Minggu, 13 Januari 2013

STUDI KASUS FASCIOLOSIS PADA SAPI SEBAGAI HEWAN KURBAN SETELAH PEMERIKSAAN POSTMORTEM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang cepat, berdampak pada peningkatan kebutuhan pangan bagi masyarakat termasuk produk pangan asal bewan yang merupakan sumber protein hewani. Kebutuhan protein hewani ini dipenuhi dari telur, susu dan daging yang dapat diperoleh dari ruminansia, unggas dan babi. Dalam budaya Indonesia, ternak ruminansia selain berperan sebagai sumber protein, juga digunakan sebagai hewan qurban. Hari raya Idul Adha merupakan salah satu momen penting yang menyebabkan lonjakan permintaan ternak potong. Tingginya permintaan hewan qurban tersebut mendorong terjadinya peningkatan lalu lintas ternak antar daerah. Peningkatan lalu lintas ternak tersebut harus diimbangi dengan kewaspadaan terhadap kemungkinan penularan penyakit hewan antar daerah (Putra, 2009). Untuk menjaga kesehatan hewan dan manusia dengan adanya penyakit zoonosis, maka perlu diperhatikan faktor kesehatan dari hewan kurban. Kesehatan merupakan faktor penting karena dapat mengakibatkan sapi menjadi stress, sehingga menimbulkan hambatan dalam proses pemotongan (Saleh, 2004). Salah satu serangan penyakit yang bisa merugikan yakni penyakit parasiter. Jenis parasit cacing yang sering menyerang sapi yaitu cacing fasciola gigantica. Penyakit yang disebabkan oleh cacing fasciola gigantica disebut dengan Fasciolosis. Infeksi cacing fasciola gigantica menyebabkan terjadinya penurunan laju pertumbuhan dan berat badan ternak, penurunan efesiensi pakan, kematian pada derajat infeksi yang tinggi terutama pada pedet maupun sapi muda, penurunan produksi, dan penurunan daya tahan tubuh akibat anemia yang ditimbulkan, serta kerusakan jaringan terutama hati dan saluran empedu. Kerugian ekonomi yang utama didasarkan akibat terbuangnya hati baik sebagian maupun seluruhnya serta biaya pembelian obat-obatan dan tenaga ahli seperti dokter hewan (Kusuma, 2010). Pemeriksaan posmortem merupakan pemeriksaan bagian dalam hewan sesudah pemotongan. Pemeriksaan postmortem dilakukan dengan sasaran pemeriksaan meliputi kondisi hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan organ bagian dalam hewan. Apabila ditemukan kelainan-kelainan dan ada cacing fasciola gigantica maka organ tersebut harus disingkirkan, karena tidak layak untuk dikonsumsi (Kusumamihardja, 2005). Dalam rangka menjaga kesehatan masyarakat dari pangan asal hewan, pemeriksaan postmortem sangat penting untuk dilaksanakan agar daging dan organ-organ dalam dari hewan kurban yang dibagikan dimasyarakat terjamin keamanan dan terhindar dari penyakit fasciolosis dan zoonosis. 1.1 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari kegiatan pemeriksaan hewan kurban ini yaitu bagaimana pemeriksaan postmortem pada sapi sebagai hewan kurban untuk mengidentifikasi penyakit fasciolosis, dalam upaya menjaga kesehatan dan keamanan daging bagi konsumsi masyarakat. 1.2 Tujuan Tujuan pemeriksaan hewan kurban ini adalah: a. Pemeriksaan penyakit fasciolosis yang disebabkan oleh cacing fasciola gigantica setelah pemeriksaan postmortem pada sapi sebagai hewan kurban. b. Memperoleh keterampilan dan pengalaman pemeriksaan penyakit fasciolosis yang disebabkan oleh cacing fasciola gigantica untuk kesehatan dan keamanan daging bagi konsumsi masyarakat. 1.3 Manfaat a. Mendapatkan ilmu dan wawasan tentang pemeriksaan postmortem dan penyakit fasciolosis. b. Mencegah terjadinya zoonosis dari penyakit fasciolosis. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pemeriksaan Post Mortem Setelah hewan dipotong (disembelih) dilakukan pemeriksaan postmortem dengan teliti pada bagian-bagian sebagai berikut: Karkas, Karkas sehat tampak kompak dengan warna merah merata dan lembab. Bentuk-bentuk kelainan yang sering dijumpai bercak-bercak pendarahan, lebam-lebam dan berair. Paru-paru, paru-paru sehat berwarna pink, jika diremas terasa empuk dan teraba gelembung udara, tidak lengket dengan bagian tubuh lain, tidak bengkak dengan kondisi tepi-tepi yang tajam. Ditemukan benjolan-benjolan kecil padaparu-paru atau terlihat adanya benjolan-benjolan keputihan (tuberkel) patut diwaspadai adanya kuman tbc. Jantung, ujung jantung terkesan agak lancip, bagian luarnya mulus tanpa ada bercak-bercak perdarahan. Jantung dibelah untuk mengetahui kondisi bagian dalamnya. Hati, warna merah agak gelap secara merata dengan kantong empedu yang relative kecil. Konsistensi kenyal dengan tepi-tepi yang cenderung tajam. Kelainan yang sering ditemui adalah adanya cacing hati (fasciola gigantica) (Soedarto, 2003). Limpa, ukuran limpa lebih kecil daripada ukuran hati, dengan warna merah keunguan. Pada penderita anthrax keadaan limpa membengkak hebat. Ginjal, kedua ginjal tampak luar keadaannya mulus dengan bentuk dan ukuran relatif semetris. Adanya benjolan, bercak-bercak pendarahan, pembengkakan atau perubahan warna merupakan kelainan pada ginjal. Lambung dan usus bagian luar dan bagian dalam tampak mulus. Lekukan-lekukan bagian dalamnya teratur rapi. Penggantung usus dan lambung bersih tidak ditemukan benda-benda asing yang menempel atau bentukan-bentukan aneh pada kedua sisi lambung dan usus (Hayati dan Choliq, 2009). 2.2 Patogenesis dan Gejala Klinis Fasciolosis Fasciolosis dapat terjadi secara akut, subakut dan kronis. Fasciolosis akut ditandai dengan adanya infeksi metaserkaria dengan jumlah yang besar dalam jangka pendek. Menurut Kusumamihardja (2005), kasus akut pada umumnya terjadi di akhir musim gugur dan di awal musim dingin sedangkan di daerah tropis biasanya terjadi pada awal musim hujan dan awal musim kemarau. Fasciolosis akut tidak tampak gejala klinis yang jelas, ternak mati mendadak karena perdarahan akibat rusaknya jaringan parenkim hati. Fasciolosis subakut terjadi pada akhir musim gugur sampai musim semi. Pada kasus ini ditemukan cacing dewasa sebanyak 500-1500 ekor di dalam buluh empedu dan telur cacing di dalam tinja kurang dari 100. Kejadian subakut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Primawydiawan, 2006). Fasciolosis kronis terjadi akibat dari migrasi dan keberadaan cacing dewasa di dalam buluh empedu sehingga menyebabkan kerusakan parenkim hati. Kejadian ini muncul pada musim dingin dan musim semi dengan jumlah cacing yang ditemukan sekitar 250 ekor dan telur cacing di dalam tinja mencapai 100. Fasciolosis kronis ditandai dengan penurunan nafsu makan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw, cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup dalam buluh empedu. Pada daerah tropis seperti Indonesia kejadian fasciolosis banyak terjadi di awal musim hujan dan di awal musim kemarau. Hal ini terjadi karena pertumbuhan optimal telur menjadi mirasidium terjadi pada awal musim hujan dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan. Kemudian pelepasan serkaria terjadi pada awal musim kering saat curah hujan masih cukup tinggi dan menurun seiring dengan penurunan curah hujan. Tingkat kerusakan atau perubahan patologi anatomi pada hewan dipengaruhi oleh jumlah metaserkaria yang termakan oleh ternak, fase perkembangan cacing di dalam hati, dan spesies inang definitive (Kusumamihardja, 2005). Perubahan patologi di dalam tubuh inang definitif terjadi akibat adanya migrasi cacing di dalam tubuh. Migrasi diawali dengan penetrasi intestinal (pre hepatik) kemudian sampai ke hati dan akhirnya masuk ke saluran empedu. Migrasi cacing pada organ hati menyebabkan hemoragi, kerusakan parenkim dan buluh empedu. Buluh empedu mengalami peradangan, penebalan dan penyumbatan sehingga terjadi sirosis periportal, peritonitis serta kolesistitis. Secara mikroskopis terjadi perubahan pada struktur jaringan hati. Perubahan tersebut digolongkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok perubahan akut dan kronis. Pada stadium akut tampak adanya perdarahan, degenerasi sel hati, peradangan, proliferasi buluh empedu, infiltrasi sel radang, serta adanya globula leukosit pada mukosa buluh empedu. Pada stadium kronis tampak fokus-fokus radang granuloma, mineralisasi, dan fibrosis (Kusuma, 2010). 2.3 Diagnosa Fasciolosis Diagnosa fasciolosis didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan post-mortem organ hati untuk melihat adanya F.gigantica di dalam buluh empedu. Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan adalah pemeriksaan tinja untuk mendeteksi telur F.gigantica, pemeriksaan enzim hati, pemeriksaan hematologi, uji serologi, dan coproantigen atau pemeriksaan antigen dalam tinja (Kamaruddin, 2009). Metode pemeriksaan tinja yang umum dilakukan untuk mendeteksi telur Fasciola sp adalah metode sedimentasi. Metode ini bersifat konvensional dan hanya dapat digunakan untuk infeksi kronis. Telur ditemukan dalam tinja ketika cacing sudah mencapai dewasa dan mulai produksi telur antara delapan sampai sembilan minggu setelah infeksi. Metode pemeriksaan tinja memiliki kekurangan karena telur Fasciola sp. diekskresikan dalam waktu yang tidak beraturan dan jumlah telur yang terlalu sedikit dalam tinja akan mempengaruhi hasil diagnosa (Kusumamihardja, 2005). BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Hewan kurban yang akan disembelih harus dilakukan pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga terlatih dibawah pengawasan dokter hewan. Pemeriksaan postmortem dilakukan setelah hewan dipotong. Tahapan ini dimaksudkan untuk menyingkirkan (mengeliminasi) kemungkinan-kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari hewan ke manusia. Proses ini juga bermanfaat untuk menjamin tersedianya daging dan produk ikutannya dengan mutu yang baik dan sehat. Penyakit yang sering ditemukan pada pemeriksaan postmortem yaitu fasciolosis, yang disebabkan oleh cacing fasciola gigantica. Fasciolosis dapat terjadi secara akut, subakut dan kronis, dibedakan dari derajat keparahan infeksi cacing fasciola gigantica. Diagnosa fasciolosis didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan post-mortem organ hati untuk melihat adanya F.gigantica di dalam buluh empedu. Infeksi cacing fasciola gigantica menyebabkan kerugian ekonomi yang utama didasarkan akibat terbuangnya hati baik sebagian maupun seluruhnya. 3.2 Saran Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan kurban sebaiknya diwajibkan di seluruh wilayah Indonesia yang memperingati hari raya qurban agar keamanan daging untuk konsumsi masyarakat terjamin dan terhindar dari penyakit zoonosis. Daerah-daerah pemasok hewan qurban perlu melakukan tindakan pencegahan untuk mengurangi kerugian akibat fasciolosis, seperti pemberian anthelmentik yang efektif minimal empat bulan sebelurn pelaksanaan qurban. DAFTAR PUSTAKA Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta Kamaruddin, Mufti. 2009. Parasitologi Veteriner. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh Kusuma, Agung. 2010. Trematoda. Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran. Bandung Kusumamihardja. 2005. Parasit dan Parasitologi pada Hewan Ternak dan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bogor Primawydiawan, Aditya. 2006. Identifikasi Trematoda Saluran Pencernaan pada Tinja Badak Jawa (Rhinocerous Sondaicus) ditaman Nasional Ujung Kulon [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor Putra, Adika. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih pada Usaha Peternakan Sapi Perah [Tesis]. Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak [Skripsi]. Program Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan Soedarto. 2003. Zoonosisi Kedokteran. Airlangga press. Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar