penderita yang mengalami pembesaran hati yang melunak, dan disertai sindrom demam eosinofilik. Migrasi cacing muda dari usus ke hati dapat menimbulkan lesi ektopik di dinding usus, jantung, bola mata, paru dan jaringan dibawah kulit, sehingga menimbulkan keluhan setempat (Akoso, 1994). Untuk menegakkan diagnosis pasti, dilakukan pemeriksan tinja atau cairan duodenum atau cairan empedu hospes untuk menemukan telur cacing fasciola. Penghitungan jumlah telur tiap gram tinja, menemukan metaserkaria pada rumput. Untuk membantu menegakkan diagnosis terutama fasciolosis jaringan dan fascioliasis dalam periode prepaten, maka dapat dilakukan berbagai uji imunodiagnostik misalnya uji imunofluoresen tak langsung, uji hemaglutinasi pasif, uji presipitasi gel atau metode imunodiagnostik lainnya (Akoso, 1995) 2.4.10 Diagnosa banding Bentuk akut dapat keliru dengan penyakit antrax, karena adanya pengeluaran darah dari hidung dan anus. Bentuk kronik pada domba dapat keliru dengan haemonchosis karena adanya bottle jaw, anemia pada fascioliasis dapat keliru dengan anemia oleh penyebab yang lain (Akoso, 1991). 2.4.11 Perubahan pascamati Pada hewan dewasa perubahan-perubahan sering hanya terbatas pada hati. Mungkin hewan itu sedikit kurus atau pucat. Pada hewan muda perubahan-perubahan biasanya lebih menyolok, kekurusan, anemi, busung air dimana-mana merupakan perubahan-perubahan terpenting. Pada infeksi akut hati bengkak karena degenerasi parenkim atau infiltrasi lemak; di bawah selubung hati dan pada bidang sayatan nya terlihat perdarahan-perdarahan disebabkan oleh migrasi parasit-parasit muda. Dalam tingkat hal ini kita harus waspada terhadap infeksi sekunder dengan salmonella. Perubahan-perubahan pada hati dalam tingkat menahun ialah cholangitis, peri- cholangitis yang menjadikan hepatitis chronica indurativa (sirosis parasiter). Dinding saluran – saluran empedu sangat tebal karena pembentukan jaringan ikat dan endapan kalsium. Di dalam saluran – saluran itu tertimbun massa`detritus yang berlendir dan mengandung distoma dewasa. Sarang – sarang distomum sekali – sekali ditemukan di dalam paru – paru dan limpa (Ressang, 1984). 2.2.12 Tindakan Menurut soedarto(2003), Pemberantasan atau tindakan fascioliasis ini yang sangat merugikan peternak hendaknya mendapat perhatian lebih banyak. Pemberantasan ini berdasarkan profilaksis termasuk pemberantasan induk-induk semang antara yaitu siput. Untuk mencegah penyebaran fascioliasis pada manusia, selain dengan mengendalikan fascioliasis pada hewan, juga dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi makanan atau air yang tercemar stadium infektif. Makanan atau minuman hendaknya dimasak. Pendidikan kesehatan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan hidup. Tindakannya meliputi : 1. Administrasi • pemeriksaan hati ternak yang dipotong terhadap infeksi fasciola sesuai dengan peraturan yang berlaku. • Mencatat dan melaporkan hasil pemeriksaan secara teratur. 2. Pencegahan • pemotongan siklus hidup dengan mollusida • memberantas siput secara biologi, misalnya dengan pemeliharaan itik. • Rotasi lapangan rumput. • Memperbaiki sistem pengairan sehingga memungkinkan tindakan pengeringan. • Menyebarkan copper sulphat atau trusi di lapangan penggembalaan. • Melakukan pemberian obat cacing secara teratur. 3. Pengendalian Secara umum paling tidak pengobatan harus dilakukan 3 kali dalam setahun yaitu : • permulaan musim hujan, untuk menghilangkan cacing didapat selama musim kemarau dan menghadapi perluasan habitat siput. • Pertengahan musim hujan, untuk mengeluarkan cacing yang diperoleh selama musim hujan, dan untuk mengurangi peluang infeksi mirasidium pada siput yang habitatnya meluas. • Pada akhir musim hujan, untuk menghilangkan cacing yang didapat selama musim hujan serta mengurangi potensi untuk terkontaminasi dimusim kemarau. 2.4.13 Pengobatan - Hexachloroethane (Egitol 20-30 mg/kg BB, PO) - Hexachlorophene (Distodin 15-20 mg/kg BB, PO) - Nitroxynil (Dovenik 10 mg/kg BB, SC. Trodak 10-12,5 mg/kg BB, SC) - Derivat Benzimidazol (Albendazol, Triclabendazol, Prebendazol, Febantel) Dosis 10-15 mg/kg BB untuk sapi dan kerbau, 10 mg/kg BB untuk domba dan kambing. Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap fascioliasis pada manusia, namun pemberian Praziquantel dengan dosis 25 mg/kg BB 3 kali sehari sesudah makan, yang diberikan selama 1-2 hari ternyata memberikan hasil yang cukup memuaskan (Soedarto, 2003). 2.5 Tata Cara Pengambilan sampel dan Pengiriman Sampel A. Sampel untuk pemeriksaan histopatologi Dilakukan dengan buffer formalin netral 10%. Potongan organ atau jaringan harus diambil sesegera mingkin, dan tidak boleh lebih tebal dari 0,5 cm. sebaiknya potongan jaringan dipilih pada bagian yang mewakili jaringan normal dan abnormal dari suatu organ. Lakukan fiksasi sesegera mungkin dalam larutan formalin 10% B. Sampel untuk pemeriksaan mikrobiologis Pengambilan sampel untuk pemeriksan mikrobiologis harus aseptis dan dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya permukaan jaringan atau organ dipanaskna terlebih dahulu dengan menempelkan spatula panas, kemudian buat irisan dan ambil sampel yang diperlukan dari bagian dalam organ, abses atau masa koagulasi dalam jaringan. Dari tempat irisan ini bisa diambil sampel dengan swab steril, runtuhan jaringan atau cairan. Untuk organ berongga seperti saluran gastrointestinal cara terbaik adalah dengan diikat pada ujung-ujungnya dan diletakkan pada petridish steril. C. Sampel untuk pemeriksaan toksikologi Material untuk pemeriksan toksikologi harus bebas dari kontaminasi bahan kimia selama proses nekropsi. Beberapa sampel yang harus diambil antara lain whole blood, sera potongan jaringan, urine, isi lambung dan usus. D. Sampel untuk pemeriksaan parasitologi Sampel ectoparasit diambil sebelum cadaver dibuka untuk nekropsi. Caplak, kutu dan pinjal dharus diambil hati hati dari rambut atau bulu, dan difikasasi menggunakan formalin 10% atau ethyl alcohol 70%. Untuk infeksi kutu kurap (mange mites), pengambilan sampel dengan cara melakukan kerokan kulit hingga berdarah dan letakkan pada gelas objek dan teteskan mineral oil. Untuk sampel cacing gastrointestinal dapt juga difiksai menggunakan larutan formalin dan utuk menghindari melingkarnya cacing dapat dicegah dengan menthol atau air hangat pada specimen. E. Sampel untuk pemeriksaan sitologi Sampel ulas dari jaringan tumor biasanya dilakukan untuk pemeriksaan sitologis. Preparat ulas diambil dari irisan tumor, biarkan kering segera untuk mengawetkan struktur selnya, fiksasi bisa dilakukan dengan api Bunsen atau dengan merndamya dalam larutan methanol. F. Sampel cairan dan darah Sampel darah harus segera diambil pada hewan yang sudah maribound. Pada beberapa kasussampel darah masih bisa diambil pada hewan yang sudah mati 3-4 jam. Darah dapat diambil dari jantung pada saat nekropsi dengan seksi pada dinding jantung. Penambahan antikoagulan diperlukan jika ingin memperoleh plasma. Jika yang dibutuhkan serum sebaiknya sampel darah dikoleksi ke dalam tbung gelas yang akan mempercepat proses koagulasi. Pengambilan sampel cairan tubuh harus bebas kontaminasi. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Hewan kurban yang akan disembelih harus dilakukan pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga terlatih dibawah pengawasan dokter hewan. Tahapan ini dimaksudkan untuk menyingkirkan (mengeliminasi) kemungkinan-kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari hewan ke manusia. Proses ini juga bermanfaat untuk menjamin tersedianya daging dan produk ikutannya dengan mutu yang baik dan sehat. Dua tahap proses pemeriksaan kesehatan hewan kurban yaitu pemeriksaan antemortem dan postmortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum hewan dipotong atau saat hewan masih hidup. Sebaiknya pemeriksaan antemortem dilakukan sore hari atau malam hari menjelang pemotongan keesokan harinya. Pemeriksaan postmortem dilakukan setelah hewan dipotong. Untuk usia harus sudah memenuhi syarat untuk dijadikan hewan kurban yaitu sudah ganti gigi atau berusia satu tahun ke atas untuk kambing dan domba, sedangkan untuk sapi dan kerbau harus sudah berumur di atas dua tahun. Pengambilan dan pengiriman sampel perlu dilakukan untuk mengetahui diagnosa lanjut dari kelainan-kelaina yang ditemukan pada pemeriksaan post mortem kesehatan hewan kurban. DAFTAR PUSTAKA AAK, 1995, Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah, Kanisius, Yogyakarta. Akoso,T. B., 1991, Manual Untuk Paramedik Kesehatan Hewan, 2ed, Omaf-Cida Disease Investigasi center. Bearden HJ, and JW Fuquay. 1992. Applied Animal Reproduction Third Edition Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. Fincher, M.G., W.J. Gibbons, K. Mayer, S.E. Park. 1956. Diseases of Cattle. American Veterinary Publication, ING., Evanston, Illinois. Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Ressang, A. A., 1984, Pathologi Khusus Veteriner, Fad Project Khusus Investigasi Unit Bali. Soedarto. 2003. Zoonosisi Kedokteran. Airlangga press. Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar